Senin, 28 April 2008

Horror Film Face Political Evils in Every Day Life

Departement Ilmu Komunikasi
Program Pasca Sarjana Kekhususan Manajemen Komunikasi Politik
Mata Kuliah : Perspektif dan Teori Komunikasi Politik
Dosen Kordinator : Effendy Gazali M.Si, P.hd
Jawaban Ujian Akhir Semester (Take Home Test)
Oleh : Sulhardi 0706185736



(1). Mendefenisikan Keywords yang ada pada Jurnal Komunikasi Politik dalam hal ini Jurnal yang saya dapat adalah Jurnal yang berjudul Horror Film Face Political Evils in everyday Life oleh John Nelson adapun keywordnya ialah : (1). Advance News, (2). Evils,(4) Facing, (5). Horror, (6). Politics of Film, (7) subtext, (8). Symbolism,(9). Telephone, (10). Television
Adapun defenisi daripada keyword di atas sesusai dengan yang saya pahami setelah membaca Jurnal dengan Judul yang saya asebutkan di atas adalah sebagai berikut :
(1). Advance News : Film meskipun sesungguhnnya bagi sebagain orang dianggap sebagai
Hiburan semata namun satu hal yang perlu dicatat bahwa Media film sebenarnya memiliki
kekuatan lebih dibandingkan media lain dalam melakukan representasi terhadap kenyataan.
Jurnalisme mungkin mengaku kerjanya pada realitas, tetapi jurnalisme dikendalikan oleh
prinsip kelayakan berita yang memenggal realitas itu dalam satuan-satuan kelayakan berita
tersebut. Sedangkan film nyaris tak terbatasi oleh hukum-hukum ekstrinsik macam itu.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas Ketika pembuat film Horror memilih sebuah tema, maka yang membatasinya adalah hukum-hukum intrinsik film itu sendiri. Dengan pilihan yang nyaris sama luasnya dengan kehidupan itu sendiri, film punya kemungkinan yang tak terbatas. Untuk itu.
(2) Evils : Keyword evil yang dimaksud dalam jurnal; Nelson adalah sebagai kata ganti daripada penggambaran politik yang ada di tengah tengah masyarakat yang dianggap seperti hantu yang terus membayangi dan membawa kengerian. Mungkin di siotulah sebabnya beberapa orang sangta mebenci pooltik sebagaimana ia membenci politik dan politisi karena Evils juga menggambarkan karakter daripada
politisi seprti disebutkan bahwa vampire sebenarnay mewakili daripada kharismatik daripada tokoh politik ataupuin zombie yang mengambarkan massa yang selalu ikut arus.
(3). Facing : facing bisa diartikan sebagaihal hal yang dihadapi dan bisa juga sebagai bentuk wajah dari perpolitkan, yang dimaksud di sini adalah penggambaran wajah politk yang cukup seram yang mana mau tidak mau masyarakat sellau dihadapkan pada wajah seram perpolitikan demikianlah Film Horror menggambarkan daripada kehidupan perpolitikan itu sendiri dan hal hal yang harus dihadapi masyarakat.
(4). Horror : yang dimaksud Horror dalam Jurnal tersebut adalah adalah semua makhluk yang oleh sains kontemporer diyakini tak ada. Monster-monster adalah makhluk yang berbahaya dan najis, sehingga menerbitkan rasa ngeri dan jijik dalam diri manusia. Orang takut pada mereka walaupun tahu mereka tidak ada. Makhluk-makhluk itu hidup dalam apa disebut biasa disebut `realitas objektif', yaitu realitas pikiran, bukan `realitas formal' atau realitas nyata. Kejijikan itu timbul dari keterbelahan diri manusia sebagai makhluk yang bertubuh dan berjiwa, dari bercampurnya dua dunia. Potongan tubuh-tubuh bergerak, serigala jadi-jadian, vampire yang hidup abadi, sundel bolong, dan sebagainya, yang terperangkap di dua dunia itu meruntuhkan bangun konseptual manusia. Jika dihubungkan dengan pencitraan komunikasi politik maka bisa saja penggambaran tokoh Tokoh Horror dalam komunikasi politik adalah penggambaran dari anggapan sebagian masyarakat yang mersa bahwa politik itu kotor dan lain dan sebagainya.
(5). Politics Of Film : Politik film menentukan strukturnya dalam hal ini hubungannya dengan dunia. Kita memahami, menghayati dan menikmatinya dari dua perpektif . sosiopolitik film melukiskan bagaimana ia memantulkan dan berintegrasi dengan pengalaman manusia pada umumnya. Pada film Horror tentunya tak pernah lepas daripada pretense kepentingan mengingta posis film yang selain sebagai satana hiburan juga dapat menjadi sarana propaganda. Tentu dalam melnacarkan politiknya maka film tidak lebih dari Psyko-politik film yang berusaha menjelaskan bagaimana hubungan kita secara pribadi dan secara khusus. Karena film merupakan suatu gejala kebudayaan yang tersebar sangat luas, maka secara sosial politik , ia memainkan peranan yang sangat penting dalam budaya modern, karena ia menyajikan penampilan realitas dengan cara yang begitu yang kuat dan meyakinkan, maka secara psyko-politis film mempunyai pengaruh yang dalam terhadap anggota-anggota penontonya .
(6). Stands : keyword stand yang dimaksud di sini adalah untuk penggambaran posisi dalam artian ia menjelaskan posisi antara subjek dalam hal ini film horror itu sendiri dan juga pobjek dalam hal ini penonton. Atau bisa juga stands menggambarkan posisi dari tokoh tokoh yang berada di film Horror tersebut dan apa mkna di baliknya.
(7). Subtext : pada dasarnya hal hal yang terdapaty dalam fil adalah subtext dan Text jika Text adalah tataran permukaan, film hanyalah penggalan-penggalan gambar yang diambil dari objek yang direkam dan memebentuk satu kesatuan dan kemudian menceritakan realitasnya sendiri secara gambling dan itulah yang disebut dengan text. Sementara Subtext ialah apa yg terkandung di ‘bawah permukaan’ yaitu fikiran & perasaan yg diketahui atau tidak diketahui oleh penonton di sebalik perlakuan watak (nothing is what it seems). Atau dengan kata lain Subtext ialah apa yg tersirat di sebalik yg tersurat, dan dalam horror yang digambarkan oleh Nelson
(8). Symbolism : bahwasanya dalam film horror kita dapat melihat banyakm sekali symbol-symbol yang membantu kikta untuk memaknai suatu hal atau makna di balik text. Misalnya symbol merah merupakan keterwakilan darei sadisme, atau pembunuhan dan symbol gaun warna putih yang lusuh menandakan hantu dan sebagainya. Dalam konteks jurnal yang ditulis oleh Nelson Symbol-symbolk yang ditampilkannya yang berupa mahluk horror tak lain adalah penggam,baran dari stuasi politik ataupun keadaan politik yang dihadapi seharai hari. Misalnya penggambaran tokoh politik yang karismatik dan haus darah bisa disimbolkan dengan wujud vampire. Yang jelas symbol adalah tanda.
(9). Telephone : telephone adalah alat komunikasi dua arah yang mana antara satu dengan yang lain dapat mudah berkomunikasi tanpa harus bertemu secara langsung dan bisa dikatakan friendly use. Sehingga di dalam film anyak digambarkan
penggunaan telkepon banayk digunakan oleh organisasi teroris dalam menjalankan aksinya. Sehingga Horror bukan hanya sekedar hal hal yang berbau klenik dan voodoo tapi juga hal hal yang bersifat teknologi. Telepon juga bisa mewakili symboklisasi daripada karaterisitik masyarakat kota.
10. Televion : Televisi sebagai media horror diceritakan di dalam jurnal ini adalah objek mediasi Horror dalam film the ring. Yang digambarkan sebagai salah satu alat untuk mempengaruhi persepsi yang cukup kuat. Dan bisa merubah imaje seseorang dalam waktu yang cukup cepat. Seperti yang diceritakan dalam film the ring bahwa mahluk Horror selalu muncul dari dalam televise yang berarti bahwa dengan television maka kita dapat terhubung dengan dunia lain dan ia bisa menciptakan ketakakutan di dalam benak kita. Juga televise dalam film Horror menyimbolkan bagaiman sulitnya kita menghindarkan politik dalam kehiduapn keseharian.
2. Hal-Hal yang terkait dengan Jurnal Horror Films Face political Evils in Everyday
life dengan Buku Brian MC nair “An Inbtroduction to Political Communication :
The Political In The Age Of Mediation Bab 1
ada tiga elemen penting dalam komunikasi politik. Pertama, political organizations yang diartikan sebagai aktor politik yang tampil ke permukaan karena diinspirasikan melalui 'kendaraan' organisasi atau institusi. Hasil yang diharapkan ditempuh melalui lembaga kekuatan politik, baik yang ada di pemerintahan maupun di lembaga-lembaga perwakilan. Melalui cara ini, kebijakan yang dikehendaki dapat diimplementasikan.
Kedua, citizens, yakni khalayak yang menjadi sasaran komunikasi politik yang didekati dengan cara 'persuasi'. Tanpa khalayak, pesan-pesan komunikasi politik tidak akan ada relevansinya sama sekali. Tujuan akhirnya adalah memberikan efek sesuai dengan isi pesannya.
Ketiga media yang dalam proses komunikasi politik mengemban peran ganda, yakni sebagai sender dan sebagai receiver. Di negara-negara yang menganut sistem politik demokratis, pesan yang disusun harus dikonstruksi oleh wartawan dan kemudian diterima oleh khalayaknya. Fungsinya sebagai transmitters. Karena itu, setiap aktor politik harus memanfaatkan media agar ide-idenya bisa dipahami dan diterima khalayak. Media tidak saja melaporkan kepada khalayak secara netral/impartiality, tetapi juga harus melaporkan secara akurat semua peristiwa yang ada di sekitarnya sebagai political reality. di sinilah fungsi dari film Horror untuk menciptakan sesuatu yang samar samar dan jauh dari alam manusia seolah olah real dan hadir membayangi dalam keseharinnya.

BAB 4 Political Media
Media tidak pernah terlepas dari pretensi politik karena itu ibarat makanan sehat baginya jika dalam dunia perfilman maka kita bisa melihta Hollywood, produsen film terbesar yang menguasai pasaran film di dunia, yang mana telah menjadi corong bagi nasionalisme USA. Banyak film-film Hollywood yang kemudian menjadi kasus bagi peradaban lain.
Salah satu pemikir sosial dari Amerika Serikat, Noam Chomsky, di berbagai literatur menyebutkan bahwa Washington menghabiskan dana satu milyar dollar setiap tahunnya untuk kepentingan propaganda atau humas. Tujuannya tak lain agar dapat mengontrol jaringan media massa dunia dan menjadikannya sebagai dominator arus informasi dunia.
Pemerintah Amerika Serikat memang mendorong agar perusahaan-perusahaan media saling melakukan merger sehingga bisa menjadi perusahaan media raksasa. Untuk itu, dibuatlah berbagai kemudahan demi perkembangan ekspansi perusahaan-perusahaan media raksasa tersebut.
Dari beberapa sumber di internet, Robert Mc Chensy, seorang dosen dari Universitas Illionis, Amerika Serikat, yang juga pemimpin redaksi Monthly Review, mencatat bahwa pada saat ini, pasar media dunia berada di tangan tujuh perusahaan multinasional, yaitu Disney, Time Warner, Sony, News Corporation, Viacom, Vivendi, dan Bertelsmann. Ketujuh perusahaan ini merupakan studio pembuatan film terbesar dunia, menguasai 80-85 persen pasar musik dunia, pasar buku dunia, majalah, serta kanal-kanal televisi dunia.
Dengan kemampuan teknologi yang mereka punyai, mereka mampu menjadikan media-media yang ada sebagai media politik arus utama di dunia. Ada banyak contoh yang bisa kita simak. Misalnya ketika kemenangan George W. Bush yang kontroversial pada pemilu tahun 2000. Stasiun televisi Fox News, yang didirikan atas bantuan tokoh-tokoh partai Republik, partai darimana George W. Bush berasal, berperan penting dalam kemenangan itu.
Mempolitisir media juga dilakukan pemerintah Amerika Serikat ketika terjadi peristiwa 11 September 2002 dan invasi Amerika Serikat ke Afghanistan dan Irak. Pemerintah Ameika Serikat membombardir informasi bahwa pelakunya terkait dengan kaum muslim. Dan sekonyong-konyong media pun turut memberitakannya begitu saja.
Begitu pula ketika pemerintah Amerika Serikat hendak menyerbu Irak. Media-media (bahkan media-media di luar Amerika Serikat dan Inggris) mengikuti bulat-bulat segala pernyataan yang dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat bahwa ada nuklir di Irak. Dan ketika nuklir itu tidak juga terbukti, media yang telah mendunia itu tak melakukan apa-apa untuk apa yang telah mereka beritakan.
Dampak yang terjadi bukanlah sesuatu yang main-main. Banyak muslim di berbagai tempat, terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, yang mendapatkan perlakuan diskriminatif karena disangka teroris. Tanpa tahu apa-apa, rumah atau tempat pengajiannya diawasi, atau bahkan digerebek secara semena-mena.
Istilah teroris digunakan berulang-ulang oleh pemerintah dan media-media di Amerika Serikat, dan bergema ke seluruh dunia. Labelling melalui media pada kenyataannya terus terjadi. Tanpa disadari, ia telah disusupi oleh program politik salah satu pihak, dan mengorbankan hak pihak lain. Monopoli informasi terjadi melalui propaganda yang dimediasikan oleh media. Meskipun media berusaha untuk seimbang, istilah-istilah yang sebenarnya memojokkan itu terlanjur menjadi sebuah istilah yang dianggap wajar.
Media memang tidak mungkin bersikap apolitis. Begitu juga politik. Keduanya saling membutuhkan.
Party Political Communication Politcal Advertising Bab 7 di situ menceritakan bagaimana Iklan politik salah satu kandidat presiden US mengenai kebijakan anti-kejahatan, mengambil aneka penggalan film horor. Ditayangkan seorang wanita berjalan sendiri di tengah malam. Si wanita terlihat amat ketakutan mendengar suara langkahnya sendiri yang terdengar jelas di kesunyian. Saat suara-suara menghilang dan angka tingkat kejahatan yang tinggi dimunculkan di layar, penonton mengira akan ada lelaki jahat menyergap si wanita. Ternyata, tidak. Si wanita selamat, aman sampai rumah. Itu berkat kebijakan antikejahatan Nixon yang tegas. Itulah inti pesan yang ingin disampaikan. Dengan memilih Nixon, berarti memilih Amerika yang lebih aman dan tenteram.

3. analisa situasi Film Horror Di Indonesia :
FILM HORROR DAN POLITIK SEKS DAN GENDER
Sebagai sebuah genre film yang mengeksploitasi ketakutan penonton, film horor di Indonesia menyandarkan sumber ketakutannya pada sosok perempuan, baik sosoknya sebagai ibu maupun sosoknya sebagai obyek seksual. Dalam film horor, korban dan pelaku adalah perempuan, atau setidaknya pelaku melakukan sebuah kejahatan karena perempuan. Maka tak heran, dalam film-film horor muncul seluruh kejahatan dan kekejian yang tak pernah terbayangkan manusia normal. Adegan pembunuhan sadis, memakan daging, nekrofilia, bestantialisme, dan inses selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari tampilan film horor.
Dalam genre ini, ikonografi ketakutan perempuan merupakan basis cerita film. Hal ini nampak sekali dalam hampir semua film horor Indonesia, Film horor sebagai salah satu film yang paling banyak ditonton di Indonesia mencerminkan struktur masyarakatnya yang menempatkan perempuan sebagai obyek visual.
Struktur masyarakat patriarkal (phallosentris) akan menghasilkan film-film yang menampilkan perempuan-perempuan terkebiri. Dalam masyarakat seperti ini, perempuan ditempatkan sebagai ancaman, tetapi juga digambarkan sebagai makhluk yang sangat berhubungan dengan tugas reproduktifnya sebagai ibu. Sumber-sumber ketakutan dalam film horor Indonesia sendiri selalu dihubungkan dengan, ibu yang menderita, rahim yang menakutkan, dukun perempuan, tubuh perempuan yang kerasukan, atau perempuan-perempuan superkuat yang mewakili kekuatan pengebiri. Kekuatan pengebiri ini merujuk pada istilah psikolog Sigmund Freud untuk menyebut perempuan-perempuan yang bersifat mengancam kekuatan laki-laki. Sifat ini terlihat jelas dalam banyak kasus film horor di mana gunting, pisau, atau benda-benda tajam yang mirip kelamin laki-laki (phallus) digunakan para perempuan kerasukan untuk melakukan pembunuhan.
Film Kuntilanak merupakan contoh film kontemporer yang secara jelas menampilkan kekuatan perempuan (Sam) yang mengambil alih alat laki-laki (gunting) untuk melawan kekuatan yang mengancam dirinya. Ketakutan laki-laki terhadap sosok ibu yang menderita dan rahim yang menakutkan terlihat jelas dari maraknya motif perkosaan sebagai pendorong perubahan seseorang menjadi hantu. Tidak beda dengan film horor sebelumnya, film horor kontemporer selalu menampilkan perempuan yang diperkosa atau ditinggalkan oleh pasangannya sebagai arwah penasaran. Hal ini, didorong oleh kesadaran kolektif pembuat film (yang adalah laki-laki) sebagai penerus tradisi patriarkal masyarakat kita. Kedua, maraknya fenomena yang bersifat real, seperti tingginya tingkat pemerkosaan. Sementara perubahan perempuan-perempuan menderita menjadi hantu, berhubungan dengan obyektifikasi perempuan sebagai penanggung rasa bersalah. Seluruh kekacauan dan persoalan yang muncul akibat hantu selalu dikembalikan ke tubuh perempuan.
Di sisi lain, film horor Indonesia juga menampilkan perempuan-perempuan muda (perawan) yang mengalami kerasukan, misalnya dalam film Rumah Pondok Indah. Kerasukan selalu menimpa perempuan muda karena, perempuan muda dan perawan mewakili keringkihan tubuh, sebuah tubuh yang dengan mudah menerima intervensi dari luar. Dan ini bersifat sangat seksual. Dalam kerasukan, tubuh-tubuh perempuan yang murni diubah menjadi tubuh-tubuh menakutkan di mana batas antara diri dan
Dalam film-film horor masa lalu, hantu dan perempuan-perempuan jahat selalu bisa diredakan atau dikalahkan oleh para ustadz/kyai/tokoh agama yang hampir semuanya berkelamin laki-laki. Ustadz/kyai/tokoh agama ini adalah alat untuk mengembalikan perempuan pada tatanan sosial yang sudah dibangun oleh dunia patriarkal. Dengan proses ini, perempuan diintegrasikan kembali sebagai bagian dari dunia ciptaan laki-laki. Yang menarik, keberadaan tokoh ustadz/kyai/ tokoh agama laki-laki ini merupakan permintaan dari Departemen Penerangan agar penonton film horor Indonesia tidak tersesat kepada kepercayaan terhadap tahayul. Dalam film horor, chaos (perempuan) dikembalikan kepada order oleh laki-laki atas permintaan negara. Dengan demikian, campur tangan negara dalam menjinakkan perempuan terlihat dalam film horor . Fenomena ini menampakkan sebuah gejala yang lebih dalam yang muncul di masyarakat kita, yakni kegalauan gender laki-laki atas meleburnya perbedaan gender dan luruhnya kemapanan gender mereka pelan-pelan. Laki-laki dan maskulinitas sebagai sebuah konsep kini semakin cair, tidak mapan dan semakin goyah. Dan film horor menampakkan ketakutan bawah sadar laki-laki atas krisis maskulinitas yang kini tengah melandanya.