Saya mengenal sosok Alifian sudah cukup lama (sementara ia sendiri sama sekali tidak mengenalku). Di tahun 1998, ia datang ke Universitas Hasanuddin (Unhas) untuk menjadi dosen setelah menyelesaikan pendidikannya di satu universitas di Amerika Serikat (AS). Menurut informasi, ia menuntaskan pendidikan S1-nya di Universitas Gadjah Mada (UGM). Kedatangannya di Unhas membersitkan rasa kagum dari banyak mahasiswa termasuk saya yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa baru. Saya kagum karena sering melihatnya ikut dalam diskusi di koridor kampus atau di lantai di Baruga Andi Pangerang Pettarani, selain melihatnya tampil di TV tentunya. Bagiku, Alifian adalah sosok yang cerdas, dan sangat merakyat sebab bersedia duduk di lantai kotor untuk membagikan pengetahuannya kepada mahasiswa.
Bahkan di saat mahasiswa Unhas berdemonstrasi dalam bara reformasi, Alifian ikut menemani mahasiswa untuk turun ke jalan. Pernah, saya melihatnya ikut menemani mahasiswa Unhas yang berjalan kaki sekitar enam kilometer dari kampus Unhas menuju kantor Gubernur Sulsel untuk menentang kebijakan pemerintah. Saat itu, Alifian adalah sosok yang sempurna sebagai akademisi yang rela turun gunung demi mendengungkan suara intelektual untuk perubahan. Ia juga membuka pintu rumahnya di kawasan Pengayoman, Makassar, untuk berdiskusi dengan siapa saja mengenai tema politik, khususnya tema otonomi daerah. Pendeknya, Alifian adalah dosen yang sangat membanggakan.
Hingga suatu hari, saya terkejut ketika mendengarnya meninggalkan Unhas. Ia merasa kecewa karena sebagai dosen, ia tidak menerima banyak fasilitas sebagaimana layaknya dosen yang ada di luar negeri. “Bagaimana saya mau betah mengajar. Masak, meja kecil untuk saya duduk dan meletakkan foto istri saya tidak disediakan pihak kampus,” katanya dengan penuh nada protes. Memang, di Unhas tak banyak fasilitas buat dosen. Mereka tak punya ruangan pribadi dan ada meja serta buku-buku. Mereka hanya duduk-duduk di aula dosen untuk menunggu waktu mengajar. Ternyata, Alifian merasa kecewa. Tapi menurut informasi yang beredar di kampus Unhas, ia meninggalkan kampus bukan karena kecewa. Ia menerima tawaran yang menggiurkan yaitu menjadi pengajar senior di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) dan mendapatkan gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan Unhas.
Mendengar cerita itu, kekagumanku langsung memudar. Jika itu benar, artinya naluri selebriti dan duit lebih mendarah daging dalam dirinya, ketimbang berada di lapangan (field) untuk mencari tantangan, berdialog dengan komunitas, serta menyaksikan langsung denyut nadi perubahan. Ia tak tahan menceburkan diri di tempat yang jauh dari kekuasaan. Sebagai dosen IIP, ia tak lama mengajar. Selanjutnya ia menjadi anggota KPU, yang kemudian menjadi batu loncatan bagi kariernya kelak. Ia cukup sukses menggelar Pemilu demokratis yang bersejarah bagi bangsa Indonesia yaitu Pemilu 1999. Pada awal tahun 2000, masa jabatannya di KPU berakhir. Ia sempat menjadi pemandu talkshow yang populer bersama sosiolog Imam Prasodjo.
Selanjutnya, Alifian memasuki gelanggang partai dan bergabung dengan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (Partai PDK) di bawah pimpinan Ryaan Rasyid. Maka mulailah petualangan Alifian di jalur politik. Dalam setiap kampanye Partai PDK, nama dan fotonya selalu dipasang berdampingan dengan foto Ryaas Rasyid. beberapa kali kunjungannya ke Makassar. Ia sering menemui ulama di Sulsel dan meminta restu kalau dirinya hendak menjadi presiden. Saat difoto wartawan, ia langsung mencium tangan ulama sambil berjanji bahwa siri’na pacce atau harga diri orang Bugis akan dijunjungnya tinggi-tinggi. Suatu janji yang belakangan dilupainya.
Ia menjadi caleg untuk daerah pemilihan Jakarta. Sayang sekali, namanya tenggelam. Hasil pemilu 2004 hanya sedikit mencatat perolehan suaranya. Meski cukup populer, ia tidak dipilih oleh rakyat sehingga gagal memasuki gelanggang Senayan. Namun Alifian tak kehabisan akal. Di ajang pemilihan presiden, ia berbalik haluan. Ketika Ryaas dan Partai PDK memilih dukungan ke Wiranto, Alifian justru berbeda pendapat. Ia mengemukakan penolakannya. Alasannya, Wiranto adalah seorang militer yang justru bisa menghambat proses demokratisasi. Ia mengesankan dirinya seolah-olah anti militer. Dan publik terkejut ketika ia memilih mendukung SBY yang nota bene juga berasal dari kalangan militer. Ketika SBY menang, ia keluar dari Partai PDK sehingga membuat orang-orang di partai itu marah-marah. Kata Ryaas, “Itu si Daeng Anto (nama panggilan Alifian di Parepare), bohong besar kalau alasannya keluar dari PDK karena isu Wiranto. Sejak dulu dia mau keluar karena masih mau jadi selebritis dan selalu tampil di tivi. Dia merasa mati karier kalau sama kita. Makanya dia suka bohong. Dasar!! Tidak konsisten!!”
Ryaas merasa kesal dengan sikap Alifian. Dalam banyak kesempatan saat ke Makassar, Ryaas selalu mengatakan itu. Namun Alifian tetap tidak bergeming. Terbukti, pilihannya mendukung SBY dirasanya tepat, sebab SBY kemudian memenangkan pilpres. Ia lalu ditunjuk sebagai jubir presiden. Ia memilih meninggalkan semua teman-temannya baik di Unhas, IIP, kemudian Partai PDK. Dan ia selalu tidak mau menyinggung-nyinggung masa lalunya itu.
Sebgai JUBIR presiden saya melihatnya udah keterlaluan menjilatnya. Mungkin, ia sedang menjalankan tugasnya dengan efektif sebagai seorang jubir, namun bagiku ia adalah seorang intelektual yang semestinya bisa lebih proporsional dalam melihat permasalahan. Mestinya, ia juga mengakui kelemahan di berbagai sisi, kemudian menjelaskan proses-proses politik yang terjadi sehingga mempengaruhi berbagai keputusan pemerintah. Kelemahan adalah perkara yang sangat manusiawi dan melalui kelemahan itu, manusia kian tertantang untuk mengembangkan pemikiran serta strategi kebudayaan untuk mengubah masalah menjadi titian melangkah. Sayang sekali, dalam dialog itu Alifian selalu melihat pemerintah sebagai sosok Superman yang selalu sempurna. (*MYD*)