Kerangka Analisis
Model Barat bisa dipakai untuk menjelaskan pola umum perilaku individu dengan memperhatikan basis sosialnya, seperti agama, kelas, pekerjaan, dan sejenisnya (Sosiologi Politik), juga dengan meneliti perkembangan psikologis individu yang terkait dengan perilaku memilih (Psikologi Politik). Untuk kasus perilaku politik Indonesia terdapat dua tipe analisis. Analisis pertama yang implisit adalah pola orientasi sosio-relijius-nya Geertz (1960; 1965) yang menemukan pola santri-abangan; kedua, yang eksplisit, pola hubungan pemimpin dan pengikut-nya Jackson (1978; 1980) melalui penelitian mengenai keterlibatan individu dalam Darul Islam.
Di pedesaan Jawa, sebagaimana di negara Dunia Ketiga, stratifikasi sosial yang berdasarkan kelas tidak dikenal. Orang Jawa hanya mengenal dua lapisan individu: wong cilik (“orang kecil”) dan wong gedhe (orang yang menduduki jabatan birokrasi atau priayi).
Geertz menjelaskan pengertian aliran sebagai berikut: Desa di Jawa kebanyakan terbentuk dalam pola aliran. Aliran terdiri dari parpol yang dikelilingi oleh organisasi2 yang secara formal atau informal terhubung dengannya dan memiliki arah dan pendirian ideologi yang sama. Aliran lebih daripada parpol atau sekadar ideologi. Ia sudah menjadi suatu pola integrasi sosial. Konsep aliran mengacu pada cara berpikir orang Jawa khususnya yang didasarkan pada pola relijius-kultural yang dinyatakan dalam trikotomi santri, abangan, dan priayi.
Santri adalah orang yang orientasi hidupnya adalah seperangkat keyakinan, nilai, dan simbol2 yang utamanya didasarkan pada ajaran Islam. Abangan adalah orang yang bersandar pada tradisi Jawa yang dipengaruhi elemen jaman pra-Islam atau dikenal dengan nama Kejawen. Priyayi sebenarnya termasuk dalam kelas sosial masyarakat Jawa yang berkarakter birokratis dan tidak banyak berada di pedesaan.
Otoritas Tradisional
Paternalisme merupakan fenomena umum dalam masyarakat Jawa. Menurut analisis Jackson, konsep otoritas tradisional ialah: praktek kekuasaan personalistik yang terakumulasi melalui pengaruh masa lalu dan sekarang yang mengambil peran sebagai penyedia, pelindung, pendidik, sumber nilai, dan pemegang status yang tinggi dalam hubungan ketergantungan yang telah diciptakan. Jackson menjelaskan otoritas tersebut sebagian dengan merujuk pada hubungan patron-klien dalam masyarakat yang vertikal, diadik, dan asimetris. Disebut tradisonal karena praktek tersebut telah berlangsung turun-temurun.
Analis politik Indonesia, Harry Tjan Silalahi, mengkonkretkan konsep di atas. Menurutnya, salah satu faktor utama yang menjelaskan sikap pemilih Indonesia ialah dominasi peran otoritas tradisional yang dinyatakan dalam bentuk paternalisme “bapakisme” (1977). Hubungan ini pada dasarnya adalah pertukaran hak dan kewajiban, yaitu antara perhatian dan perlindungan yang diharapkan dari bapak untuk anak2nya, dan- karenanya- hak bapak mendapatkan hormat dan kepatuhan dari mereka. Ia membedakan tiga tipe pemimpin di pedasaan yang berperan signifikan dalam pemilu, yaitu: pemimpin formal, tradisional, dan agama. Karena pemimpin formal bisa juga sekaligus pemimpin agama, dalam pengklasifikasian kepemimpinan lebih tepat digunakan konsep aliran-nya Geertz. Sebab loyalitas dan kepatuhan pengikut menuruti garis aliran, yang membuat seorang santri, misalnya, hampir tidak mungkin mematuhi perintah pemimpin abangan.
Variabel Memilih di Pedesaan Jawa
Keyakinan Sosio-relijius.Kaum akan mendukung dan memilih parpol Yang secara ideologi berasaskan Islam, dan kaum abangan mendukung parpol non-Islam Identifikasi Partai dan Pilihan Partisan. Di Jawa, proses sosialisiasi berlangsung dalam keluarga sebab anak2 Jawa sangat dilindungi keluarga dan kerabatnya. Kaum abangan cenderung terlibat dalam aktivitas yang merefleksikan dunia Jawa-Hindu dan organisasi nasionalis secular. Kaum santri cenderung beraktivitas di dunia Islam dengan memasuki pesantren atau orsospol Islam.
- Pola Kepemimpinan. Di pedesaan Jawa, tipe karismatik (yang menurut Weber, didapat dari keyakinan bahwa pemimpin memiliki kekuatan batin dan kualitas istimewa yang tidak dipunyai orang biasa, seperti kekuatan supranatural) disediakan oleh pemimpin formal di dalam birokrasi seperti lurah dan di luar birokrasi seperti kyai, guru, atau dukun. Pemimpin formal tidak memiliki kualitas kepemimpinan dan –karena itu- pengaruh setinggi pemimpin informal. Kelas dan Status Sosial. Menurut Sartono kartodirdjo (1972) stratifikasi sosial Jawa terbagi berdasarkan kepemilikan tanah: kuli kenceng (tuan tanah), kuli setengah kenceng (petani penyewa), kuli ngindung tlosor (buruh tani), dan wong ngindung (yang hidup di tanah orang). Pengaruh kelas tidak banyak, namun merupakan dimensi penting dalam hubungannya dengan birokrasi. Semakin besar individu menguasai tanah, semakin ia tidak tergantung pada birokrasi dan karenanya tidak tunduk pada intimidasi politik.
Hasil Penelitian Perilaku Memilih Orang Jawa
Negara Otoritarian dan Sistem Kepartaian Hegemonis
Lingkungan politik adalah hal pertama yang perlu diatasi pemilih sebelum membuat keputusan mendukung dan memberi suara kepada partai tertentu. Para peneliti berpendapat sama bahwa pemerintahan Orde Baru adalah rejim yang tidak demokratis. Kalaupun pemilu diselenggerakan, itu hanya dijadikan sebagai ajang legitimasi kekuasaan. Setelah Golkar- partai yang disponsori militer- meraih mayoritas suara pada pemilu 1971, rejim Orba beroleh kesempatan besar untuk menjalankan sistem kepartaian hegemonis. Sedangkan Golkar menjadi mesin politik utama yang mengontrol seluruh spektrum politik di negara ini.
Empat faktor yang berkontribusi menciptakan sistem kepartaian hegemonis itu adalah sebagai berikut:
1. Penciptaan aparatus represif untuk mengamankan stabilitas politik. Aparat yang termasuk di dalamnya ialah Kopkamtib, Bakin, OPSUS, dan Dirjensospol.
2. Proses depolitisasi komunitas untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan ekonomi. Termasuk di dalamnya aplikasi loyalitas tunggal pegawai negeri dan kebijakan massa mengambang di pedesaan.
3. Pengebirian parpol dan restrukturisasi parpol
4. Penciptaan UU pemilu dan proses pemilu yang mengamankan partai pemerintah agar tetap menjadi pemenang dalam tiap pemilu.
Perilaku Memilih dari Perspektif Aliran
Aliran sangat penting di kehidupan politik Indonesia karena ia merupakan sumber fragmentasi politik dan sosial di negara yang kaya dengan beragam etnis, bahasa, dan agama ini. Sistem multipartai yang dicoba pada tahun 1950-1959 melibatkan partai2 yang diorganisasikan berdasarkan garis aliran. Periode berikutnya yang tidak lagi menganut sistem kepartaian, di bawah Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno, konsep Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) dijadikan pilar utama. Dan sejak 1971 ketika Golkar muncul sebagai partai hegemonis, restrukturisasi partai masih dialaskan pada prinsip aliran.
Santri-Abangan dan Perilaku Politik
Pada satu ekstrim, kaum abangan yang kuat memahami Islam hanya sebagai aktivitas seremonial dalam suatu komunitas. Menurut abangan ini, ummat atau komunitas Islam dan organisasi Islam dipandang lebih seperti musuh daripada sekutu. Sementara di ekstrim lainnya, kaum santri yang kuat memahami Islam bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, melainkan juga sebagai ajaran yang diperlukan untuk mengatasi dunia modern. Menurut mereka kaum abangan-priyayi mirip seperti orang kafir.
Penelitian di Brobanti menunjukkan peran lembaga agama seperti masjid dan langgar sangat kuat di antara kaum santri dan sebaliknya berlaku di kalangan abangan. Lembaga agama adalah unit paling dasar dalam pendidikan kaum santri. Sementara kaum abangan tidak memiliki lembaga semacam itu. Bahkan mereka enggan pergi ke pertemuan2 di langgar atau masjid karena mereka menganggap langgar sebagai milik komunitas santri. Dalam lembaga ini terjadi ikatan yang erat antara pemimpin agama (kyai, haji) dengan ummat.
Orientasi Sosio-Relijius dan Perilaku Memilih
Dalam penelitian di Brobanti, 72% responden yang mengidentifikasi diri dengan partai Islam mengatakan bahwa orangtua mereka juga mengidentifikasi diri dengan partai yang sama, dan 74% yang dengan non-partai Islam memperlihatkan kecendrungan serupa. Hal ini diterjemahkan ke dalam pilihan partisan dalam pemilu.
Studi ini terutama menjelaskan bahwa di pedesaan Jawa, orang cenderung memilih berdasarkan keyakinan sosiorelijius. Yakni kaum santri lebih memilih partai Islam, dan abangan, partai yang tidak menganjurkan keyakinan Islam, seperti PDI. Dari pemilu 1971 dan 1977 dilaporkan kecenderungan yang sama perihal pilihan responden.
Alasan Memilih
Di antara pemilih PDI, tampaknya tidak terdapat alasan ideologis yang jelas. Sekitar 32% responden memilih PDI dengan alasan karena tidak suka PPP dan Golkar. Maka ada kecenderungan di antara pemilih PDI yang anti kemapanan pemerintah dan partai Islam. Alasan lainnya memilih PDI karena tekanan pertemanan, yaitu untuk melakukan hal yang sama dengan orang lain. Alasan ketiga, karena warisan kejayaan Soekarno masih popular di kalangan pemilih PDI.
Alasan utama responden memilih Golkar karena citranya sebagai partai pemerintah. Data di Brobanti menunjukkan hampir 40% responden memilih Golkar karena mengikuti jejak pemimpin mereka, yakni lurah, kepala dukuh, dll. Mereka ingin mengidentifikasikan diri dengan pemimpin mereka. Peran kepala dukuh sangat besar dalam memobilisasi massa, sebab 22% pemilih Golkar mengatakan mereka diminta untuk itu. Golkar juga diuntungkan karena diasosiasikan dengan Sultan Yogyakarta, yang adalah ketua Golkar Yogyakarta.
Pengikut partai Islam (PPP) adalah responden yang terlihat paling ideologis. Hampir 33% responden memilih PPP karena merasa memilih partai Islam merupakan keharusan selaku Muslim. Sepertiga pemilih PPP juga mengatakan mereka memilih karena diminta pemimpin mereka. Pemimpin Islam mampu meyakinkan pengikutnya bahwa memilih partai Islam itu bagian dari ibadah. Alasan lainnya mereka memilih karena mengikuti tradisi keluarga. Sekitar 22% pemilih memiliki orangtua yang berasal dari kelompok Muslim santri yang taat, yang secara tradisional memilih partai2 Islam, dari Masyumi ke Parmusi lalu ke PPP, atau dari NU ke NU lagi dan kemudian ke PPP.
Kepemimpinan dan Perilaku Memilih
Sekitar 68% responden yang terikat pada pejabat desa akan lebih memilih partai pemerintah (Golkar), dan sekitar 53% mereka yang terikat pada pemimpin agama akan lebih mendukung partai Islam (PPP). Bila orientasi sosio-relijius dijadikan faktor kontrol dalam analisis ini, sekitar 86% responden abangan yang terikat pada pejabat desa memilih Golkar, dan hampir setengah jumlah santri dari kategori yang sama memilih PPP. Makin jelas lagi, 59% santri yang terikat pada pemimpin agama memilih PPP
Di Sukamulya yang pemimpin informal-nya sangat berpengaruh, 71% santri yang terikat pada pemimpin Islam memilih partai Islam. Partai pemerintah tidak pernah dapat menembus komunitas santri di desa ini, karena itu Golkar tidak pernah menang. Di Sukaramai yang pemimpin formal-nya kuat berpengaruh dan mendukung Golkar, partai2 oposisi selalu kalah. Misalnya 61% santri yang terikat pada pemimpin agama memilih Golkar, dan di Sukadamai 72% santri yang terikat pada pemimpin agama memilih partai Islam. Di desa ini pula 63% santri yang terikat pada pejabat desa memilih Golkar. Mengapa demikian, karena mayoritas pejabat desa di tiga desa ini adalah santri juga. Jadi ideologi memainkan peran penting dalam menghubungkan perilaku antara pemimpin politik dan konstituennya. Temuan ini membantah argumen Karl Jackson tentang tidak adanya hubungan ideologi dalam hal itu, dan sekaligus menguatkan teori Geertz tentang aliran.