Rabu, 03 September 2008

Menafsir Politik, Menyingkap Makna (Bravo Bung Syaiful ) * taken from MYD


SAIFUL Mujani di mataku adalah pengamat politik yang hebat. Cara berpikirnya jernih dan tidak mau terjebak dengan fenomena politik yang gampang berubah. Fenomena yang gampang berubah itu, hanyalah di permukaan dari realitas yang sebenarnya. Jika potongan fenomena politik itu diibaratkan sekeping puzzle, maka Saiful sanggup menautkan semua puzzle itu menjadi satu bangunan yang jelas dipahami. Ia bisa menyingkap makna dan membuka mata publik apa sesungguhnya yang terjadi. Saya menarik kesimpulan itu setelah menyaksikan komentarnya dalam Today’s Dialogue di Metro TV beberapa malam yang lalu, setelah sebelumnya aku pernah melihatnya mengajar sebagai dosen tamu pada program komunikasi politik UI.
acara dialog pada malam itu menghadirkan pembicara dari PDI (saya lupa namanya), Fahri Hamzah (PKS), serta Priyo Budi Santoso (Golkar). Sejak awal, saya sudah jenuh dan muak ketika masing-masing pembicara itu membahas rencana koalisi. Semua berapi-api membahas fenomena kedatangan Taufik Kiemas ke hajatan Golkar, kemudian Kiemas ke PKS. Semua pembicara itu sama mengatakan bahwa rencana koalisi itu demi membentuk pemerintahan yang stabil, demi menguatkan agenda kepentingan rakyat.
Yang paling bersemangat adalah Fahri Hamzah dari PKS. “Sudah saatnya kita meninggalkan kategorisasi politik yang sudah usang dari antropolog Clifford Geertz yang melihat abangan santri dan priyayi. Kategori aliran ini kemudian diterjemahkan Herbert Feith menjadi Islam, nasionalis, serta moderat. Kategori ini sudah usang dan memecah-belah kekuatan politik kita. Buktinya, PKS yang berhaluan Islam bisa duduk bersama Golkar serta PDIP yang berhaluan nasionalis. Marilah kita melakukan redefinisi dan membumikan kategori politik tersebut. Buktinya, kekuatan politik bisa bersatu,” katanya dengan semangat.
Saya agak tertegun mendengar komentarnya. Saya rasa semakin ia mengkritik Greetz, semakin ia terjebak dalam kategori yang diciptakan Geertz. Bahasanya mengkritik, namun sesungguhnya hanyalah sebuah afirmasi atau pembenaran tentang watak politik kita yang terbelah dalam beberapa kekuatan. Tiba-tiba ia bicara tafsir koalisi.
Apa komentar Saiful? “Saya kira itu cuma permukaan saja. Partai politik kita suka kumpul-kumpul tanpa agenda yang jelas. Mereka suka bikin kerumunan, tanpa tahu hendak di bawa ke mana bangsa ini. Jujur saja, mereka cuma mau dagang sapi saja kok. Saya kira, wacana koalisi itu berawal dari kekhawatiran bahwa mereka akan kalah dalam Pemilu mendatang. Mereka mau menyatukan kekuatan demi menantang SBY dalam pemilihan mendatang,” katanya.
“Tapi Pak Saiful, PKS punya agenda dan warna yang jelas demi meningkatkan kesejahteraan umat,” kata Fahri
“Ah, itu kan cuma menjadi jargon saja di permukaan. Selalu saja ada jarak antara visi ideal dan praksisnya di lapangan. Hari ini menyatakan mendukung wacana ekonomi kerakyatan, tiba-tiba besoknya mendukung kebijakan pemerintah yang menerima kenaikan harga BBM. Itu kan sama saja bohong kepada publik. Trus pernyataan yang mengatakan partai politik duduk bersama, itu makin menunjukkan tidak jelasnya partai. Kalau semua sama, ngapain bikin partai beda. Mendingan dibubarkan saja dan gabung dalam satu bendera. Mestinya visi dipertegas dalam tindakan,” kata Saiful
“Koalisi ini bukan untuk kepentingan pragmatis. Kami mau membangun rencana jangka panjang,” kata Priyo dari Golkar.
“Sebagai rakyat, kita tidak pernah menyaksikan koalisi yang permanen dan bertahan lama. Pemilu lalu, Golkar mendukung Mega sebagai presiden. Tiba-tiba, begitu Mega kalah dan SBY yang menang, Golkar berbalik haluan dan mendukung SBY. Sebagai rakyat, kita terus saja dibohongi partai politik yang sibuk kumpul-kumpul tanpa agenda yang jelas. Saya kira semuanya didorong oleh kepentingan pragmatis dan sesaat untuk Pemilu saja,” kata Saiful. Yang paling jelas adalah PDIP. Kami menolak kenaikan BBM dan menolak impor beras,” kata tokoh partai PDIP.
“Saya kira sama saja. Pada zaman Mega jadi presiden, harga BBM juga dinaikkan,
Tapi waktu itu kan tidak seberapa,” lanjut tokoh PDIP itu.
“Sama saja kok. Malah, sekarang rakyat dapat kompensasi. Sementara dulu sama sekali tidak ada. Saya kira anda semua cuma bermain pada retorika saja kepada rakyat. Mendingan, koalisi ini buka-bukaan saja. Kalian terus-terang saja apa maunya. Kalau Golkar mau majukan ketuanya sebagai presiden, yah dikomunikasikan saja sama PDIP. Demikian pula PDIP, kalau mau ngincar Pak Kalla jadi wapres, buka-bukaan saja. Nggak usah berlindung di balik retorika kepentingan rakyat. Saya kira itu lebih fair kepada rakyat,” kata Saiful.(*MYD)