Kebanyakan ilmuwan politik hanya sibuk melihat struktur serta rasionalitas politik namun dalam pandangan saya, antara analisis politik dan kultural sangat berbeda. Pendekatan politik terlampau banyak berkutat pada aspek kelembagaan baik berupa partai politik, institusi, hingga mekanisme dan hubungan antar lembaga. Pendekatan ini tidak banyak membahas manusia sebab berasumsi bahwa manusia adalah objek dari sebuah struktur, yang prilakunya akan mengikuti tata nilai yang lazim dalam struktur tersebut. Inilah yang membuat analisis kultural menjadi menarik.
Jika selama ini politik hanya dipahami sebagai arena di mana terjadi kontestasi dan pergulatan demi kemaslahatan bangsa dan negara, maka di level kultural, semuanya bisa diobrak-abrik. Perilaku manusia tidak selamanya dibimbing oleh nilai-nilai yang ideal atau adiluhung tersebut. Prilaku manusia justru bergerak karena perkara remeh-temeh, yang boleh jadi dipandang tidak penting oleh orang banyak. Misalnya saja, keinginan untuk kian mengepulkan asap dapur atau keinginan untuk punya mobil baru. Semuanya adalah hal yang manusiawi dan berada di level kultural yang jarang dijamah para ilmuwan politik. Persoalan itu dianggap tidak penting, padahal itu bisa menjadi awal dari pagelaran besar bernama partai politik dan demokrasi di negara ini. Hehehehe….. Itulah uniknya manusia. Itulah enaknya membedah politik dengan pendekatan kultural sebab analisisnya tidak melangit, melainkan membumi.
TULISAN Emanuel Subangun di Kompas , Selasa (15/4), yang berjudul “Pemasaran Partai Politik” sangat inspiratif. Salah satu penggagas pandangan post-modernisme di Indonesia itu memaparkan tesis yang sungguh menarik tentang bagaimana fenomena mereka yang sibuk di partai politik. Baiklah, saya kutipkan bagian dari penjelasan Subangun yang bikin saya terpingkal-pingkal.
Dalam buku teks ilmu politik lazim disebutkan, berpolitik adalah perjuangan untuk duduk dalam jabatan publik nan politik (public office). Jabatan ini dimaksudkan sebagai sarana merumuskan dan menjalankan kebijakan publik (public policy) demi kemaslahatan rakyat banyak. Akan tetapi, jika mengingat keadaan sekarang di mana pengangguran kaum terdidik di Indonesia amat tinggi karena ekonomi sedang macet, mencari ”jabatan publik” dapat berubah mencari pekerjaan dalam hubungan dengan lowongan kerja. Maka, menjadi pengurus partai tak ubahnya melamar pekerjaan. Kini, dalam pasar kerja yang sempit, duduk di pemerintahan adalah jaminan bahwa upah akan berlimpah karena negara kita subur. Seperti orang muda bermimpi bekerja di perusahaan asing karena gaji dibayar dengan dollar.
Membaca bagian ini, saya langsung tertawa terbahak-bahak. Sebelumnya, saya sudah menyadari fenomena ini. Namun Subangun seakan membuka mata saya untuk melihat lebih terang bahwa politik di negeri ini bukanlah perkara bagaimana mengejawantahkan cita ideal demi mensejahterakan masyarakat. Ternyata, politik tidak lebih dari sebuah pasar kerja di mana banyak pedagang yang menjajakan barang. Mekanisme demokrasi dan ketatanegaraan hanyalah sebuah aturan atau rambu-rambu yang berlaku di pasar. Partai politik dan para fungsionarisnya tidak lebih dari pedagang-pedagang yang sibuk menawarkan barang dengan beragam cara. Pembelinya adalah rakyat Indonesia yang boleh jadi terbagi atas beberapa kategori, mulai dari yang acuh, sampai yang sinis melihat realitas politik. Kata Subangun, ranah politik ibarat sebuah pameran lowongan kerja di mana banyak orang akan sibuk berbondong-bondong masuk ke dalam antrian. Tema-tema kerakyatan serta kesejahteraan menjadi jurus ampuh untuk memikat pencari kerja. Maka, berdirilah banyak partai politik baru dengan para personel yang berharap dapat tambahan penghasilan baru.
Masalahnya, analisis itu hanya tepat bagi mereka yang pengangguran dan ingin masuk partai politik demi penghasilan baru. Lantas, bagaimana dengan mereka yang udah kaya? Jawabannya ada dua hal. Pertama, mereka ingin tambah kaya sebab akan mendapatkan insentif dari semua proyek pembangunan yang ada di daerahnya. Kedua, mereka ingin melestarikan kekayaannya dengan cara membangun dinasti politik yang kelak mengamnkan semua aset dan kekayaannya. Itulah politik Indonesia. Masih tak beranjak dari urusan perut dan arena pamer kekuasaan.
Saya merasa geli karena selama ini saya termasuk orang yang kadang terjebak arus dan suka mensakralkan politik. Sering saya terkagum-kagum saat melihat para politisi sibuk kampanye dan memberi janji-janji kepada warga. Saya kadang terjebak juga dengan kekaguman banyak orang karena seorang kandidat di pilkada punya baliho paling cantik. Saya pernah juga tersentuh dengan janji-janji yang katanya hendak mensejahterakan orang banyak. Padahal, sebagaimana diisyaratkan Subangun, para politisi itu tidak lebih dari penjual obat yang sedang sibuk menawarkan dagangan. “Pokoknya, barangnya laku dulu. Persoalan apakah obat itu manjur atau tidak, itu adalah urusan belakangan,” demikian kata penjual obat di kampungku saat kutanya rahasianya.
Nah, bagaimana dengan persoalan ideologi partai? Ah... itu semua Cuma strategi marketing saja kok. Persoalan ideologi itu tak ada bedanya dengan teriakan yang mengabarkan sejauh mana kecanggihan obat tersebut. Semuanya hanya persoalan bagaimana agar “jualan” tersebut dengan gampang terjual ke publik. Makanya, analisis yang memetakan kekuatan nasionalis dan islami itu hanyalah analisis yang lucu-lucuan, tanpa melihat konteks apa yang sesungguhnya terjadi. Hari ini, saya baca Kompas, dan menemukan analisis serupa dilontarkan pengamat politik Indra J Piliang dan Sukardi Rinakit. Mereka menganalisis kemenangan kader PKS dan PAN di Pilkada Jabar. “Suara kubu nasionalis terpecah jadi dua. Makanya, kubu Islam bisa melenggang dan jadi pemenang,” kata Indra.Ini analisis terlucu yang pernah saya dengar. Bayangin, mereka berpikir bahwa realits nasionalis dan Islami seolah-olah itu adalah realitas yang sejati atau real. Apakah ada realitas itu? Ah saya tidak yakin. Saya rasa, batas-batas realitas itu sudah kabur dan harus diperdebatkan. Padahal, itu cuma persoalan bungkus saja. Itu cuma persoalan kemasan yang hendak ditawarkan kepada orang banyak. Kemasan yang sama saja dengan gaya retorik penjual obat yang sedang berteriak, “Obat ini didatangkan langsung dari Jerman, Lihat saja bentuknya seperti rudal yang akan langsung membom penyakit bapak-bapak. Makanya beli obat saya,” katanya. Yah.... inilah politik. (MYD)
TULISAN Emanuel Subangun di Kompas , Selasa (15/4), yang berjudul “Pemasaran Partai Politik” sangat inspiratif. Salah satu penggagas pandangan post-modernisme di Indonesia itu memaparkan tesis yang sungguh menarik tentang bagaimana fenomena mereka yang sibuk di partai politik. Baiklah, saya kutipkan bagian dari penjelasan Subangun yang bikin saya terpingkal-pingkal.
Dalam buku teks ilmu politik lazim disebutkan, berpolitik adalah perjuangan untuk duduk dalam jabatan publik nan politik (public office). Jabatan ini dimaksudkan sebagai sarana merumuskan dan menjalankan kebijakan publik (public policy) demi kemaslahatan rakyat banyak. Akan tetapi, jika mengingat keadaan sekarang di mana pengangguran kaum terdidik di Indonesia amat tinggi karena ekonomi sedang macet, mencari ”jabatan publik” dapat berubah mencari pekerjaan dalam hubungan dengan lowongan kerja. Maka, menjadi pengurus partai tak ubahnya melamar pekerjaan. Kini, dalam pasar kerja yang sempit, duduk di pemerintahan adalah jaminan bahwa upah akan berlimpah karena negara kita subur. Seperti orang muda bermimpi bekerja di perusahaan asing karena gaji dibayar dengan dollar.
Membaca bagian ini, saya langsung tertawa terbahak-bahak. Sebelumnya, saya sudah menyadari fenomena ini. Namun Subangun seakan membuka mata saya untuk melihat lebih terang bahwa politik di negeri ini bukanlah perkara bagaimana mengejawantahkan cita ideal demi mensejahterakan masyarakat. Ternyata, politik tidak lebih dari sebuah pasar kerja di mana banyak pedagang yang menjajakan barang. Mekanisme demokrasi dan ketatanegaraan hanyalah sebuah aturan atau rambu-rambu yang berlaku di pasar. Partai politik dan para fungsionarisnya tidak lebih dari pedagang-pedagang yang sibuk menawarkan barang dengan beragam cara. Pembelinya adalah rakyat Indonesia yang boleh jadi terbagi atas beberapa kategori, mulai dari yang acuh, sampai yang sinis melihat realitas politik. Kata Subangun, ranah politik ibarat sebuah pameran lowongan kerja di mana banyak orang akan sibuk berbondong-bondong masuk ke dalam antrian. Tema-tema kerakyatan serta kesejahteraan menjadi jurus ampuh untuk memikat pencari kerja. Maka, berdirilah banyak partai politik baru dengan para personel yang berharap dapat tambahan penghasilan baru.
Masalahnya, analisis itu hanya tepat bagi mereka yang pengangguran dan ingin masuk partai politik demi penghasilan baru. Lantas, bagaimana dengan mereka yang udah kaya? Jawabannya ada dua hal. Pertama, mereka ingin tambah kaya sebab akan mendapatkan insentif dari semua proyek pembangunan yang ada di daerahnya. Kedua, mereka ingin melestarikan kekayaannya dengan cara membangun dinasti politik yang kelak mengamnkan semua aset dan kekayaannya. Itulah politik Indonesia. Masih tak beranjak dari urusan perut dan arena pamer kekuasaan.
Saya merasa geli karena selama ini saya termasuk orang yang kadang terjebak arus dan suka mensakralkan politik. Sering saya terkagum-kagum saat melihat para politisi sibuk kampanye dan memberi janji-janji kepada warga. Saya kadang terjebak juga dengan kekaguman banyak orang karena seorang kandidat di pilkada punya baliho paling cantik. Saya pernah juga tersentuh dengan janji-janji yang katanya hendak mensejahterakan orang banyak. Padahal, sebagaimana diisyaratkan Subangun, para politisi itu tidak lebih dari penjual obat yang sedang sibuk menawarkan dagangan. “Pokoknya, barangnya laku dulu. Persoalan apakah obat itu manjur atau tidak, itu adalah urusan belakangan,” demikian kata penjual obat di kampungku saat kutanya rahasianya.
Nah, bagaimana dengan persoalan ideologi partai? Ah... itu semua Cuma strategi marketing saja kok. Persoalan ideologi itu tak ada bedanya dengan teriakan yang mengabarkan sejauh mana kecanggihan obat tersebut. Semuanya hanya persoalan bagaimana agar “jualan” tersebut dengan gampang terjual ke publik. Makanya, analisis yang memetakan kekuatan nasionalis dan islami itu hanyalah analisis yang lucu-lucuan, tanpa melihat konteks apa yang sesungguhnya terjadi. Hari ini, saya baca Kompas, dan menemukan analisis serupa dilontarkan pengamat politik Indra J Piliang dan Sukardi Rinakit. Mereka menganalisis kemenangan kader PKS dan PAN di Pilkada Jabar. “Suara kubu nasionalis terpecah jadi dua. Makanya, kubu Islam bisa melenggang dan jadi pemenang,” kata Indra.Ini analisis terlucu yang pernah saya dengar. Bayangin, mereka berpikir bahwa realits nasionalis dan Islami seolah-olah itu adalah realitas yang sejati atau real. Apakah ada realitas itu? Ah saya tidak yakin. Saya rasa, batas-batas realitas itu sudah kabur dan harus diperdebatkan. Padahal, itu cuma persoalan bungkus saja. Itu cuma persoalan kemasan yang hendak ditawarkan kepada orang banyak. Kemasan yang sama saja dengan gaya retorik penjual obat yang sedang berteriak, “Obat ini didatangkan langsung dari Jerman, Lihat saja bentuknya seperti rudal yang akan langsung membom penyakit bapak-bapak. Makanya beli obat saya,” katanya. Yah.... inilah politik. (MYD)