Tak ada hal yang lepas dari pretensi kepentingan – Foucault-
Latar belakang Masalah
Di tengah peradaban yang sudah bertransformasi menjadi The Age of Media Society, tak seorang pun meragukan kedigjayaan media massa. Media massa bukan saja menjadi ikon zaman, tapi juga penanda dari setiap perikehidupan yang berlangsung dalam abad ini. Tak sedetik pun momen terlewatkan dari media massa. Tak secelah pun informasi terabaikan. Lebih-lebih lagi, bila kita bicara ihwal televisi.Di antara media massa lainnya, televisi memang primadonanya. Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi.
betapa dominannya posisi televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun individu. Namun, di balik kuatnya posisi tersebut, televisi—atau tepatnya, industri televisi—menghadirkan sederet permasalahan. Ini terutama disebabkan oleh content televisi yang acap mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak. Sebagian besar produk televisi adalah program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional dan mengandung unsur-unsur hegemoni tertentu.
Dalam perspektif Marxian, media massa berpotensi menyebarkan ideology dominan. Ideology dominan biasanya disebarkan oleh orde yang berkuasa dalam rangka mengekalkan kekuasaannya. Dalam rangka mengekalkan kekuasaan tersebut, kelompok yang dominan melalui media cenderung menyuarakan kepentingannya dan berusaha agar kelas lain turut serta berpartisipasi dengan sukarela, atau tanpa mereka sadari dan itulah yang disebut sebagai “hegemoni”.
Di Indonesia sendiri pada masa Orde Baru Media Massa mendapat control yang begitu ketat dari penguasa dan menjadi corong untuk melanggengkan kekuasaannya dengan melakukan Hegemoni. Seperti pemutaran secara berkala Film perisitwa G 30 S/PKI yang penuh rekayasa dan pembelokan sejarah dan sampai saat ini masih menyisakan pengaruh bagi sebagian masyarakat di Indonesia sehingga sampai sekarang kita mengenal ada organisasi yang menamakan dirinya front anti komunis yang dibentuk secara sukarela oleh masyarakat itu sendiri.
Ketika memasuki Era reformasi di mana Media Massa menikmati kebebasannya dan tidak lagi menjadi corong bagi penguasa, akan tetapi tidak berarti dengan serta merta media massa terutama Televisi bebas dari control pihak tertentu ibarat keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa begitulah kira kira penggambaran dari kondisi media massa saat ini. Meski tidak lagi menjadi corong penguasa akan tetapi media massa tidak pernah lepas dari intervensi sang pemilik modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang nota bene memiliki beragam kepentingan taruhlah seperti kepentingan ekonomi, politik dan ideology tertentu.
Konglomerasi Media Di Indonesia
Dengan kata lain ketika berbicara tentang media massa dalam hal ini media penyiaran Televisi maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang berpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, Lativi dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan pimpinannya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Singkat kata nama nama pemilik media yang disebutkan di atas tadi merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan dan beberapa di antara ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada pula yang merupakan Tokoh penting pada salah satu partai yang sekian lama berkuasa di republimk Ini (baca Golkar). Tidak menutup kemungkinan mereka membangun Media untuk memuluskan kepentingannya dalam hal Perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media.Hal ini dapat dilihat dari wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa seperti yang baru baru ini terlihat bagaiman televisi ramai ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar padahal di sisi lain masih banyak agenda agenda penting lainnya yang harus diketahui oleh Publik seperti Penyelesaian Kasus lumpur lapindo yang sampai saat ini masih jauh dari kata “beres”. Padahal salah satu hak yang harus didapat masyarakat dari media adalah mereka mendapatkan Diversity Informasi1.
Tentu saja Konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan bangsa bangsa ini mengingat pengaruh media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen habemas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public Sphere yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan2. Dalam artian media selayaknya menjadi “The Market Palces Of Ideas” tempat penawaran berbagai gagasan sebagaimana setiap konsep pasar, yang mana hanya ide terbaik sajalah yang pantas dijual dan ditawarkan.
Media massa dan Hegemoni
Dalam pandangan mazhab kritis, terutama dalam studi studi yang dikembangkan oleh Centre for Contemporary Cultural studies, Bringmiham University, media massa selalu dirasakan sebagai alat yang “powerfull” dan ada ideology dominan di dalamnya 3. Hal ini yang disebut oleh para penggiat Cultural studies sebagai hegemoni media. Teori hegemoni ini dicetuskan oleh gramsci yang merujuk pada kekuasaan dan praktis. Hegemoni merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Di sini, institusi media memberikan sebuah fungsi hegemoni yang secara terus menerus memproduksi sebuah ideology yang kohesif (ideology yang meresap), satu perangkat nilai-nilai “commonsense” dan norma norma yang memproduksi dan mengesahkan dominasi struktur sosial tertentu yang mana kelas – kelas sub-ordinasi berpartisipasi di dalam dominasi mereka itu. Bahkan lebih lanjut menurut Gitlin mendefenisikan hegemoni sebagai “rekayasa sistematik” kepatuhan massa untuk memapankan kekuasaan kelompok yang berkuasa.
Stuart Hall berpendapat Media massa cenderung mengukuhkan ideology dominan untuk menancapkan kuku kekuasaannya melaui Hegemoni . Melalui media massa pula juga menyediakan frame work bagi berkembangnya budaya massa. Melalui media massa pula kelompok dominan terus-menerus menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasainya. Sedangkan menurut MC. Luhan seorang pengkritik media ia mengatakan Media massa bukan hanya sebagai media pengirim pesan tapi juga mempengaruhi nilai nilai budaya dan membuat streotyp mengenai gender, Ras, dan etnik. Dan memiliki kontribusi terhadap pengalaman komunikasi dan bisa saja memonopoli dunia pemikiran seseorang.
Maka dari itu selama media masih dikuasai oleh ideology dominan, maka mereka akan menggambarkan kelompok oposisi sebagai kaum marginal . bagi Hall dan koleganya, interpretasi teks media selalu muncul di dalam suatu pertarungan dari control ideologis. Ronald Lembo dan Kenneth Tucker menggambarkan proses tersebut sebagai “arena kompetisi di mana individu atau kelompok mengekspresikan kepentingan yang berlawanan7.
Dari uraian kerangka teori di atas maka tampak jelaslah apabila media massa akan senantiasa menjadi ajang Hegemoni bagi kelompok yang berkuasa artinya masyarakat patuh pada pada kehendak penguasa dan mereka secara tidak sadar berpartisipasi dalam rangka kepatuhan tersebut.
Kapitalisme Global dan Hegemoni Media
Ketika kita berbicara tentang hegemoni Media massa maka kita tidak bisa melepas variabel Globalisasi dan kapitalisme sebagai salah satu jalan Tol bagi pihak pihak yang berkuasa untuk melakukan hegemoninya akan tidak Dalam cara pandang hegemonian, kebudayaan global akan bersifat tunggal karena watak kapitalisme yang monolitik. Seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi simboliknya akan mengacu pada ekspresi dominan dalam nama pasar. Tidak ada celah lagi untuk menjadi independen secara simbolik karena rekayasa elitis yang terlanjur disepakati oleh moralitas, kognisi, dan afeksi masyarakat bawah. Padahal ketiga faktor inilah yang terpenting dalam memproduksi simbol. Kebudayaan lokal yang tidak marketable akan terpinggirkan karena desakan kultur asing yang sangat profit oriented. Dalam kaca mata Hegemoni Gramsci, penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang dengan segala tipu daya bisa mematikan kesadaran resistensi masyarakat. Dalam kondisi hegemoni, orang tidak akan punya kekuatan kritis lagi. Semuanya serba pesimis. Seperti halnya Soeharto pada pertengahan masa orba sampai menjelang ajalnya tampil sebagai penguasa yang ditakuti. Ia--seperti halnya Lee Kuan Yew--punya prinsip lebih baik ditakuti daripada dicintai. Siapa orang yang berani terang-terangan menentang Soeharto waktu itu. Dalam tataran politik praktis tentu tidak ada. Namun dalam ranah kultur keseharian, soeharto tidak benar-benar absolut. Di tingkat bawah, orang sudah muak dan kemuakan itu muncul dalam berbagai bentuk resistensi. Resistensi yang paling sederhana adalah humor. Subversi kecil-kecilan itu paling tidak akan memunculkan rasa bahwa mereka tidak terkuasai. Kita bisa melihat berapa banyaknya humor-humor politik yang hidup subur di masyarakat dan cepat menyebar. Semuanya bernada kritis pada penguasa. Kondisi ini mirip Rusia pada masa Kruschev. Kalau ekspresi politik resmi tidak bisa disalurkan, jalur kultural siap menampungnya.
Dalam dunia kebudayaan populer perdebatannya semakin ramai. Kalau diambil asumsi bahwa globalisasi--wajah lain dari kapitalisme internasional--telah melakukan penetrasi kultural ke segala mata angin dunia, maka seharusnya ekspresi kebudayaan dunia akan bermuka tunggal dalam satu kontrol. Tapi rumus hegemonian itu tidak sepenuhnya bekerja dengan baik. Cara padang ofensi versus resistensi terasa terlalu sederhana apabila dilihat dinamika budaya yang tidak sefrontal itu. Saat musik rap Amerika menjalar ke seluruh negeri, orang Indonesia khawatir musik domestik akan hilang. Namun apa yang terjadi. Tidak dalam rangka menentang rap, Iwa K. malah melakukan terobosan dengan membuat rap dalam lirik bahasa Indonesia. Begitu juga saat banyak orang Jawa khawatir pada serbuan musik pop, Jadug Ferianto dan Manthous malah membuat gamelan dalam tangga nada diatonis, tidak lagi pentatonis. Dalam struktur diatonis, lagu apapun dari negeri manapun akan bisa dibawakan dalam timbre gamelan yang khas Jawa. Ekspresi kebudayaan tidak bisa disederhanakan ke dalam kotak apa pun termasuk kelas. Bahwa perspektif kelas bisa membantu melakukan analisis itu benar. Namun menggantungkan analisis hanya pada satu instrumen kelas saja akan sangat reduksionis dan dangkal. Kadang ekspresi tidak butuh ideologi. Estetika bisa saja menjadi determinan.
media massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik. media massa hanya bersifat satu arah melayani kepentingan ekonomi. Bahkan istilah media mungkin perlu digeser menjadi mediasi karena di sanalah segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu. Hasil interaksi antar simbol itu akan bersintesis dan menemukan bentuk ekspresi baru. Bentuk baru itu ada dalam spektrum yang amat luas dan tidak melulu hegemonik.
Media Penyiaran Komunitas Sebagai Counter Hegemoni
Penyiaran adalah arena pertarungan dalam perebutan makna antara pihak-pihak yang ingin "berkuasa". Selanjutnya, dalam pertarungan tersebut terbentuk dua kutub kepentingan, massa vis-a-vis pemilik modal. Media penyiaran dalam konteks pertarungan tersebut selayaknya berpihak pada massa dan berupaya mendorong manusia untuk berkesadaran kritis. Keberpihakan seperti ini mutlak dilakukan dalam upaya melawan dominasi sistem hegemonik. Gramsci lewat teorinya menyarankan kepada massa untuk membangun counter wacana atau yang lazim disebut wacana tandingan (counter discourses). Counter wacana ini untuk mengimbangi dominasi dan hegemoni yang dikonstruksi oleh para kaum kapitalis.
Dalam dunia penyiaran, gerakan ini sesungguhnya diamanatkan pada lembaga penyiaran komunitas, yang berbasis kewargaan. Mengapa demikian? Bila melihat basis filosofisnya, lembaga penyiaran komunitas amat berbeda dengan lembaga penyiaran swasta. Lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang terbentuk dari inisiatif warga, dan bertujuan memenuhi kebutuhan warga akan informasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Lembaga penyiaran ini berpijak pada penguatan kesadaran kritis warga terhadap segala hal yang berpotensi eksploitatif dan dominatif.
Atas dasar tersebut maka lembaga penyiaran komunitas harus memenangkan konsensus dalam perebutan makna tersebut -meminjam istilah Jurgen Habermas. Lembaga penyiaran komunitas harus mampu membalikkan kebudayaan dominan yang dianut, bahkan harus dapat memaksa kaum kapitalis untuk tunduk pada kebudayaan warga yang berbasis pada kesadaran kritis.
Dalam upaya memenangkan pertarungan, lembaga penyiaran komunitas harus mengonsolidasikan diri dan membangun kerja-kerja jaringan dengan sesama lembaga penyiaran komunitas lainnya. Jaringan yang terbentuk kemudian bersinergi dalam menyusun taktik dan strategi sehingga ada kesamaan visi dalam melakukan perlawanan. pengorganisasian menjadi mutlak dilakukan mengingat sistem yang dilawan adalah sistem yang terorganisasi dengan rapi dan telah memiliki infrastruktur kebudayaan yang kuat.
Daftar Pustaka
Griffin EM (2005) “A First look at Communication Theory” Six Edition
Mc Graw Hill
Heryanto Ariel (2000) Perlawanan dalam kepatuhan Esai-esai budaya Dr. Ariel Heryanto Mizan Bandung.
Hidayat, Dedy. N., 2000, Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama
Irawanto Budi (1999) . Film ideology dan Militer : Hegemoni Militer dalam sinema Indonesia . Media Pressindo : Yogyakarta
Latif Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (eds) (1996) Bahasa dan Kekuasaan: Politik wacana panggung Orde Baru .Mizan Bandung
Littlejohn, Stephen W (2005) Theories of Human Communication. Wadworth Publishing Company:Belmont
Marpaung Tegar (2007) Pers Indonesia Pasca reformasi (antara kebebasan , tantangan dan harapan ) Makalah persentasi MK. Dinamika Kekuatan politik Indonesia
MC Quail’s Dennis (2005) Media Massa Theory Five Edition SAGE Publications London
Mustary Rizal (2007) Intervensi Pemilik Modal dalam Media Penyiaran: ancaman terhadap Demokrasi dan kehidupan politik pasca reformasi Makalah persentasi MK. Dinamika Kekuatan Politik Indonesia
O’sullivan (1995) Key Concepts in communication and Cultural Studies. Routledge : London and New York
Shoemaker and Reese (1995) Mediating The Message : Theories of Influences on mass media Content. Longman : New York and London
Kellner, Douglas (1990) television and the crisis of democracy West View Press
Webster, Franck, 1995, Theories of The Information Society, London:Routledge
Dennis Mc Quail’s Media Massa Theory Five Edition 2005 Page 235 Sage publication London
Little John W stephen “ Theories of Human Communication” Thomson Eight Edition , 2005 Page 320.
Little John W stephen “ Theories of Human Communication” Thomson Eight Edition , 2005 Page 324
Shoemaker and reese “Mediating the message :theories of influences on mass media
Content Page 194 Longman New York and London
EM Griffin “A First look at Communication Theory” Six Edition Mc Graw Hill 2005 page 371
kwal gamble michael gamble communication works eight edition mc graw. Hill 2005
page 212
Little John W stephen “ Theories of Human Communication” Thomson Eight Edition , 2005 Page 324
Di tengah peradaban yang sudah bertransformasi menjadi The Age of Media Society, tak seorang pun meragukan kedigjayaan media massa. Media massa bukan saja menjadi ikon zaman, tapi juga penanda dari setiap perikehidupan yang berlangsung dalam abad ini. Tak sedetik pun momen terlewatkan dari media massa. Tak secelah pun informasi terabaikan. Lebih-lebih lagi, bila kita bicara ihwal televisi.Di antara media massa lainnya, televisi memang primadonanya. Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi.
betapa dominannya posisi televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun individu. Namun, di balik kuatnya posisi tersebut, televisi—atau tepatnya, industri televisi—menghadirkan sederet permasalahan. Ini terutama disebabkan oleh content televisi yang acap mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak. Sebagian besar produk televisi adalah program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional dan mengandung unsur-unsur hegemoni tertentu.
Dalam perspektif Marxian, media massa berpotensi menyebarkan ideology dominan. Ideology dominan biasanya disebarkan oleh orde yang berkuasa dalam rangka mengekalkan kekuasaannya. Dalam rangka mengekalkan kekuasaan tersebut, kelompok yang dominan melalui media cenderung menyuarakan kepentingannya dan berusaha agar kelas lain turut serta berpartisipasi dengan sukarela, atau tanpa mereka sadari dan itulah yang disebut sebagai “hegemoni”.
Di Indonesia sendiri pada masa Orde Baru Media Massa mendapat control yang begitu ketat dari penguasa dan menjadi corong untuk melanggengkan kekuasaannya dengan melakukan Hegemoni. Seperti pemutaran secara berkala Film perisitwa G 30 S/PKI yang penuh rekayasa dan pembelokan sejarah dan sampai saat ini masih menyisakan pengaruh bagi sebagian masyarakat di Indonesia sehingga sampai sekarang kita mengenal ada organisasi yang menamakan dirinya front anti komunis yang dibentuk secara sukarela oleh masyarakat itu sendiri.
Ketika memasuki Era reformasi di mana Media Massa menikmati kebebasannya dan tidak lagi menjadi corong bagi penguasa, akan tetapi tidak berarti dengan serta merta media massa terutama Televisi bebas dari control pihak tertentu ibarat keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa begitulah kira kira penggambaran dari kondisi media massa saat ini. Meski tidak lagi menjadi corong penguasa akan tetapi media massa tidak pernah lepas dari intervensi sang pemilik modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang nota bene memiliki beragam kepentingan taruhlah seperti kepentingan ekonomi, politik dan ideology tertentu.
Konglomerasi Media Di Indonesia
Dengan kata lain ketika berbicara tentang media massa dalam hal ini media penyiaran Televisi maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang berpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, Lativi dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan pimpinannya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Singkat kata nama nama pemilik media yang disebutkan di atas tadi merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan dan beberapa di antara ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada pula yang merupakan Tokoh penting pada salah satu partai yang sekian lama berkuasa di republimk Ini (baca Golkar). Tidak menutup kemungkinan mereka membangun Media untuk memuluskan kepentingannya dalam hal Perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media.Hal ini dapat dilihat dari wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa seperti yang baru baru ini terlihat bagaiman televisi ramai ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar padahal di sisi lain masih banyak agenda agenda penting lainnya yang harus diketahui oleh Publik seperti Penyelesaian Kasus lumpur lapindo yang sampai saat ini masih jauh dari kata “beres”. Padahal salah satu hak yang harus didapat masyarakat dari media adalah mereka mendapatkan Diversity Informasi1.
Tentu saja Konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan bangsa bangsa ini mengingat pengaruh media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen habemas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public Sphere yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan2. Dalam artian media selayaknya menjadi “The Market Palces Of Ideas” tempat penawaran berbagai gagasan sebagaimana setiap konsep pasar, yang mana hanya ide terbaik sajalah yang pantas dijual dan ditawarkan.
Media massa dan Hegemoni
Dalam pandangan mazhab kritis, terutama dalam studi studi yang dikembangkan oleh Centre for Contemporary Cultural studies, Bringmiham University, media massa selalu dirasakan sebagai alat yang “powerfull” dan ada ideology dominan di dalamnya 3. Hal ini yang disebut oleh para penggiat Cultural studies sebagai hegemoni media. Teori hegemoni ini dicetuskan oleh gramsci yang merujuk pada kekuasaan dan praktis. Hegemoni merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Di sini, institusi media memberikan sebuah fungsi hegemoni yang secara terus menerus memproduksi sebuah ideology yang kohesif (ideology yang meresap), satu perangkat nilai-nilai “commonsense” dan norma norma yang memproduksi dan mengesahkan dominasi struktur sosial tertentu yang mana kelas – kelas sub-ordinasi berpartisipasi di dalam dominasi mereka itu. Bahkan lebih lanjut menurut Gitlin mendefenisikan hegemoni sebagai “rekayasa sistematik” kepatuhan massa untuk memapankan kekuasaan kelompok yang berkuasa.
Stuart Hall berpendapat Media massa cenderung mengukuhkan ideology dominan untuk menancapkan kuku kekuasaannya melaui Hegemoni . Melalui media massa pula juga menyediakan frame work bagi berkembangnya budaya massa. Melalui media massa pula kelompok dominan terus-menerus menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasainya. Sedangkan menurut MC. Luhan seorang pengkritik media ia mengatakan Media massa bukan hanya sebagai media pengirim pesan tapi juga mempengaruhi nilai nilai budaya dan membuat streotyp mengenai gender, Ras, dan etnik. Dan memiliki kontribusi terhadap pengalaman komunikasi dan bisa saja memonopoli dunia pemikiran seseorang.
Maka dari itu selama media masih dikuasai oleh ideology dominan, maka mereka akan menggambarkan kelompok oposisi sebagai kaum marginal . bagi Hall dan koleganya, interpretasi teks media selalu muncul di dalam suatu pertarungan dari control ideologis. Ronald Lembo dan Kenneth Tucker menggambarkan proses tersebut sebagai “arena kompetisi di mana individu atau kelompok mengekspresikan kepentingan yang berlawanan7.
Dari uraian kerangka teori di atas maka tampak jelaslah apabila media massa akan senantiasa menjadi ajang Hegemoni bagi kelompok yang berkuasa artinya masyarakat patuh pada pada kehendak penguasa dan mereka secara tidak sadar berpartisipasi dalam rangka kepatuhan tersebut.
Kapitalisme Global dan Hegemoni Media
Ketika kita berbicara tentang hegemoni Media massa maka kita tidak bisa melepas variabel Globalisasi dan kapitalisme sebagai salah satu jalan Tol bagi pihak pihak yang berkuasa untuk melakukan hegemoninya akan tidak Dalam cara pandang hegemonian, kebudayaan global akan bersifat tunggal karena watak kapitalisme yang monolitik. Seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi simboliknya akan mengacu pada ekspresi dominan dalam nama pasar. Tidak ada celah lagi untuk menjadi independen secara simbolik karena rekayasa elitis yang terlanjur disepakati oleh moralitas, kognisi, dan afeksi masyarakat bawah. Padahal ketiga faktor inilah yang terpenting dalam memproduksi simbol. Kebudayaan lokal yang tidak marketable akan terpinggirkan karena desakan kultur asing yang sangat profit oriented. Dalam kaca mata Hegemoni Gramsci, penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang dengan segala tipu daya bisa mematikan kesadaran resistensi masyarakat. Dalam kondisi hegemoni, orang tidak akan punya kekuatan kritis lagi. Semuanya serba pesimis. Seperti halnya Soeharto pada pertengahan masa orba sampai menjelang ajalnya tampil sebagai penguasa yang ditakuti. Ia--seperti halnya Lee Kuan Yew--punya prinsip lebih baik ditakuti daripada dicintai. Siapa orang yang berani terang-terangan menentang Soeharto waktu itu. Dalam tataran politik praktis tentu tidak ada. Namun dalam ranah kultur keseharian, soeharto tidak benar-benar absolut. Di tingkat bawah, orang sudah muak dan kemuakan itu muncul dalam berbagai bentuk resistensi. Resistensi yang paling sederhana adalah humor. Subversi kecil-kecilan itu paling tidak akan memunculkan rasa bahwa mereka tidak terkuasai. Kita bisa melihat berapa banyaknya humor-humor politik yang hidup subur di masyarakat dan cepat menyebar. Semuanya bernada kritis pada penguasa. Kondisi ini mirip Rusia pada masa Kruschev. Kalau ekspresi politik resmi tidak bisa disalurkan, jalur kultural siap menampungnya.
Dalam dunia kebudayaan populer perdebatannya semakin ramai. Kalau diambil asumsi bahwa globalisasi--wajah lain dari kapitalisme internasional--telah melakukan penetrasi kultural ke segala mata angin dunia, maka seharusnya ekspresi kebudayaan dunia akan bermuka tunggal dalam satu kontrol. Tapi rumus hegemonian itu tidak sepenuhnya bekerja dengan baik. Cara padang ofensi versus resistensi terasa terlalu sederhana apabila dilihat dinamika budaya yang tidak sefrontal itu. Saat musik rap Amerika menjalar ke seluruh negeri, orang Indonesia khawatir musik domestik akan hilang. Namun apa yang terjadi. Tidak dalam rangka menentang rap, Iwa K. malah melakukan terobosan dengan membuat rap dalam lirik bahasa Indonesia. Begitu juga saat banyak orang Jawa khawatir pada serbuan musik pop, Jadug Ferianto dan Manthous malah membuat gamelan dalam tangga nada diatonis, tidak lagi pentatonis. Dalam struktur diatonis, lagu apapun dari negeri manapun akan bisa dibawakan dalam timbre gamelan yang khas Jawa. Ekspresi kebudayaan tidak bisa disederhanakan ke dalam kotak apa pun termasuk kelas. Bahwa perspektif kelas bisa membantu melakukan analisis itu benar. Namun menggantungkan analisis hanya pada satu instrumen kelas saja akan sangat reduksionis dan dangkal. Kadang ekspresi tidak butuh ideologi. Estetika bisa saja menjadi determinan.
media massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik. media massa hanya bersifat satu arah melayani kepentingan ekonomi. Bahkan istilah media mungkin perlu digeser menjadi mediasi karena di sanalah segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu. Hasil interaksi antar simbol itu akan bersintesis dan menemukan bentuk ekspresi baru. Bentuk baru itu ada dalam spektrum yang amat luas dan tidak melulu hegemonik.
Media Penyiaran Komunitas Sebagai Counter Hegemoni
Penyiaran adalah arena pertarungan dalam perebutan makna antara pihak-pihak yang ingin "berkuasa". Selanjutnya, dalam pertarungan tersebut terbentuk dua kutub kepentingan, massa vis-a-vis pemilik modal. Media penyiaran dalam konteks pertarungan tersebut selayaknya berpihak pada massa dan berupaya mendorong manusia untuk berkesadaran kritis. Keberpihakan seperti ini mutlak dilakukan dalam upaya melawan dominasi sistem hegemonik. Gramsci lewat teorinya menyarankan kepada massa untuk membangun counter wacana atau yang lazim disebut wacana tandingan (counter discourses). Counter wacana ini untuk mengimbangi dominasi dan hegemoni yang dikonstruksi oleh para kaum kapitalis.
Dalam dunia penyiaran, gerakan ini sesungguhnya diamanatkan pada lembaga penyiaran komunitas, yang berbasis kewargaan. Mengapa demikian? Bila melihat basis filosofisnya, lembaga penyiaran komunitas amat berbeda dengan lembaga penyiaran swasta. Lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang terbentuk dari inisiatif warga, dan bertujuan memenuhi kebutuhan warga akan informasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Lembaga penyiaran ini berpijak pada penguatan kesadaran kritis warga terhadap segala hal yang berpotensi eksploitatif dan dominatif.
Atas dasar tersebut maka lembaga penyiaran komunitas harus memenangkan konsensus dalam perebutan makna tersebut -meminjam istilah Jurgen Habermas. Lembaga penyiaran komunitas harus mampu membalikkan kebudayaan dominan yang dianut, bahkan harus dapat memaksa kaum kapitalis untuk tunduk pada kebudayaan warga yang berbasis pada kesadaran kritis.
Dalam upaya memenangkan pertarungan, lembaga penyiaran komunitas harus mengonsolidasikan diri dan membangun kerja-kerja jaringan dengan sesama lembaga penyiaran komunitas lainnya. Jaringan yang terbentuk kemudian bersinergi dalam menyusun taktik dan strategi sehingga ada kesamaan visi dalam melakukan perlawanan. pengorganisasian menjadi mutlak dilakukan mengingat sistem yang dilawan adalah sistem yang terorganisasi dengan rapi dan telah memiliki infrastruktur kebudayaan yang kuat.
Daftar Pustaka
Griffin EM (2005) “A First look at Communication Theory” Six Edition
Mc Graw Hill
Heryanto Ariel (2000) Perlawanan dalam kepatuhan Esai-esai budaya Dr. Ariel Heryanto Mizan Bandung.
Hidayat, Dedy. N., 2000, Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama
Irawanto Budi (1999) . Film ideology dan Militer : Hegemoni Militer dalam sinema Indonesia . Media Pressindo : Yogyakarta
Latif Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (eds) (1996) Bahasa dan Kekuasaan: Politik wacana panggung Orde Baru .Mizan Bandung
Littlejohn, Stephen W (2005) Theories of Human Communication. Wadworth Publishing Company:Belmont
Marpaung Tegar (2007) Pers Indonesia Pasca reformasi (antara kebebasan , tantangan dan harapan ) Makalah persentasi MK. Dinamika Kekuatan politik Indonesia
MC Quail’s Dennis (2005) Media Massa Theory Five Edition SAGE Publications London
Mustary Rizal (2007) Intervensi Pemilik Modal dalam Media Penyiaran: ancaman terhadap Demokrasi dan kehidupan politik pasca reformasi Makalah persentasi MK. Dinamika Kekuatan Politik Indonesia
O’sullivan (1995) Key Concepts in communication and Cultural Studies. Routledge : London and New York
Shoemaker and Reese (1995) Mediating The Message : Theories of Influences on mass media Content. Longman : New York and London
Kellner, Douglas (1990) television and the crisis of democracy West View Press
Webster, Franck, 1995, Theories of The Information Society, London:Routledge
Dennis Mc Quail’s Media Massa Theory Five Edition 2005 Page 235 Sage publication London
Little John W stephen “ Theories of Human Communication” Thomson Eight Edition , 2005 Page 320.
Little John W stephen “ Theories of Human Communication” Thomson Eight Edition , 2005 Page 324
Shoemaker and reese “Mediating the message :theories of influences on mass media
Content Page 194 Longman New York and London
EM Griffin “A First look at Communication Theory” Six Edition Mc Graw Hill 2005 page 371
kwal gamble michael gamble communication works eight edition mc graw. Hill 2005
page 212
Little John W stephen “ Theories of Human Communication” Thomson Eight Edition , 2005 Page 324