Senin, 28 April 2008

GOVERNING An Introduction T0 Political Science

GOVERNING
An Introduction
To Political Science
Fourth Edition
Austin Ranney
Review By :
SULHARDI
0706185736

political psychology socialization, and culture

Politik Behaviour
Salah satu pemikiran pokok dari pelopor pendekatan perilaku adalah bahwa tingkah laku politik lebih menjadi fokus dari pada lembaga-lembaga politik atau kekuasaan. Secara umum, konsep-konsep pokok kaum behavioralis dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tingkah laku politik memperlihatkan keteraturan (regularities) sehingga dapat
digeneralisasikan
2. Generalisasi tadi harus dibuktikan kebenarannya dengan merujuk pada tingkah laku lain yang
relevan.
3. Untuk mengumpulkan dan menafsirkan data
diperlukan teknis penelitian yang cermat, jika perlu dengan menggunakan pengukuran atau
teknik-teknik kuantitatif.
4. Peneliti hendaknya tidak memberikan nilai-nilai atau penafsiran pribadi dalam membuat
analisis politik (value-free).
5. Penelitian politik bersifat terbuka terhadap pengaruh disiplin lain.

PSIKOLOGI DAN POLITIK
Psikologi adalah ilmu sifat, dimana fungsi- fungsi dan phenomena pikiran manusia dipelajari. Setiap tindak- tanduk dan aktifitas masyarakat dipengaruhi oleh akal individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum. Maka sampai saat itu pula, ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan Psikologi.
Jika tindak- tinduk politik bisa diketahui dengan sepantasnya, maka akarnya terdapat dalam psikologi dalam pelaksanaan untuk menemukan hasil yang jelas. Para pakar politik sampai saat itu juga mencoba untuk mempelajari tindak- tanduk politik dalam istilah ilmu psikologi.
Para tokoh terkemuka yang melaksanakan hal diatas adalah: Bagehot, Graham Wallas, MacDougall, Durkheim, Leo Bon, Harold Lassevell, dan George Catlin. Menurut pengamatan Barker: penggunaan psikologis menunjukkan teka- teki dari aktifitas manusia dimana telah menjadi kebiasaan sekarang. Jika gagasan nenek moyang kita bersifat ilmu hayat atau biologis, maka kita berpikir secara ilmu jiwa.
Para sarjana yang berpikir secara ilmu jiwa menyatakan bahwa negara dan lembaga politik lainnya merupakan produksi dari pada pemikiran manusia. Jadi lembaga politik dan system diberbagai negara akan sukses dengan iringan keselarasan mental masyarakat didalam negara. ‘’Pemerintahan yang stabil akan menjadi sangat terkenal.’’Menurut Garner: musti tergambar dan ditekan dari ideal mental serta moral sentiment dari mereka, dimana merupakan tombak dalam kekuasaan, singkatnya, semua itu musti terdapat dalam keselarasan dengan mental konstitusi dari bangsa.
Psikologi mengajarkan kita tentang sifat dasar manusia dan ini tidaklah sama disegala penjuru dunia, setiap komunitas memiliki mental dandanan sendiri. Setiap komunitas memiliki kegeniusan dan keistimewaan pandangan terhadap kehidupan. Beberapa komunitas mempunyai kesadaran yang tinggi untuk membangun politik yang baik, dimana sebagian masyarakat sebaliknya. Alasan inilah yang menjawab kenapa tipe keistimewaan dari lembaga politik bisa berjalan sukses dibeberapa negara dan gagal pula terjadi disebagian negara.

FAKTOR PSIKOLOGI PEMBENTUKAN PERILAKU PEMILIH
Untuk melihat lebih jauh perilaku pemilih, formula psikolog Kurt Lewin tentang “peta kognitif” dapat digunakan sebagai penjelas bagaimana warga mengelola pendapat-pendapat mereka dan menentukan pilihan politiknya. Terdapat beragam variasi peta kognitif pada tiap individu, namun kesemuanya memiliki tiga elemen utama, yaitu persepsi mengenai A dan B misalnya. Lalu diurut serta dimaknai dan diberikan penilaian (konseptualisasi), sehingga seseorang memutuskan sikap politiknya (afeksi) terhadap pilihan A atau B.
Di dalam peta kognitif inilah, pertikaian “kekuasaan citra” sebelum bergerak ke kekuasaan politik dilakukan oleh kandidat, menggunakan political marketing dengan –kemungkinan besar–setumpuk polesan di dalamnya, memanfaatkan kriteria tidak rasional (non rational evaluation criteria), yang memang mendominasi peta kognitif pemilih yang belum melek politik. Apa yang merupakan input dan output, atau antara apa yang merupakan kejadian politik dan persepsi kita terhadapnya, adalah dua hal yang saling berkaitan secara langsung. Karena itu, mengandalkan pada apa yang terasa, lebih daripada apa yang terdengar, merupakan sebuah ekspresi irasional dan bahkan bisa disebut primitif.
Kedua, teori romantik yang menyatakan, ketika sebuah realitas politik tercipta, terdapat sebuah inner voice yang tidak mampu dijelaskan hanya oleh sebuah model hubungan input dan output saja.

Pengaruh Kelompok Terhadap Perilaku Pemilih
Analisis perilaku pemilih lain yang dapat digunakan yaitu sosiologis,. Pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Pendekatan sosiologis dilandasi oleh pemikiran bahwa determinan pemilih dalam respon politiknya adalah status sosio-ekonomi, afiliasi religius. Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga, dan pertemanan yang dialami oleh agen pemilih secara historis.
Pengelompokan sosial seperti umur (tua muda), jenis kelamin (laki-perempuan) agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk pengelompokkan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi-organisasi profesi, dan sebagainya, maupun kelompok-kelompok informal seperti keluarga, pertemuan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya. Merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai peranan yang besar dalam menentukan sikap, persepsi dan orientasi seseorang.
Pertimbangan lain yang perlu diperhatikan adalah pendekatan psikologis. Pendekatan ini pada dasarnya melihat sosialisasi sebagai determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih, bukan karakteristik sosiologis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian seseorang yang menjadi variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. karena itu, pendekatan psikologi menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap kandidat. Kedua pendekatan tersebut menempatkan pemilih pada ruang yang kosong. Pemilih ibarat wayang yang tidak mempunyai kehendak yang bebas. Kedua pendekatan tersebut melihat bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika berada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan sebelum kampanye dimulai. Karena itu tidak cukup menjelaskan perilaku politik dengan hanya menggunakan kedua pendekatan tersebut, tetapi juga dibutuhkan pendekatan rasional. Pada akhirnya, siapa yang terpilih nanti akan sangat ditentukan sejauhmana kemampuan figur mencitrakan diri dan merekatkan diri dengan konstituen melalui berbagai wadah yang ada.

SOSIALISASI POLITIK
Dalam perspektif sosiologi politik, sosialisasi tidak hanya sekedar mencari dukungan publik tetapi merupakan sebuah proses dimana seorang individu dapat mengenali sistem politik, kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya politiknya serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik mencakup pengenalan tentang lingkungan kultural, lingkungan politik, dan lingkungan sosial masyarakat individu bersangkutan, juga mempelajari sikap-sikap politik serta penilaiannya terhadap politik . Pengertian tersebut memberikan makna bahwa pembelajaran politik kepada publik dilakukan agar mereka mengenal sistem politik yang sedang berlangsung. Dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah, sosialisasi bertujuan meningkatkan kualitas pemilih, maka pendidikan politik masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang dilakukan oleh berbagai macam agens, seperti keluarga, saudara, teman bermain, sekolah (mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi), lingkungan pekerjaan, dan tentu saja media massa, seperti radio, TV, surat kabar, majalah, dan juga internet. Proses sosialisasi atau pendidikan politik Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan masyarakat madani (civil society). Yaitu suatu masyarakat yang mandiri, yang mampu mengisi ruang public sehingga mampu membatasi kekuasaan negara yang berlebihan. Pertama, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang demokrasi dan hak-hak warga negara. Kedua, memperkenalkan parpol sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan. Ketiga, memperkenalkan lembaga-lembaga negara baik yang ada di tingkat pusat maupun daerah. Keempat, untuk memudahkan masyarakat dalam memahami materi demokrasi digunakan metode learning by doing, yakni peserta diajak berdialog tentang apa saja yang dapat melatih keterampilan berdiskusi seperti pertemuan di tingkat kelurahan, dimana setiap peserta rapat belajar untuk mendengar dan mengemukakan pendapat, menghargai pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak. Metode learning by doing merupakan metode alternatif yang dapat memudahkan masyarakat memahami kehidupan berdemokrasi. Kelima, mengupayakan forum diskusi antara para calon terpilih di setiap daerah pemilihan dengan masyarakat setempat, bukannya kegiatan yang diatasnamakan kunjungan kerja, dimana di dalamnya menyisihkan ruang dan waktu untuk memengaruhi masyarakat untuk mendukungnya pada pilkada ke depan. Melalui forum diskusi, masyarakat diharapkan dapat menyampaikan kepentingan, kemudian calon terpilih nantinya dapat menyerap aspirasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat lokal.

Sosialisasi dan Budaya Politik
Demokratisasi dan budaya politik demokratis hanya bisa diciptakan setelah melalui proses sosialisasi politik. Proses ini mewariskan berbagai nilai politik dari satu generasi ke generasi berikutnya, lewat berbagai agen, seperti keluarga, teman sepergaulan, sekolah/perguruan tinggi, dan media massa yang menghasilkan individu mandiri. Walau demikian, demokratisasi yang kuat dan meluas serta perwujudan sistem politik yang demokratis dan stabil, tidak akan pernah muncul, bila budaya politik kita masih didominasi oleh pola hubungan yang bersifat hirarkis, patronage serta gejala neo-patrimonialisme.

Budaya Politik : Tema dan Variasinya
BUDAYA politik biasanya berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) perseorangan, yang merupakan dasar semua tingkah laku politik masyarakat. Sementara sistem nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat merupakan komponen penting bagi pembentukannya yang merupakan refleksi terhadap orientasi, sikap dan perilaku politik masyarakat dalam merespons setiap objek dan proses politik yang sedang berjalan.
Para ilmuwan politik yang sangat berperanan dalam mengembangkan teori kebudayaan politik, seperti Gabriel Almond, Sidney Verba dan Lucian W.Pye, hampir setengah abad yang lampau telah merintis sebuah riset tentang keterkaitan antara budaya dan politik. Mereka menyatakan bahwa setiap proses politik senantiasa terjadi dalam lingkup budaya. Artinya, dalam jangka waktu tertentu akan selalu terjadi proses dialektika antara kehidupan politik di satu pihak dengan sistem nilai budaya masyarakat di pihak lain.
Budaya politik sendiri merupakan cerminan sikap khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem politik itu. Oleh karena itu, ia tidak lain dari orientasi psikologis terhadap objek sosial -- dalam hal ini sistem politik -- yang kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif (pemahaman dan keyakinan), afektif (ikatan emosional/perasaan) dan evaluatif (penilaian).
Budaya politik juga merupakan rangkaian kepercayaan, kebiasaan dan perilaku yang berkaitan dengan kehidupan politik. Ia pada hakikatnya merupakan lingkungan psikologis tempat kegiatan-kegiatan politik berlangsung yang memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima sejumlah milai dan norma lainnya.
Dalam derajat yang tertinggi, budaya politik umumnya akan dapat membentuk aspirasi, obsesi, preferensi dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang diakibatkan oleh perubahan politik. Dengan sikap dan orientasi seperti itu, disertai dengan adanya determinan nilai-nilai keunggulan lokal (local genius) maka akan dapat dijumpai berbagai tipe budaya politik lokal yang berbeda-beda di berbagai daerah.

Tipologi Budaya Politik
Mengacu pada terminologi Almond dan Verba, maka dalam kehidupan masyarakat dapat dijumpai setidaknya tiga tipe budaya politik, yaitu masyarakat dengan budaya parokial, kawula, dan partisipan. Di dalam sebuah masyarakat di mana sikap dan orientasi politiknya sangat didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif maka akan membentuk budaya politik yang parokial. Masyarakat sama sekali tidak menyadari untuk apa mereka melakukan kegiatan politik. Kesadaran kognitif politiknya terbatas pada pengetahuan bahwa kekuasaan politik memang ada dalam masyarakat, dan keikutsertaannya lebih banyak karena mobilisasi, solidaritas atau ikut-ikutan.
Dalam sebuah masyarakat yang mempunyai kecenderungan sikap dan orientasi politik dengan karakteristik yang bersifat efektif, maka akan membentuk budaya politik yang bersifat kaula. Masyarakatnya cenderung bersifat nrimo karena merasa tak mampu mengubah sistem politik, sehingga tiada jalan lain baginya kecuali patuh, setia dan mengikuti segala instruksi serta anjuran pemimpin politiknya.
Sementara masyarakat yang sangat dominan memiliki kompetensi politik yang tinggi, di mana warga masyarakat mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang sedang berjalan, akan membentuk sebuah budaya politik yang partisipan. Masyarakat sudah mulai melibatkan diri secara intensif dalam berbagai kegiatan politik. Mereka bisa merupakan anggota aktif ormas atau parpol, atau anggota masyarakat biasa yang dapat menilai dengan penuh kesadaran baik sistem politik sebagai totalitas, masukan atau keluaran kebijakan pemerintah, maupun posisi dirinya sendiri dalam berpolitik.

Perbedaan Budaya Politik Antar Bangsa
Dalam studi yang dilakukan oleh Almond dan Verba ditemukan bahwa negara-negara yang mempunyai budaya politik yang sudah matang akan menopang demokrasi yang stabil. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki derajat budaya politik yang belum matang tidak mendukung terwujudnya demokrasi yang stabil. Kematangan budaya politik tersebut ditunjukkan dengan peluang yang diberikan oleh negara kepada masyarakat untuk mandiri, sehingga memiliki tingkat kompetensi yang tinggi.
Adapun hal hal yang berpengaruh dalam budaya politik suatu bangsa adalah sebagai berikut :
Identifikasi terhadap Bangsa
Banyak ilmuwan politik yakin bahwa stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh tingkat loyalitas warganya terhadap bangsanya melebihi loyalitasnya terhadap kelas, daerah, suku atau agama di negara tersebut.

Trust di dalam Masyarakat
Saling percaya di antara anggota masyarakat dalam suatu bangsa adalah sebuah komponen penting. Ukuran sederhananya adalah ketika seseorang dalam suatu bangsa ditanyakan setuju atau tidak setuju dengan pernyataan : “Kebanyakan orang dapat dipercaya” dalam masyarakatnya. Jika mayoritasnya tidak setuju hal ini menyatakan bahwa dalam bangsa tersebut kurang memiliki trust diantara mereka.
Kepercayaan terhadap Institusi
Ketaatan kepada hukum tidak dapat dipaksakan dengan kekerasan oleh suatu pemerintahan. Kepercayaan terhadap otoritaslah yang dapat membuat masyarakat mematuhi hukum. Pemerintah membuat dan melaksanakan keputusannya dengan prosedur sebagaimana mestinya dan keputusan tersebut mempengaruhi berbagai hal tentang pemerintahan dan seharusnya tidak melanggar hak-hak swasta dan pribadi.

Kemanjuran Politik (Political Efficacy)
Warga negara percaya bahwa mereka dapat mempengaruhi kerja pemerintah atau pemerintah mengambil opini warga negara ke dalam pertanggungjawaban pembuatan keputusan.
Hasil penelitian Gabriel Almond dan Sidney Verba terhadap lima negara, menghasilkan prosentase keyakinan warga negara yang menyatakan mereka dapat melakukan sesuatu terhadap regulasi lokal yang tidak fair. Amerika Serikat dan Inggris lebih tinggi dibandingkan Jerman Barat, Italia dan Meksiko.

Kewajiban Warga Negara untuk Berpartisipasi
Setiap pemerintahan baik yang demokratis maupun tidak menginginkan warga negaranya untuk berpartisipasi dalam aktifitas politik walaupun sedikit.
Seberapa banyak dan bagaimana warga Negara berpartisipasi di negara demokrasi barat banyak dipengaruhi oleh kewajiban moral.
Almond-Verba mengajukan pertanyaan “ Bagian apa yang anda pikir orang biasa seharusnya terlibat dalam urusan lokal di kota atau distrik yang bersangkutan ?” Amerika Serikat lagi-lagi tinggi prosentasenya 51% menurut mereka orang biasa harus terlibat aktif (pertemuan-pertemuan, bergabung dalam suatu organisasi, terlibat dalam masalah-masalah komunitas,dll), 27% harus tertarik (mendapatkan informasi dan memilih). Sementara di Italia, Jerman Barat dan Meksiko lebih rendah keterlibatannya.
Budaya politik suatu bangsa menyajikan lingkungan psikologi secara umum dimana sistem politik tersebut bekerja. Tekanan opini publik pada isu-isu tertentu dari hari kehari makin mempengaruhi pemerintah.

PENGARUH AGAMA TERHADAP BUDAYA POLITIK
Agama dalam kehidupan politik adalah topik yang selalu menarik untuk dipelajari. Perdebatan terus berkembang di kalangan ideolog (partai) politik, tokoh agama, dan para pemilih yang memiliki latar belakang agama tetentu. Nilai-nilai agama hadir yang selalu dalam kehidupan privat dan publik tersebut dalam anyak hal dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Agama tampaknya terus ianggap penting dalam kontestasi politik. Pertama, bagi kalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas dasar kesamaan dasar teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Penggunaan asas Islam atau Partai yang didirikan atau didukung oleh kelompok-kelompok Islam tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Timur Tengah juga berlangsung konstestasi politik di mana adakalanya didominasi oleh partai-partai yang berasaskan agama. Partai yang menggunakan asas agama (Islam) Nampak terus berkembang di Asia. Apakah trend adanya partai politik yang memiliki pendukung atau berazaskan agama hanya ada di negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim seperti Indonesia? Fenomena ini ternyata tidak hanya berlangsung di kalangan negara-negara dengan mayoritas muslim. Di beberapa negara Barat yang telah lama menganut dan mengembangkan demokrasi juga nampak mengalami fenomena serupa. Agama tampak masih dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik. Hanya saja yang membedakan dengan negara-negara yang sistem demokrasinya baru berkembang, di negara-negara barat (terutama Amerika), faktor agama hadir dalam kehidupan publik dalam beberapa turunan isu publik dan kebijakan.
Dalam literatur perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu, atau partai yang diidentikkan dengan agama tertentu. Di Amerika Serikat pada awalawal tahun 1930-an sampai dengan 1980-an mayoritas pengikut Katolik Roma dan Yahudi biasanya mendukung partai Demokrat, sedangkan mayoritas pengikut Protestan mendukung partai Republik. Tetapi kaitan antara agama dengan perilaku pemilih ini bersifat fluktuatif dan tidak konstan dari satu waktu ke waktu lain. Di Amerika sendiri misalnya, kecenderungan politik berdasarkan agama seperti ini sepertinya di tahun 1980-an hingga sekarang.
Di Indonesia, faktor agama juga banyak dikaji oleh pengamat dan peneliti perilaku politik. Alasannya, agama masih dipandang penting oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Masih banyak masyarakat yang menjadi pemeluk agama yang taat. Fokus yang banyak diteliti adalah apakah pemilih dengan latar belakang agama tertentu cenderung memilih partai atau kandidat dengan agama yang sama dengan dirinya. Pemilih Islam, misalnya apakah cenderung memilih partai atau kandidat yang berlatar belakang Islam dibandingkan agama lain. Studi yang dilakukan oleh Liddle dan Mujani menghasilkan temuan hubungan antara agama dengan perilaku memilih memang positif, dalam arti menjadi seorang Muslim cenderung untuk memilih partai Islam dan sebaliknya menjadi seorang non-Muslim cenderung memilih partai non Islam. Tetapi hubungan agama dan perilaku pemilih lemah. Faktor agama belum menjadi penjelas penting dalam perilaku pemilih seseorang.