Selasa, 29 April 2008

SCENARIO PLANNING

Pengertian Scenario

•Scenario adalah sebuah gambaran yang konsisten tentang berbagai kemungkinan (keadaan) yang dapat terjadi di masa yang akan datang.

•An internally consistent view of what the future might turn out to be (Michel Porter);
•A tool [for] ordering one’s perception about alternative future environments in which one’s decision might be played out right (Peter Schwartz)
•That part of strategic planning which relates to the tools and technologies for managing uncertainties of the future (Gill Ringland)
•A disciplined method for imaging possible futures in which organizational decisions may be played out (Paul Shoemaker)


•Jadi scenario bukanlah sebuah forecasting dalam pengertian bukanlah sebuah proyeksi masa
depan dari data yang ada pada masa kini.
•Scenario juga bukan merupakan sebuah visi (vision), yaitu kondisi masa depan yang diinginkan
(a desired future).
•Jadi scenario adalah jawaban dari pertanyaan “Apa yang dapat terjadi?”, atau “Apa yang akan
terjadi jika……..?”.
•Dalam scenario dimasukkan unsur resiko, berbeda dengan forecasting dan vision yang tidak
memasukkan unsur resiko.

Langkah2 Membangun Scenario

1.Identifikasi focal issue (focal concern) or Decision Identifikasi isu utama atau masalah utama
yang akan menjadi fokus untuk dijawab atau diambil keputusannya.

contoh:
Bagaimana peran atau posisi TNI tahun 2030 di Indonesia?

2. Identify key forces (di Indonesia kawasan regional) Langkah kedua ini adalah
mengidentifikasi faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi peran TNI di masa yang
akan datang (2030). Misalnya: kehidupan demokrasi, perkembangan Islam radikal, gerakan
separatisme, konflik etnis dan agama, krisis energi, krisis lingkungan, terorisme (dalam negeri
dan internasional) dstnya


3. Identifikasi Driving Forces (Change drivers) Identifikasi kekuatan yang dapat mendorong
perubahan-perubahan yang berkaitan dengan key forces di atas. Secara umum dalam
Konteks ilmu-ilmu sosial dan ilmu politik, driving forces yang acapkali teridentifikasi adalah
faktor sosial, faktor politik (sos-pol), dan faktor ekonomi


4. Identify Uncertainty : Langkah ini mencoba mengidentifikasi ketidakpastian dari berbagai hal
yang erat kaitannya dengan ketiga driving forces di atas (sosial, politik dan ekonomi).
Misalnya, apakah laju pertumbuhan penduduk akan konsisten ataukah ada kebijakan baru
yang bersifat sangat drastis untuk menahan laju pertumbuhan penduduk. Apakah terjadi
terobosan teknologi sehingga sangat mudah untuk mengidentifikasi dan memberantas
terorisme internasional? Apakah proses demokratisasi berhasil dengan baik? Apakah ada
terobosan terhadap krisis energi?

5. Selecting the Scenario Logic : Susunlah logika scenario melalui penelitian kualitatif terutama
melalui wawancara mendalam atau dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk
mendapatkan scenario dengan alternatif-alternatif-nya secara logis.


6. Fleshing Out the Scenario : Tahap ini merupakan tahap penguatan scenario. Pada tahap ini
penulis scenario dapat menambahkan berbagai data sekunder dan trennya untuk
memperkuat berbagai pendapat dari nara-sumber dan para ahli yang sudah didapat dan
ditulis pada tahap sebelumnya.

Metode Penelitian Yang Dipakai

Dalam rangka penulisan scenario metode yang dapat dipakai beragam.
1. Media-based Methods
a. Media scanning
b. Media Watch
c. Content Analysis
2. Interview-based Methods
a. Delphi Survey
b. Depth structured Interview
c. Focus Group Discussion
d. Expert Panels
e. Executive panels
3. Systems Methods
a. System modeling/dynamic simulation
b. Cross-Impact Analysis


Scenario yang telah terbentuk dengan berbagai alternatifnya kemudian digunakan untuk menggambarkan tantangan bagi organisasi yang berkepentingan dengan scenario yang ditulis. Gambaran dari tantangan tersebutlah bersama-sama dengan penilaian terhadap kondisi organisasi yang ada dipakai untuk menetapkan strategi apa yang akan dibuat bagi kepentingan organisasi untuk tetap bertahan (exist).
Contoh:Scenario Indonesia 2025

1.Pertanyaan Strategis (focal concern/focal issue)
Bagaimanakah keberadaan dan peran pemerintah yang diharapkan menyongsong tahun
2025?

2. Daya Dorong Perubahan (Driving Force)
a. faktor sosial-politik
b. faktor ekonomi
a. Faktor sosial-politik mencakup sejumlah
keadaan (key forces) yaitu kohesi sosial, keberadaan civil-society, kondisi demokrasi.
b. Faktor ekonomi mencakup keadaan (key
forces) demografi, angkatan kerja dan
pengangguran, kemiskinan, pertumbuhan
ekonomi

1. Kohesi Sosial : Sejak reformasi tahun 1998 banyak masyarakat berharap akan terjadi
perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik. Namun nyatanya harapan tersebut tidak
pernah muncul secara berarti. Hal ini mengakibatkan masyarakat kehilangan kesabarannya
terhadap masa transisi. Bahkan dalam banyak kasus terlihat adanya frustasi yang
mendalam. Banyak terjadi tindakan menghakimi sendiri, demo secara brutal, konflik horizontal
• Masa transisi telah membawa masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang tidak perduli
akan kepentingan orang lain. Ketidakpedulian tersebut dapat saja dalam berlalu-lintas,
pedagang yang memakai zat pewarna atau formalin dalam makanan, pedagang kaki lima yang
memacetkan jalanan, anak sekolah atau mahasiswa yang tawuran, konflik antar kelompok
yang sedang pro atau kontra terhadap sebuah kebijakan, berkaitan dengan birokrat dengan
etika kerjanya, berkaitan dengan wakil rakyat yang lebih mementingkan partainya dan
kelompoknya, berkaitan dengan pilkada yang penuh dengan kecurangan, kemarahan
komunal yang diikuti dengan pembakaran, proses hukum yang cendrung
melibatkan uang, dstnya.

Berbagai gejala di atas dapat dikategorikan sebagai social and law disobedience, dan masih merupakan kecenderungan yang sampai saat ini masih terus terjadi secara kuat. Tambahan pula belum terlihat adanya usaha untuk meredamnya melalui berbagai kebijakan pemerintah.
Para pakar sosial mengatakan bahwa keadaan seperti ini disebabkan karena kohesi sosial berada pada derajat yang sangat rendah.
•Kondisi di atas merupakan suatu keadaan yang sangat jauh dan bertentangan dalam konteks
proses terbentuknya civil society di Indonesia.

•Kondisi sosial lainnya adalah rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dan pelayanan
kesehatan
2. Kondisi Demokrasi : Perkembangan demokrasi di Indonesia belum menyentuh demokrasi
substansial, masih pada proses. Wakil rakyat masih bekerja untuk kepentingannya sendiri,
demikian pula berbagai kebijakan yang dibuatnya belum berorientasi pada kepentingan
publik, meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat banyak

3. Faktor Ekonomi : Pada saat ini jumlah orang miskin dan jumlah pengangguran cukup tinggi.
Pertumbuhan ekonomi tidak setinggi yang telah ditetapkan, inflasi cukup tinggi, terjadi krisis
minyak bumi, krisis enerji, krisis lingkungan hidup (hutan), serta krisis pangan.
Di pihak lain di lihat dari berbagai indikator Indonesia saat ini sangat tertinggal dari negara-
negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
• Kesimpulannya adalah Indonesia akan menghadapi potensi konflik baik horizontal maupun
vertikal secara sangat serius pada tahun 2025 jika berbagai kecenderungan yang telah
digambarkan di atas terus terjadi tanpa dapat dicegah.
Contoh Scenario 2 :

• Studi yang dilakukan oleh RAND Corporation pada tahun 2003 memperlihatkan sejumlah
scenario yang mungkin muncul di Indonesia di masa yang akan datang.
• Terdapat sedikitnya 6 Scenario, masing-masing adalah: Democratic Consolidation, Muddling
Through, Return to Authoritarian Rule, Radical Islamic Influence Or Control, Radical
Decentralization (Federalism), Disintegration
1. Scenario Democratic Consolidation

•Merupakan scenario terbaik bagi Indonesia. Dapat terjadi jika Indonesia terus
mengembangkan demokrasi yang bersifat sekuler; membuat sejumlah kemajuan yang
signifikan pada sejumlah masalah ekonomi yang bersifat sangat krusial; dan terus
mengembangkan otonomi daerah yang memuaskan daerah tanpa kehilangan kontrol
pemerintah pusat terhadap kebijakan ekonomi makro.

• Dalam hubungan sipil-militer, terdapat kontrol sipil terhadap militer melalui menteri
pertahanan dan parlemen.
• Jika pertumbuhan ekonomi dapat lebih baik dan berbagai sumber daya tersedia, maka
berbagai pengeluaran militer dapat dibiayai dari APBN dan bukan dari sumber-sumber off-
budget. Dalam waktu dekat sulit mengharapkan militer sepenuhnya keluar dari kegiatan
ekonominya, namun pengelolaan bisnis militer dapat dilakukan secara lebih transparan.
2. Scenario Muddling Through
•Scenario kedua ini dibangun dari berbagai tren yang ada. Indonesia terus melangkah dalam
jalur demokrasi, namun gagal dalam menuai kemajuan yang signifikan secara ekonomi, politik
dan reformasi militer.
3. Scenario Return to Authoritarian Rule
•Scenario ini muncul jika scenario muddling through memburuk. Secara ekonomi, politik dan
sosial tidak terjadi kemajuan yang signifikan sehingga kekuatan lama yang otoriter dapat
masuk lagi.
4. Scenario Radical Islamic Influence Or Control
Pengambilalihan pengaruh politik yang didasarkan oleh pemikiran kelompok Islam radikal
merupakan sebuah scenario yang mungkin terjadi. Namun merupakan scenario dengan tingkat
kemungkinan kecil. Tren radikalisme terlihat pada sejumlah kelompok kecil, namun sebagian
besar (mayoritas) umat Islam di Indonesia justru mempunyai sikap moderat dan tidak
mensuport radikalisme.

•Bagaimanapun scenario ini perlu menjadi perhatian mengingat terlihat adanya pengaruh Islam dalam politik dan manifestasi yang lebih nyata seperti perilaku religius dimuka umum.
5. Scenario Radical Decentralization
•Tekanan dari daerah yang mengakibatkan Pemerintah Pusat menjadi lemah dapat membuat
otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh dan Papua direplikasikan ke seluruh daerah di
Indonesia. Pada akhirnya dapat saja Pemerintah Pusat kekuasaannya sangat terbatas hanya
pada 5 bidang kewenangan saja. Negara Indonesia seperti ini akan menjadi Negara yang
lemah, tidak stabil. Contoh yang ada adalah Yugoslavia, Soviet, Cekoslovakia, dan Nigeria.
6. Scenario Disintegrasi
•Scenario ini merupakan scenario terburuk bagi Indonesia.
•Scenario ini dapat terjadi jika Pemerintah semakin lama semakin lemah dan muncul kondisi
keos. (chaotic conditions). Sampai tingkat tertentu keadaan ini telah terlihat di beberapa
daerah. Pemerintah daerahpun merasa tidak ada gunanya lagi mempunyai hubungan yang
baik dengan Jakarta.
•Scenario ini juga dapat terjadi jika terjadi perpecahan dalam tubuh militer. Hal ini sangat
mudah menjalar ke dalam masyarakat sipil yang juga mempunyai potensi perpecahan.
•Disintegrasi dapat terjadi bila ada kekacauan berskala besar.
Membangun Strategy (Scenario Planning)

•Jika scenario telah selesai dideskripsikan dan tantangan telah dirumuskan, maka langkah berikutnya adalah merumuskan strategi yang harus dibangun dan dijalankan, agar scenario buruk yang mungkin terjadi dapat dihindari.

Senin, 28 April 2008

Tradisi Dalam Teori Ilmu Komunikasi

Sebagaimana yang telah dibahas pada chapter 1 little John Edisi 7 bahwa Craig telah membagi bidang kajian dalam tradisi Ilmu komunikasi menjadi tujuh bagian yaitu : (1) Tradisi Semiotika (2) Tradisi Fenomonologi (3) Cybernetic (4)sosialpsicholigical (5) Budaya Sosial (6) aliran kritis dan (7) retorika.
Dari semua bidang kajian dari ilmu komunikasi yang disebutkan di atas saling terpaut antara satu dengan yang lainnya . untuk itu ada baiknya penulis mebahas satu persatu dari 7 tradisi dalam bidang kajian ilmu komunikasi yang tersebut di atas :
TRADISI SEMIOTIKA
Apa Itu Semiotika
Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Gambar atau simbol adalah bahasa
rupa yang bisa memiliki banyak makna. Suatu gambar bisa memiliki makna tertentu bagi sekelompok orang tertentu, namun bisa juga
tidak berarti apa-apa bagi kelompok yang lain. language”. Bahasa dalam hal ini dibaca sebagai “teks” atau “tanda”. Dalam konteks ini “tanda” memegang peranan sangat penting dalam kehidupan umat manusia
Tandatanda yang bersifat verbal adalah obyek-obyek yang dilukiskan, seperti obyek manusia binatang, alam, imajinasi atau hal-hal lain yang bersifat abstrak lainnya Tanda terdapat dimana-mana : ‘kata’ adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan (arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Charles Sanders Peirce menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda. Tanpa tanda manusia tidak dapat berkomunikasi.
Dasar Pemikiran Tradisi Semiotika
Jadi terdapat banyak teori komunikasi yang berangkat dari pembahasan seputar simbol. Keberadaan simbol menjadi penting dalam menjelaskan fenomena komunikasi.Simbol merupakan produk budaya suatu masyarakat untuk mengungkapkan ide-ide, makna, dan nilai-nilai yang ada pada diri mereka. Mengkaji aspek ini merupakan aspek yang penting dalam memahami komunikasi.
Diantara sekian banyak pakar tentang semiotika ada dua orang yaitu Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure yang dapat dianggap sebagai pemuka-pemuka semiotika modern Kedua tokoh inilah yang memunculkan dua aliran utama semiotika modern
C.. Varian Dalam Tradisi Semiotika
Semiotika dapat dibagi menajdi 3 area kajian yaitu semantic (bahasa), Sintagmatic dan paradigmatic.
C.a. Semantic (bahasa) merujuk pada bagaimana hubungan antara tanda
dengan objeknya atau tentang keberadaan dari tanda itu sendiri. Semantic terbagi kepada dua hal yaitu hal tentang apa yang dipikirkan dan hal tentang tanda itu sendiri. Dan mengkorelasikan kedua hal tersebut. Kapan saja ketika muncul pertanyaan dari kita untuk apa tanda itu ada ? kita berada adalah bagian dari dunia kata . sebagai contoh dalam kamus dia menginformasikan kita tentang apa arti dari kata itu atau apa yang dimaksud. Teori ini merupakan pendekatan kaum semiotika ini hanya memperhatikan tanda-tanda yang disertai maksud (signal) yang digunakan dengan sadar oleh mereka yang mengirimkannya (si pengirim) dan mereka yang menerimanya (si penerima). Para ahli semiotika ini tidak berpegang pada makna primer (denotasi) tanda yang disampaikan, melainkan berusaha untuk mendapatkan makna sekunder (konotasi).
C.b. sintagmatic atau kajian tentang hubungan antar tanda . tanda hampir
tidak dapat berdiri sendiri. Dia selalu menjadi bagian dari system yang lebih besar. Tanda seperti itu biasanya lebih dikenal sebagai kode. Sebuah kode di organisir berdasarkan aturan , jadi tanda yang berbeda dapat menghasilkan pemikiran yang berbeda pula dan tanda bisa saja diletakkan hanya pada wilayah tertentu saja. Semiotika pada teori ini menganggap bahwa tanda akan dapat dipahami apabila ada hubungannya dengan tanda yang lain.
C.c. Paradigmatic pada teori ini tanda dan pemahamannya dalam suatu
konteks tertentu. mengungkapkan bahwa sebuah komunikasi terjadi apabila terjadi kontak antara adresser (asal) dan adressee (tujuan).Makna yang disampaikan adresser harus berbentuk sebuah kode (code) sehingga adresser harus melakukan encode terhadap makna tersebut agar menjadi kode. Kemudian kode ini akan diterima adresse dengan melakukan decode. Proses coding Konteks budaya menjadi satu acuan yang tidak bisa dilepaskan begitu saja . Pria berkuda yang memberikan memiliki konotasi kejantanan, kegagahan belum tentu sesuai dengan konteks budaya suatu kelompok masyarakat tertentu.

TRADISI FENOMENOLOGI
Apa Itu Fenomenologi
Inti tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi fenomenologi dapat menjelaskan tentang khalayak dalam berinteraksi dengan media. Demikian pula bagaimana proses yang berlangsung dalam diri khalayak.. Kajian tentang proses resepti (reception studies) yang berlangsung dalam diri khalayak menjadi penting.Pendekatan etnografi komunikasi menjadi penting diterapkan dalam tradisi ini.
Dasar Pemikiran Tradisi Fenomenologi
Ada tiga prisnsip dasar dari fenomenologi menurut Stanley Deetz yang pertama adalah pengetahuan adalah kesengajaan makasudnya pengetahuan bukanlah didapat dari pengalaman akan tetapi didapat dari bagaimana menjadikan pengalaman tersebut menjadi sebuah pelajaran. Yang kedua berisi potensi dari diri. Yang ketiga adalah bahasa adalah kendaraan dari pikirian.
Varian dari Tradisi Fenomenologi
kajian fenomenologi terbagi menajdi tiga bagian yaitu : (1) fenomenologi Klasik (2) Fenomenologi Persepsi dan (3) Hermenetik fenomnelogi.
C.a. Fenomonelogi Klasik dipelopori oleh Edmund Husserl penemu Fenomenologi Modern Husserl percaya kebenaran hanya bisa didapatkan melalui pengarahan pengalaman, tapi kita harus bagaimana pengalaman kita bekerja. Dengan kata lain kesadaran akan pengalaman dari setiap individu adalah jalur yang tepat untuk memahami realitas. Hanya melaui kesadaran dan perhatian maka kebenaran dapat diketahui. Bagaimanapun kita harus mengesampingkan penyimpangan kita. Kita harus mengesampingkan segala pemikiran dan kebiasaan untuk melihat pengalaman lain untuk dapat mengetahui sebuah kenyataan. Pada alur ini dunia hadir dengan sendirinya dalam alam sadar kita. Dalam artian menurut husser kita dapat memaknai suatu pengalaman secara objektif dengan tanpa membawa pemahaman kita sebelumnya terhadap pengalaman itu dalam artian kita harus objektif.
C.b. Fenomenologi Persepsi berlawanan dengan Husser yang membatasi fenomenologi pada objektivitas marleu ponty menjelaskan manusia adalah kesatuan dari mental dan fisik yang mengartikan atau mempersepsikan dunia. kita mengetahui berbagai hal hanya melalui hubungan kita ke berbagai hal tersebut. Sebagaimana pada umumnya manusia, kita dipengaruhi oleh dunia akan tetapi kita juga mempengaruhi dunia terhadap pengalaman tersebut.
berbagai hal tidak bertahan dan berdiri sendiri terlepas dari bagaimana mereka dikenal. melainkan orang-orang memberi arti kepada berbagai hal di dunia, dan pengalaman fenomenologi adalah suatun hal yang subjective.
C.c. Fenomenologi Hermeneutik aliran ini selalu dihubungkan dengan Martin Heidegger dengan landasan filosofis yang juga biasa disebut dengan Hermeneutic of dasein yang berarti suatu “interpretasi untuk menjadi”. Yang paling utama bagi Heidegger adalah pengalaman tak dapat terjadi dengan memperhatikan dunia. Menurut Heidegger pengalaman sesuatu tak dapat diketahui melalui analisa yang mendalam melainkan pengalaman seseorang yang mana diciptakan dengan penggunaan bahasa dalam keseharian. Apa yang nyata dan apa yang yang sekedar pengalaman melalui penggunaan bahasa.
TRADISI CYBERNETIC
Apa Itu Cybernetic
Tradisi cybernetic berangkat dari teori sistim yang memandang terdapatnya suatu hubungan yang saling menggantungkan dalam unsur atau komponen yang ada dalam sistim. Hal lain yang penting adalah sistim dipahami sebagai suatu sistim yang bersifat terbuka sehingga perkembangan dan dinamika yang terjadi dilingkungan akan diproses didalam internal sistim.
Dasar Pemikiran Tradisi Cybernetic
Teori informasi berada dalam kontek ini. Demikian pula konsep feedback menjadi penting dalam hal ini. Perkembangannya dapat pula disebut teori-teori yang dikembangkan dari teori informasi .
teori ini mengagumkan sangat padu dan konsisten, dan mempunyai suatu dampak yang utama pada banyak bidang, yang mencakup tentang komunikasi. pada sistem banyak berkaitan dengan komputer dan mesin, pikiran manusia dan kehidupan sosial manusia dapat dipahami dengan penggunaan system ini secara baik. Seperti hasilnya Tradisi Cybernetic tidak hanya berimplikasi pada perkembangan teknolig informasi akan tetapi juga pada ilmu sosial dan ilmu komunikasi.
Varian Tradisi Cybernetic
Kita mengenal ada tiga macam Teorin dalam Tradisi Cybernetic yaitu Basic System Theory, General System Theory dan second order Cybernetic.
C.a. Basic System Theory : ini adalah fromat dasar , pendekatan ini melukiskan seperti sebuah struktur yang nyata dan bisa di analisa dan diamati dari luar. Dengan kata lain kita dapat melihat bagian dari system dan bagaimana mereka saling berhubungan. Kita dapat mengamati secara obyektif mengukur antara bagian dari system dan kita dapat mendeteksi input maupun output dari system. Lebih lanjut mengoperasikan atau memanipulasi system dengan mengganti input dan tanpa keahlian karena semua diproses melalui mesin. sebagai alat bantu bagi bagi para professional seperti system analyst, konusltan manajemen, dan system designer telah membangun sebuah system analisa dan mengembangkannya.
C.b. General System Theory teori ini diformulasikan oleh Ludwig Von
Bertalanffy seorang biologist. Bertalanffy menggunakan GST sebagai sarana pendekatan multidisiplin kepada ilmu pengetahuan. System ini menggunakan prinsip untuk melihat bagaiaman sesuatu pada banyak bidang yang berbeda menjadi selaras antara satu dengan yang lain. Pembentukan sebuah kosa kata untuk mengkomunikasikan lintas disiplin ilmu.
C.c. Second Order Cybernetic dikembangkan sebagai sebuah alternative
dari dua tradisi Cybernetic sebelumnya. Second order Cybernetic membuat pengamat tak dapat melihat bagaimana sebuah system bekerja di luar dengan sendirinya dikarenakan pengamat selalu ditautkann dengan system yang menjadi pengamatannya. Melalui perspektif ini kapanpun kita mengamati system ini maka kita akan saling mempengaruhi. Karena hal ini memperlihatkan bagaimana sebuah pengetahuan sebuah produk menjerat antara yang mengetahui dan yang diketahui.
TRADISI PSIKOLOGI SOSIAL
Apa Itu Psikologi Sosial
Berangkat dari Ilmu Psikologi terutama aliran behavioral. Psikologi Sosial memberi perhatian akan pentingnya interaksi yang mempengaruhi proses mental dalam diri individu. Aktivitas komunikasi merupakan salah satu fenomena psikologi sosial seperti pengaruh media massa, propaganda, atau komunikasi antar personal lain.
Dasar Pemikiran Tradisi Psikologi Sosial
Pendekatan psikologi sosial memberi perhatian terhadap aspek diri manusia. Proses komunikasi manusia merupakan proses yang berlangsung dalam diri manusia. Selanjutnya dalam komunikasi antar personal juga akan banyak dijelaskan dengan teori-teori dari tradisi psikologi sosial. Misalkan manusia dalam membuat suatu pesan dilatari faktor-faktor tertentu seperti motiv, kebutuhan, dan sebagainya. Demikian pula terlibatnya faktor prasangka, streotip, skema pemikiran, dan sebagainya yang mempengaruhi dalam komunikasi antar personal. Beberapa konsep penting disini dapat disebutkan seperti judgement, prejudice, anxienty, dan sebagainya.
Varian Tradisi Psikologi Sosial
Tradisi Psikologi sosial dapat dibedakan menjadi tiga cabang yaitu : (1) Behavioral (2) Koginitif (3) Bilogikal
C.a. Behavioral pada cabang ini kita dapat melihat bagaimana orang
bertindak dalam sebuah stuasi komunikasi. Tipikal dari teori ini adalah kepada hubungan apa yang kita katakana dan apa yang kita lakukan.
C.b. Koginitif cabang ini cukp banyak digunakan saat ini berpusat pada
pola pemikiran cabang ini berkonsentrasi pada bagaimana individu memperoleh, menyimpan dan memproses informasi dengan cara yang arah tingkah laku yang keluar . dengan kata lain apa yang kamu lakukan dalam berkomunikasi tidak hanya tergantung pada stimulus response tapi juga proses mental untuk memaknai suatu informasi.
C.c. kemudian biological cabang ini berupaya mempelajari manusia dari sisi
Biologikalnya
TRADISI SOSIAL BUDAYA
Apa Itu Tradisi Sosial Budaya
Tradisi sosial budaya berangkat dari kajian antropologi. Bahwa komunikasi berlangsung dalam kontek budaya tertentu karenanya komunikasi dipengaruhi dan mempengaruhi kebudayaan suatu masyarakat. Konsep kebudayaan yang dirumuskan Clifford Geertz tentu saja menjadi penting. Media massa, atau individu ketika melakukan aktivitas komunikasi ikut ditentukan faktor-faktor situasional tertentu.
Dasar Pemikiran Tradisi Sosial Budaya
Pendekatan interaksi simbolik, konstruktivisme merupakan hal yang penting disini. Interaksi simbolik menekankan pada bagaimana manusia aktif melakukan terhadap realitas yang dihadapi. Hal ini dapat membantu menjelaskan dalam proses komunikasi antar personal. Sedangkan konstruktivisme menekankan pada proses pembentukan realitas secara simbolik. Maka komunikasi baik bermedia maupun antar pribadi sesungguhnya dapat dilihat sebagai proses pembentukan realitas.
Varian Tradisi Sosial Budaya
Seperti halnya semua tradisi tradisi sosial budaya memiliki 3 varian yaitu Interaksi symbolic, kontruksionis, dan sosial lingustik.
C.a. Interaksi symbolic merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam ilmu sosiologi oleh George Herbert Mead dan ZHerbert Blumer yang menekankan pentingnya pengamatan dalam studi komunikasi sebagai cara untuk dari menyelidiki hubungan sosial. gagasan dasar dari teori ini diadopsi dan ditekuni oleh banyak ilmuwan social dan saat ini disatukan dalam bidang studi kelompok, emosi, diri, politik, dan struktur sosial
C.b. Konstruksi Sosial pada cabang ini menginvestigasi bagaimana
pengetahuan manusia dikosntruksi melalui interaksi sosial. Identitas dari sesuatu dihasilkan dari bagaimana kita membicarakan suatu objek , bahasa yang digunakan untuk menampung konsep kita dengan cara di mana group sosial berorientasi pada pengalaman mereka.
C.c. Sosial Linguistik Ludwig Wittgenstein seorang filosof Jerman memulai
perkerjaan ini dengan mengusulkan bahwa arti dari bahasa tergantung pada penggunaannya. bahasa, yang digunakan dalam hidup sehari hari., bahasa adalah suatu permainan sebab orang-orang mengikuti aturan untuk berbuat berbagai hal dengan bahasa.
TRADISI KRITIS
Apa Itu Tradisi Kritis
Tradisi ini tampak kental dengan pembelaan terhadap kalangan yang lemah. Komunikasi diharapkan berperan dalam proses transformasi masyarakat yang lemah.
Dasar Pemikiran Tradisi Kritis
Tradisi ini berangkat dari asumi teori-teori kritis yang memperhatikan terdapatnya kesenjangan di dalam masyarakat. Proses komunikasi dilihat dari sudut kritis.Bahwa komunikasi disatu sisi telah ditandai dengan proses dominasi oleh kelompok yang kuat atas kelompok masyarakat yang lemah. Pada sisi lain, aktifitas komunikasi mestinya menjadi proses artikulasi bagi kepentingan kelompok masyarakat yang lemah. Bahwa paradigma ini disatu sisi tergolong positivistik karena bersifat empiris mengenai realitas yang tersusun atas kelompok berkuasa dan kelompok yang dikuasai. Pada sisi lain, paradigma kritis tidak bersifat objektif sebagaimana prasyarat dalam paradigma positivistik. Paradigma kritis sedari awal melakukan keberpihakan terhadap kalangan yang dikuasai. Ini yang disebut ilmuwan tidak hanya menjadi pengamat tetapi juga terlibat dalam melakukan emansipasi terhadap kalangan yang lemah itu.
Varian Tradisi Kritis
Tradisi Kritis diawali oleh friedich engels dan karl marx . marxisme merupakan peletak dasar dari tradisi kritis ini . Marx mengajarkan bahwa ekonomi merupakan dasar dari segala struktur sosial. Dan menganggap kapitalis merupakan penindasan terhadap buruh dan kelas pekerja. Maka dari itu theory marx disebut sebagai kritik dari politik dan ekonomi.
C.a. Kritik Politik ekonomi pandangan ini merupakan revisi terhadap
Marxisme yang dinilai terlalu menyederhanakan realitas kedalam dua
kubu yaitu kalangan penguasa dan kalangan tertindas berdasarkan
kepentingan ekonomi. Sebaliknya, mereka yang mencoba tetap
menggunakan asumsi Marxist namun memandang bahwa dalam realitas sosial yang komplek sesungguhnya terjadi pertarungan ideologi.
C.b. aliran Frankfurt mengarah kepada filosof jerman, sosiologis, dan pakar
ekonomi. Frankfurt school merupakan yang mulai memeprkenalkan tradisi kritis dalam ilmu sosial. Aliran ini memperkenalkan bahwa aliran kritis . dalam rangka mempromosikan suatu filosofi sosial teori kritis mampu menawarkan suatu interkoneksi dan pengujian yang menyeluruh perubahan bentuk dari masyarakat, kultur ekonomi, dan kesadaran.
C.c. Posmodernisme merupakan masa setelah modernisme. Ditandai dengan
sifat relativitas, tidak ada standarisasi nilai, menolak pengetahuan yang sudah jadi dan dianggap sebagai sesuatu yang sakral (grand narative). Menghargai hal-hal yang lokal, keunikan, dan semacamnya.
C.d. Cultural studies suatu ideologi yang mendominasi suatu kultur tetapi
memusatkan pada perubahan sosial dari tempat yang menguntungkan dari kultur itu sendiri.
C.e. Post strukturalis yakni pandangan yang memandang realitas merupakan
sesuatu yang komplek dan selalu dalam proses sedang menjadi. Realitas tidak sebagaimana pandangan kalangan strukturalis yang melihat sudah bersifat teratur, tertata, dan terstruktur. Realitas merupakan suatu proses pembentukan yang berlangsung terus menerus dengan melibatkan banyak kalangan dengan identitas masing-masing. Yang menonjol adalah terdapatnya proses artikulasi dari masing-masing kalangan.
C.f. Post Colonial mengacu pada semua kultur yang dipengaruhi oleh proses
imperial dari masa penjajahan sampai saat ini.
Tradisi Retorika
Apa Itu Tradisi Retorika
Tradisi retorika memberi perhatian pada aspek proses pembuatan pesan atau simbol. Prinsip utama disini adalah bagaimana menggunakan simbol yang tepat dalam menyampaikan maksud.
Dasar Pemikiran retorika
Tradisi retorika berpusat pada lima pengaturan atau lebih dikenal dengan five canon of rhetoric yang mencakup Penemuan, pengaturan gaya, penyerahan dan memori.
Penemuan yang dimaksud di sini adalah mengacu pada konsepsi pada konsepsiluasisasi sebuah proses melalui pemaknaan pada data melalui interprestasi, pada sebuah pengakuan dari sebuah fakta yang tidak dapat dengan mudah kita hadirkan tapi kita menginterpretasikan sesuai khalayak yang kita hadapi dalam artian kita menyesuaikan apa yang kita bicarakan sesuai dengan khalayak yang kita hadapi.
Pengaturan adalah sebuah proses untuk mengatur symbol-symbol mengatur penyampaian dalam hubungannya dengan orang, dengan melibatkan konteks dan symbol. Gaya sangat diutamakan dalam teori ini.
Penyerahan Tradisi menjadikan symbol sebagai sarana untuk mempengaruhi mencakup pemilihan bahasa nonverbal dalam berbicara, menulis, atau menyampaikan suatu pesan.
Pengingatan tidak lagi pada pengingatan yang sederhana dalam berbicara tetapi pengingatan keseluruhan merupakan cara jitu dalam mempengaruhi dan memproses suatau informasi.
Varian Tradisi Semiotika
Retorika diartikan berbeda pada setiap zaman kita mengenal ada tujuh masa perkembangan dari retorika yaitu, klasik, abad pertengahan, masa renaissance, penerangan , kontemporer dan post modern.
C.a. Era Klasik didominasi oleh aliran seni dalam berbicara kaum sophist
sebagai pelopor aliran ini berkeliling mengajarkan retorika tentang bagaimana berargumen dan memenangkan sebuah kasus pada masa awal di mana retorika baru diperkenalkan. Plato sangat tidak menyukai aliran sophist ini dan menjuluki kaum sophis ini karena mereka berorientasi bagaimana menang dalam berdebat karena menurut plato yang nota bene beraliran filosof bahwa retorika digunakan untuk alat berdialog untuk mencapai kebenaran yang absolute.
C.b. Abad Pertengahan study tentang retorika berfokus pada pengaturan
gaya . namun retorika pada abad pertengahan dicela sebab dianggap sebagai ilmu kaum penyembah berhala dan tidak perlu dipelajari sebab agama Kristen dapat memperlihatkan kebenarannya dengan sendiri. Pada abad ini bisa dikata sebagai the end of retorika. Sebelum agustine seorang guru retorika mengatakan dalam buku doktrin Kristen bahwa retorika dibutuhkan bagi seorang pendeta untuk dapat menerangkan retorika dan menyenangkan umatnya.
C.c. Renaissance masa ini dianggap sebagai kelahiran kembali retorika
sebagai suatu seni. Para sarjana humanis member perhatian dan concern pada semua aspek untuk kemanusiaan, penelitian kembali text-text retorika klasik dalam rangka memahami manusia.
C.d. Abad Pencerahan selama masa ini para pemikir seperti Rene Descartes
dalam rangka menentukan apa yang bisa disebut sebagai suatu yang absolute dan objective pada pikiran manusia. Francis Bacon mengatakan retorika menggerakkan imajinasi pada pergerakan yang lebih baik. Logika atau pengetahuan merupakan bagian dari bahasa , dan retorika menjadi sarana untuk mengetahui suatu atau menyampaikan suatu kebenaran. Hal ini menjadikan retorika kembali menjadi citra yang baik seperti saat ini.
C.c. Pada masa Retorika kontemporer diringi dengan tumbuhnya minat
retorika seperti jumlah dan macam symbol meningkat. Apalagi dengan kehadiran media massa maka penyampaian pesan disampaiakn secara visual dan verbal.
C.e. Retorika Postmodern tidak lagi berpaku pada gaya retorika yang
dikembangkan oleh barat dia menyesuaikan retorika sesuai dengan budaya tempat di mana pesan disampaikan. Aliran ini merupakan alternative yang dimulai dari asumsi yang berbeda, nilai nilai acuan yang berbeda, untuk menghasilkan suatu retorika yang berbeda pula.

Tradisi Psikologi sosial Little John...

TRADISI PSIKOLOGI SOSIAL

selama beberapa tahun Mary Anne Fitzpatrick telah mengembangkan sebuah garis penghubung dari riset dan teori dalam hubungan di dalam keluarga. Kemudian Ascan Koerner dan Mary Anne Fitspatrick memperluas teori ini meliputi keluarga secara keseluruhan. Hasil dari teori ini menyajikan sebuah terminologi yang menjabarkan type keluarga yang berbeda dan menjelaskan perbedaan di antara type type keluarga tersebut.
Sebagaimana sebuah teori psikologi sosial pembahasan ini berlandaskan pada type-type keluarga yang mana anggota keluarga berpikir sebagai individual tentang keluarga. Mengikuti panduan dari teori psikologi dari ranah ini, koerner dan fitzpatrizk menekankan pada berpikir sebagai skema, atau secara lebih khsusus disebut Relational schemas. Skema relasi anda mencakup pengetahuanmu tentang dirimu, orang lain, dan relasi yang pernah kamu ketahui terkait dengan pengetahuan tentang bagaimana berinteraksi dalam suatu relasi. Pengetahuan ini mencakup gambaran tentang hubungan yang berdasar pada pengalamanmu sendiri yang kemudian memandu perilakumu. Sebuah skema adalah satu set menori yang diorgansisir . kamu menggunkannya di saat berinteraksi dengan orang lain setiap orang punya pengalaman berbeda, sehingga skema relasinya selalu berbeda pula.
Skema relasi anda diorganisasi ke dalam berbagai level dari umum ke khusus termasuk pengetahuan tentang social relationship, yang didalamnya terdapat pengetahuan tentang type-type hubungan secara umum dan secara khusus. Dengan demikian , skema keluarga mencakup : (1) apa yang kamu ketahui tentang hubungan secara umum; (2) apa yang kamu ketahui tentang hubungan keluarga sebagai sebuah type atau cara ;(3) apa yang kamu ketahui tentang hubunganmu dengan anggota keluarga yang lain.
Interaksimu dengan anggota keluarga yang lain pada waktu tertentu akan langsung dipandu oleh skema spesifik kamu, kemudian keluarga kamu, dan skema yang bersifat umum.dengan kata lain ketika kamu dan saudara kamu berinteraksi, kamu menanggapinya dengan pengetahuanmu dengan hubungan hubungan yang bersifat khusus. Intinya tiap orang punya karakter. Jika , skema itu tidak bekerja, kita akan kembali pada pengetahuan umum bagaimana seharusnya anggota keluarga berperilalu. Jika gagal lagi, kita akan menanggapinya dengan pengetahuan secara umum.
sebagaimanaseperti pemikiran individu tentang keluarga. mekeluarga seperti pemikiran individu-individu
asumsinya, sepanjang masa kecil saudaramu kau dan saudaramu membangun hubungan yang tertutup. Dan perilaku kalian secara bersama sama berada pada skema spesifik tentang suiatu hubungan. Skema ini berisikan sejumlah penglaman yaang dibagi bersama angtara kamu dan sauadaramu. Bayangkan, ketikam saudaramu keluar dari perguruan tinggi dan kemabli ke rumah pada mujsim panas kamju akan menghabiskan waktu bersamanya seolanajang waktu tapi dia sedikit membagi perhatian pada kamu dengan katab lain skema kamu sebelumbnya tidka bekerja lagi dan kamu mestiu memikirkan cara2 baru berinteraksi. Kamu sebaiknya membuat putusan terhapap bagaimana membveri respon berdasart pada skema keluarga secara umum. Sehinnga keputusan kamui untuk mengambil hubungan keluarga jauh pada apa yang kamu lihat padaa keluarga lain.
Kelanjutan dari contoh di atas, barangkali saudaramun akan segera menikah dan pindah ke tempat lain. Kamu hanyapunya sedikit kesempatan untuk beroinyteraksi selanjutnya, tahun 2 berikitunya dia akan kembaiu ke kota mu untuk reuni keluarag, tapiu kamu tidak tau lagi memberi respon kepadanya, sejak kamu merasa sudah mengenalnya. Kamu harus mengikiuti aturan aturtan etika sosial yang bersifat umum termasuk keramahan, dan kesopanan di dalam membangun suatu relasi yangb ersifat negoisasi.
Mengacu pada teori inio, komunikasi keluarag tidak aacak . tapi berpola berdasarakan skema skema khusus yang menentukan anggiota keluarag berkomuniasi denga yang lain. Skema ini berisikaan pengetahuan tentang (1) bagaiamnan kedelatan keluarga. (2) kadar individualitas di dalam kelaurag, (3) faktor faktor eksetranl di dalam kelauyrag termasuk petrtemana , jarak geografis, pekerhaaan, dan perhatian yang ada di luar unit keluarga.
Berkiatan dengam penegathuan ini, skema keluarga berisiskan hal2 dari orientasi hingga komunikasi. 2 hal yang mendominasi adalah conversatio orientauon , dan conformity orientation. Keluarga yang punya skema percvakapan, yang tinggi , akan akan menghabiskan banyak waktun untuk berkomunkasi sebaliknya, keluarga skema pembicaran yang rendah tidak mneghabiskan banyak waktu untukm ebrkomuniasi.
Keluargadengan sekma kenyamana yang tinggi, cdenderung membangunotoritas tremasuk posisi orang tua. Sebaliknya kelaurag dengan sekam conformity yang rendah cenderung indivisdual. Polampola komunikasi kelaurag anda akan bergantung pada posisi skema skema yanga da di dalma dua type oriantreasi ini.
Variasi skema akan mencipatakn type keluarag yang erbeda . fitpatrizk dan kawan kawan mengidentidfikasi 4 tema (1) konsensual (2) pluratristik (3) protektif) (4) kelaurga bebas. Kebanayakan kelaurag punay type type yang ditentukan oleh bagaiamna mereka menggunakan waktu ruang dan energi din dalam cara mereka mengekspreiskam perasaan dan membagi dfiolosioi yangb sama tentang pernikajan. Type type perniakan aha ada la 1) ntardional, (2) merdelka n(30 terpisah terkait dengan funsi yang egbrbeda.
Tyope pertama dari jkelaurga adalah konsensual kebnnayakkan keluargba, punya percakapan dan kenaytamapam yang tinggi kelaurag konsusla punay banayak waktu untuk berbicara, tetapi otiritas kelauarga khususnya oran tua akan banyak membuat keputusan kep;autusan, kleluarga ini selalu menekeankan pada komuniaksi terbuka di mana otoriata sorang tua sangat jelas. Orang tua akan mendengarkan dwengan baik semua keingina anakanya, kemudian membuat keputusan dan menjelaskan pada anak anaknya, apa upaya yang nhartu dialkkukan serta penjhelasan yang ada di balim, keputusan iytu.
Ortu di dalam kelaurag konsensual cenderung tradsional di dalma orienatsi keluarag. Ini bermakna bahwa mereak sangatb konbesvisonla di dlama memandang perakwinan. Mereka juga menempatkan nilai dalam stabilotas dan realsi peran dalam kesehariannya. Mereka sanagt bergantung dan membagiu berdama seluruh hubunagn hubngannya. Meskipun mereka tidak begitu tgeas terhadap poelanggaran, mereak tidak menghindari konflik. Mengacu fitparik dkk seoarn g iostri yang tardisoinal aka memasang anma suaminya dan dilelatkkan di belakang namanya. Sehingga pasangan itu punya perasaan yang sangat kuat terhadap suatu hubungan dan mereka akan saling membgi ruang dan waktu. Mereka akan mencoba untuk bekerja di luar dari standar skedul waktu dan mereka mengahabiskan banyak waktu bersama dan mungkin saja mereka tidak memiliki ruang yang terpisah dalam aktivitasnya.
Data riset ini menunjukkan bahwa pada pernikahan type tradisional terdapat tidak banyak konflik disebabkan kekuasaan dalam pengambilan keputusan di hasilkan oleh norma norma yang telah dibentuk.
Type keluarga yang kedua adalah keluarga yang memiliki tingkat percakapan yang tinggi akan tetapi memiliki tingkat kompromi yang rendah yang disebut sebagai type pluralistik. Pda type ini kita akan memiliki banyak batasan dalam melakukan percakapan akan tetapi setiap orang akan memutuskan untuk dirinya sendiri pada akhirnya tindakan apa yang yang diambilkan berdasarkan pembicaraan itu. Para orang tua tidak merasa perlu mengontrol anak anak, keluhan, pandangan yang dievaluasi dari berbagai masukan dan setiap orang memiliki peran dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga.
Para orang tua dari type keluarga pluralistik ini cenderung mempertahankan teory ini sebagai hal yang disebut sebagai indipendent, mereka biasanya agak kaku, terkait pandangan mereka tentang perkawinan. Sebagai penganut paham indipendent suami dan istri tidak saling memperdulikan satu sama lain dan cenderung untuk melahirkan anak anak yang berpikir indioenden juga.
Ada banyak konflik dalam type perkawinan indipenden dan pasangan sering bersaing untuk siapa yang paling berkuasa di rumah tanga menggunakan banyakm teknik persuasuif dan sering mengabaikan arguemn pasangannya.seperti kelompok tradisionla, penganut indipendent juga sangat eksperional, mereka merespon satu sama lainnya melalui petunjuk nonverbal dan mereka biasanya saling memahami satu dengan yang lainnya secara baik, yang mana menjelaskan kenapa mereka sangat menghargai nilai nilai komunikasi terbuka.
Type ketiga dari keluarga adalah Protective adalah keluarga yang memiliki tingkat percakapan yang rendah , tapi memilki tingkat kecocokan yang tinggi ada banyak kepatuhan namun sangat sedikit komunikasi. Para orang tua pada type keluarga pluralistik ini tak dapat melihat mengapa mereka harus banyak meluangkan waktu untuk membicarakan sesuatu yang baik, walaupun mereka memberikan kepada anak anak sebuah penjelasan untuk apa kebijakan mereka. Untuk alasan ini sungguhpun para orang tua cenderung mentypekannya sebagai sesuatu yang tercerai berai. Di situ individu individu terlihat seperti menjadi ambivalen untuk hal hal yang berhubungan tentang tugas dan perhubungannya. Mereka mungkin saja memiliki sebuah konvensi tentang pandangan dari sebuah pernikahan. Akan tetapi mereka tidak terlalu saling bergantung dan tidak berbagi banyak hal. Fitzpatrick menyebut separates ini sebagai “emotionally divorced” (emosi perceraian) mereka memiliki opini mereka masing masing dan dapat menjadi sebuah pertengkaran. Akan tetapi konflik dalam type hubungan ini tidaklah pernah lama karena separates dapat mengakhiri konflik dengan cepat. Sesungguhnya mereka rupa rupanya tidak dapat untuk menyelaraskan tindakan mereka dalam waktu yang cukup lama untuk terus terus menerus berada pada sebuah konflik.
Dan type keluarga yang terakhir adalah adalah type yang memiliki tingkat percakapan yang rendah dan tingkat kecocokan yang rendah yang kita sebut sebbagai Laisez-faire (kebebasan) anggota keluarga dari keluarga ini sebenarnya tidak begitu peduli apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lainnya dan yang pastinya mereka tidak mau banyak membuang waktu untuk membicarakannya. Orang tua pada keluarga ini menjadi bingung, di dalam orientasinya, yang berarti mereka tidak punya skema yang sama di mana mereka memulai operasinya. Mereka bisa saja menjadi pembauran dari type keluarga separate dan indipenden atau beberapa kombinasi lainnya.
Semua type perkawinan atau keluarga di atas jawabannya bisa ya bisa tidak sebab menurut Fitzpatrick meski satu type keluarga cocok bagi seseoarng tetapi belumlah tentu bisa cocok dengan seoarng yang lainnya.
N SOCIAL PENETRATION THEORY (TEORY PENETRASI SOSIAL)
Pengungkapan diri telah menjadi sesuatu tema yang penting dalam teori komunikasi pada tahun 1960 dan 1970. Teory penetrasi sosial hadir untuk mengidentifikasi proses dari peningkatan pengungakapan dan keintiman dalam sebuah hubungan dan keterwakilan sebuah teori yang berkesinambungan dalam sejarah intelektual dari teori relationship.
Dipacu oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor, teory penetrasi sosial di set dari pergerakan sebuah tradisi panjang dari sebuah investigasi ke dalam pengembangan relasi. Para investigator pada awal awal pengembangan dari teori penetrasi sosial ini berfokus pada kebiasaan individu dan motifasi-motifasinya.
Untuk memulai penjelasan dari teori penetrasi sosial kita harus membayangkan diri kiat sebaga sebuah bola, di dalam bola tersebut disi oleh segala sesuatu dia bisa saja hal hal yang berhubungan dengan kita. Pengalaman kita, pengetahuan, sifat,ide ide, pemikiran dan perbuatan. Informasi tersebut tersimpan di dalam bola bagaimanapun ini bukanlah sebuah kumpulan campur aduk, tapi di atur secara sedemikian rupa pada sekitar inti bola. Dekat dari pusat kita dan jaauh dari sisi luar ataupun sisi yang dapat dilihat atau dideteksi. Ini merupakan sesuatu yang lebih dekat dari hal yang bersifat private bagi kita.
Altman dan Taylors yang mendasari teory originalnya dari pemikiran yang popular pada Tradisi Psikologi sosial menganggap proposisi ekonomi yang membuat manusia untuk membuat sebuah putusan nberdasarkan pada biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang didapatkan. Dengan kata lain jika sesuatu itu akan sangat banyak membutuhkan cost maka kita akan berpikir dua kali untuk melakukannya. Namun sebaliknya jika hasilnya sangatlah menguntungkan kita mungkin akan tetap melangkah maju meskipun harus mengeluarkan biaya. Setiap keputusan merupakan hasil pertimbangan dan perimbangan dari biaya yang akan dikeluarkan dan keuntungan yang akan didapatkan. Ketika kita mengaplikasikan prinsip ini ke dalam interaksi manusia kita akan melihat sebuah proses yang kenal debagai social exchange (pertukaran sosial).
Di dalam teori pertukaran sosial interaksi manusia mirip dengan inteksi ekonomi kita akan mencoba untuk meminimalisir pengeluaran dan memaksimalkaan keuntungan. Diaplikasikan pada penetrasi sosial kita akan membuka informasi tentang diri kita ketika biaya yang perbandingan antara cost dan revenue acetable (dapat diterima) bagi kita.
Mengacu pada Altman dan Taylor hubungan kemitraan tidak hanya menilai reward dan cost dari sebuah hubungan pada sebuah pemberian kesempatan akan tetapi juga menggunakan informasi yang mereka dapatkan untuk mempredeksikan cost dan rewardnya di masa yang akan datang.
Almant dan Talyor memasukkan 4 bagian dari relational development. : (1) Orientasi (2) explorasi pertukaran affektive (3) pertukaran afektive (4) pertukaran stabil. Orientasi : terdiri dari komunikasi impersonal di mana pengungkapan hanya pada informasi yang bersifat umum . Explorasi Pertukaran afektive di mana pergerakan lebih dalam ke arah pengungkapan diri pertukaran afektive pusat pada evaluasi dan kritik perasaan pada level yang lebih dalam. tingkatan ini tidak akan masuk lebih dalam kecuali jika pasangan memahami subtansi dari reward merupakan pasangan dsari cost pada tingkat awal. Pertukaran stabil merupakan tingkat keintiman yang tinggi dan mempean bagi pasangan untuk mempredeiksikan antara satu dengan yang lain tindakan dan respon secara baik.
Teori original dari penetrasi sosial ini telah menjadi sesuatu yang penting yang berfokus pada perhatian kita pada sebuah pembangunan hubungan sebagai sebuah proses komunikasi , akan tetapi ini tidak dapat diaktualisasikan dengan baik pada pengalaman dari hubungan kita pada kehiudpan keseharian.
Saat ini teori penetrasi sosial ini mulai consist pada penetrasi sosial adalah merupakan sebuah siklus , proses dialektika. Ini disebut sebagai siklus disebabkan karena ini merupakan cara kerja sebuah siklus maju mandur. Dan disebut dialektika karena karena ini mempengaruhi management dari sebuah tarik menarik yang tak pernah berakhir antara publik dan pribadi.

Konglomerasi Media Massa Sebagai ajang Hegemoni Pembentukan Opini Publik





Tak ada hal yang lepas dari pretensi kepentingan – Foucault-
Latar belakang Masalah
Di tengah peradaban yang sudah bertransformasi menjadi The Age of Media Society, tak seorang pun meragukan kedigjayaan media massa. Media massa bukan saja menjadi ikon zaman, tapi juga penanda dari setiap perikehidupan yang berlangsung dalam abad ini. Tak sedetik pun momen terlewatkan dari media massa. Tak secelah pun informasi terabaikan. Lebih-lebih lagi, bila kita bicara ihwal televisi.Di antara media massa lainnya, televisi memang primadonanya. Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi.
betapa dominannya posisi televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun individu. Namun, di balik kuatnya posisi tersebut, televisi—atau tepatnya, industri televisi—menghadirkan sederet permasalahan. Ini terutama disebabkan oleh content televisi yang acap mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak. Sebagian besar produk televisi adalah program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional dan mengandung unsur-unsur hegemoni tertentu.
Dalam perspektif Marxian, media massa berpotensi menyebarkan ideology dominan. Ideology dominan biasanya disebarkan oleh orde yang berkuasa dalam rangka mengekalkan kekuasaannya. Dalam rangka mengekalkan kekuasaan tersebut, kelompok yang dominan melalui media cenderung menyuarakan kepentingannya dan berusaha agar kelas lain turut serta berpartisipasi dengan sukarela, atau tanpa mereka sadari dan itulah yang disebut sebagai “hegemoni”.
Di Indonesia sendiri pada masa Orde Baru Media Massa mendapat control yang begitu ketat dari penguasa dan menjadi corong untuk melanggengkan kekuasaannya dengan melakukan Hegemoni. Seperti pemutaran secara berkala Film perisitwa G 30 S/PKI yang penuh rekayasa dan pembelokan sejarah dan sampai saat ini masih menyisakan pengaruh bagi sebagian masyarakat di Indonesia sehingga sampai sekarang kita mengenal ada organisasi yang menamakan dirinya front anti komunis yang dibentuk secara sukarela oleh masyarakat itu sendiri.
Ketika memasuki Era reformasi di mana Media Massa menikmati kebebasannya dan tidak lagi menjadi corong bagi penguasa, akan tetapi tidak berarti dengan serta merta media massa terutama Televisi bebas dari control pihak tertentu ibarat keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa begitulah kira kira penggambaran dari kondisi media massa saat ini. Meski tidak lagi menjadi corong penguasa akan tetapi media massa tidak pernah lepas dari intervensi sang pemilik modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang nota bene memiliki beragam kepentingan taruhlah seperti kepentingan ekonomi, politik dan ideology tertentu.

Konglomerasi Media Di Indonesia
Dengan kata lain ketika berbicara tentang media massa dalam hal ini media penyiaran Televisi maka kita akan dapat menarik garis besar kepemilikan yang berpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah hary Tanoesoedibyo, Lativi dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan pimpinannya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri.
Singkat kata nama nama pemilik media yang disebutkan di atas tadi merupakan orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan dan beberapa di antara ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada pula yang merupakan Tokoh penting pada salah satu partai yang sekian lama berkuasa di republimk Ini (baca Golkar). Tidak menutup kemungkinan mereka membangun Media untuk memuluskan kepentingannya dalam hal Perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media.Hal ini dapat dilihat dari wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa seperti yang baru baru ini terlihat bagaiman televisi ramai ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar padahal di sisi lain masih banyak agenda agenda penting lainnya yang harus diketahui oleh Publik seperti Penyelesaian Kasus lumpur lapindo yang sampai saat ini masih jauh dari kata “beres”. Padahal salah satu hak yang harus didapat masyarakat dari media adalah mereka mendapatkan Diversity Informasi1.
Tentu saja Konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan bangsa bangsa ini mengingat pengaruh media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen habemas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public Sphere yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan2. Dalam artian media selayaknya menjadi “The Market Palces Of Ideas” tempat penawaran berbagai gagasan sebagaimana setiap konsep pasar, yang mana hanya ide terbaik sajalah yang pantas dijual dan ditawarkan.

Media massa dan Hegemoni
Dalam pandangan mazhab kritis, terutama dalam studi studi yang dikembangkan oleh Centre for Contemporary Cultural studies, Bringmiham University, media massa selalu dirasakan sebagai alat yang “powerfull” dan ada ideology dominan di dalamnya 3. Hal ini yang disebut oleh para penggiat Cultural studies sebagai hegemoni media. Teori hegemoni ini dicetuskan oleh gramsci yang merujuk pada kekuasaan dan praktis. Hegemoni merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Di sini, institusi media memberikan sebuah fungsi hegemoni yang secara terus menerus memproduksi sebuah ideology yang kohesif (ideology yang meresap), satu perangkat nilai-nilai “commonsense” dan norma norma yang memproduksi dan mengesahkan dominasi struktur sosial tertentu yang mana kelas – kelas sub-ordinasi berpartisipasi di dalam dominasi mereka itu. Bahkan lebih lanjut menurut Gitlin mendefenisikan hegemoni sebagai “rekayasa sistematik” kepatuhan massa untuk memapankan kekuasaan kelompok yang berkuasa.
Stuart Hall berpendapat Media massa cenderung mengukuhkan ideology dominan untuk menancapkan kuku kekuasaannya melaui Hegemoni . Melalui media massa pula juga menyediakan frame work bagi berkembangnya budaya massa. Melalui media massa pula kelompok dominan terus-menerus menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasainya. Sedangkan menurut MC. Luhan seorang pengkritik media ia mengatakan Media massa bukan hanya sebagai media pengirim pesan tapi juga mempengaruhi nilai nilai budaya dan membuat streotyp mengenai gender, Ras, dan etnik. Dan memiliki kontribusi terhadap pengalaman komunikasi dan bisa saja memonopoli dunia pemikiran seseorang.
Maka dari itu selama media masih dikuasai oleh ideology dominan, maka mereka akan menggambarkan kelompok oposisi sebagai kaum marginal . bagi Hall dan koleganya, interpretasi teks media selalu muncul di dalam suatu pertarungan dari control ideologis. Ronald Lembo dan Kenneth Tucker menggambarkan proses tersebut sebagai “arena kompetisi di mana individu atau kelompok mengekspresikan kepentingan yang berlawanan7.
Dari uraian kerangka teori di atas maka tampak jelaslah apabila media massa akan senantiasa menjadi ajang Hegemoni bagi kelompok yang berkuasa artinya masyarakat patuh pada pada kehendak penguasa dan mereka secara tidak sadar berpartisipasi dalam rangka kepatuhan tersebut.

Kapitalisme Global dan Hegemoni Media
Ketika kita berbicara tentang hegemoni Media massa maka kita tidak bisa melepas variabel Globalisasi dan kapitalisme sebagai salah satu jalan Tol bagi pihak pihak yang berkuasa untuk melakukan hegemoninya akan tidak Dalam cara pandang hegemonian, kebudayaan global akan bersifat tunggal karena watak kapitalisme yang monolitik. Seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi simboliknya akan mengacu pada ekspresi dominan dalam nama pasar. Tidak ada celah lagi untuk menjadi independen secara simbolik karena rekayasa elitis yang terlanjur disepakati oleh moralitas, kognisi, dan afeksi masyarakat bawah. Padahal ketiga faktor inilah yang terpenting dalam memproduksi simbol. Kebudayaan lokal yang tidak marketable akan terpinggirkan karena desakan kultur asing yang sangat profit oriented. Dalam kaca mata Hegemoni Gramsci, penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang dengan segala tipu daya bisa mematikan kesadaran resistensi masyarakat. Dalam kondisi hegemoni, orang tidak akan punya kekuatan kritis lagi. Semuanya serba pesimis. Seperti halnya Soeharto pada pertengahan masa orba sampai menjelang ajalnya tampil sebagai penguasa yang ditakuti. Ia--seperti halnya Lee Kuan Yew--punya prinsip lebih baik ditakuti daripada dicintai. Siapa orang yang berani terang-terangan menentang Soeharto waktu itu. Dalam tataran politik praktis tentu tidak ada. Namun dalam ranah kultur keseharian, soeharto tidak benar-benar absolut. Di tingkat bawah, orang sudah muak dan kemuakan itu muncul dalam berbagai bentuk resistensi. Resistensi yang paling sederhana adalah humor. Subversi kecil-kecilan itu paling tidak akan memunculkan rasa bahwa mereka tidak terkuasai. Kita bisa melihat berapa banyaknya humor-humor politik yang hidup subur di masyarakat dan cepat menyebar. Semuanya bernada kritis pada penguasa. Kondisi ini mirip Rusia pada masa Kruschev. Kalau ekspresi politik resmi tidak bisa disalurkan, jalur kultural siap menampungnya.
Dalam dunia kebudayaan populer perdebatannya semakin ramai. Kalau diambil asumsi bahwa globalisasi--wajah lain dari kapitalisme internasional--telah melakukan penetrasi kultural ke segala mata angin dunia, maka seharusnya ekspresi kebudayaan dunia akan bermuka tunggal dalam satu kontrol. Tapi rumus hegemonian itu tidak sepenuhnya bekerja dengan baik. Cara padang ofensi versus resistensi terasa terlalu sederhana apabila dilihat dinamika budaya yang tidak sefrontal itu. Saat musik rap Amerika menjalar ke seluruh negeri, orang Indonesia khawatir musik domestik akan hilang. Namun apa yang terjadi. Tidak dalam rangka menentang rap, Iwa K. malah melakukan terobosan dengan membuat rap dalam lirik bahasa Indonesia. Begitu juga saat banyak orang Jawa khawatir pada serbuan musik pop, Jadug Ferianto dan Manthous malah membuat gamelan dalam tangga nada diatonis, tidak lagi pentatonis. Dalam struktur diatonis, lagu apapun dari negeri manapun akan bisa dibawakan dalam timbre gamelan yang khas Jawa. Ekspresi kebudayaan tidak bisa disederhanakan ke dalam kotak apa pun termasuk kelas. Bahwa perspektif kelas bisa membantu melakukan analisis itu benar. Namun menggantungkan analisis hanya pada satu instrumen kelas saja akan sangat reduksionis dan dangkal. Kadang ekspresi tidak butuh ideologi. Estetika bisa saja menjadi determinan.
media massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik. media massa hanya bersifat satu arah melayani kepentingan ekonomi. Bahkan istilah media mungkin perlu digeser menjadi mediasi karena di sanalah segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu. Hasil interaksi antar simbol itu akan bersintesis dan menemukan bentuk ekspresi baru. Bentuk baru itu ada dalam spektrum yang amat luas dan tidak melulu hegemonik.

Media Penyiaran Komunitas Sebagai Counter Hegemoni
Penyiaran adalah arena pertarungan dalam perebutan makna antara pihak-pihak yang ingin "berkuasa". Selanjutnya, dalam pertarungan tersebut terbentuk dua kutub kepentingan, massa vis-a-vis pemilik modal. Media penyiaran dalam konteks pertarungan tersebut selayaknya berpihak pada massa dan berupaya mendorong manusia untuk berkesadaran kritis. Keberpihakan seperti ini mutlak dilakukan dalam upaya melawan dominasi sistem hegemonik. Gramsci lewat teorinya menyarankan kepada massa untuk membangun counter wacana atau yang lazim disebut wacana tandingan (counter discourses). Counter wacana ini untuk mengimbangi dominasi dan hegemoni yang dikonstruksi oleh para kaum kapitalis.
Dalam dunia penyiaran, gerakan ini sesungguhnya diamanatkan pada lembaga penyiaran komunitas, yang berbasis kewargaan. Mengapa demikian? Bila melihat basis filosofisnya, lembaga penyiaran komunitas amat berbeda dengan lembaga penyiaran swasta. Lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang terbentuk dari inisiatif warga, dan bertujuan memenuhi kebutuhan warga akan informasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Lembaga penyiaran ini berpijak pada penguatan kesadaran kritis warga terhadap segala hal yang berpotensi eksploitatif dan dominatif.
Atas dasar tersebut maka lembaga penyiaran komunitas harus memenangkan konsensus dalam perebutan makna tersebut -meminjam istilah Jurgen Habermas. Lembaga penyiaran komunitas harus mampu membalikkan kebudayaan dominan yang dianut, bahkan harus dapat memaksa kaum kapitalis untuk tunduk pada kebudayaan warga yang berbasis pada kesadaran kritis.
Dalam upaya memenangkan pertarungan, lembaga penyiaran komunitas harus mengonsolidasikan diri dan membangun kerja-kerja jaringan dengan sesama lembaga penyiaran komunitas lainnya. Jaringan yang terbentuk kemudian bersinergi dalam menyusun taktik dan strategi sehingga ada kesamaan visi dalam melakukan perlawanan. pengorganisasian menjadi mutlak dilakukan mengingat sistem yang dilawan adalah sistem yang terorganisasi dengan rapi dan telah memiliki infrastruktur kebudayaan yang kuat.

Daftar Pustaka
Griffin EM (2005) “A First look at Communication Theory” Six Edition
Mc Graw Hill
Heryanto Ariel (2000) Perlawanan dalam kepatuhan Esai-esai budaya Dr. Ariel Heryanto Mizan Bandung.
Hidayat, Dedy. N., 2000, Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama
Irawanto Budi (1999) . Film ideology dan Militer : Hegemoni Militer dalam sinema Indonesia . Media Pressindo : Yogyakarta
Latif Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (eds) (1996) Bahasa dan Kekuasaan: Politik wacana panggung Orde Baru .Mizan Bandung
Littlejohn, Stephen W (2005) Theories of Human Communication. Wadworth Publishing Company:Belmont
Marpaung Tegar (2007) Pers Indonesia Pasca reformasi (antara kebebasan , tantangan dan harapan ) Makalah persentasi MK. Dinamika Kekuatan politik Indonesia
MC Quail’s Dennis (2005) Media Massa Theory Five Edition SAGE Publications London
Mustary Rizal (2007) Intervensi Pemilik Modal dalam Media Penyiaran: ancaman terhadap Demokrasi dan kehidupan politik pasca reformasi Makalah persentasi MK. Dinamika Kekuatan Politik Indonesia
O’sullivan (1995) Key Concepts in communication and Cultural Studies. Routledge : London and New York
Shoemaker and Reese (1995) Mediating The Message : Theories of Influences on mass media Content. Longman : New York and London
Kellner, Douglas (1990) television and the crisis of democracy West View Press
Webster, Franck, 1995, Theories of The Information Society, London:Routledge
Dennis Mc Quail’s Media Massa Theory Five Edition 2005 Page 235 Sage publication London
Little John W stephen “ Theories of Human Communication” Thomson Eight Edition , 2005 Page 320.
Little John W stephen “ Theories of Human Communication” Thomson Eight Edition , 2005 Page 324
Shoemaker and reese “Mediating the message :theories of influences on mass media
Content Page 194 Longman New York and London
EM Griffin “A First look at Communication Theory” Six Edition Mc Graw Hill 2005 page 371
kwal gamble michael gamble communication works eight edition mc graw. Hill 2005
page 212
Little John W stephen “ Theories of Human Communication” Thomson Eight Edition , 2005 Page 324

Horror Film Face Political Evils in Every Day Life

Departement Ilmu Komunikasi
Program Pasca Sarjana Kekhususan Manajemen Komunikasi Politik
Mata Kuliah : Perspektif dan Teori Komunikasi Politik
Dosen Kordinator : Effendy Gazali M.Si, P.hd
Jawaban Ujian Akhir Semester (Take Home Test)
Oleh : Sulhardi 0706185736



(1). Mendefenisikan Keywords yang ada pada Jurnal Komunikasi Politik dalam hal ini Jurnal yang saya dapat adalah Jurnal yang berjudul Horror Film Face Political Evils in everyday Life oleh John Nelson adapun keywordnya ialah : (1). Advance News, (2). Evils,(4) Facing, (5). Horror, (6). Politics of Film, (7) subtext, (8). Symbolism,(9). Telephone, (10). Television
Adapun defenisi daripada keyword di atas sesusai dengan yang saya pahami setelah membaca Jurnal dengan Judul yang saya asebutkan di atas adalah sebagai berikut :
(1). Advance News : Film meskipun sesungguhnnya bagi sebagain orang dianggap sebagai
Hiburan semata namun satu hal yang perlu dicatat bahwa Media film sebenarnya memiliki
kekuatan lebih dibandingkan media lain dalam melakukan representasi terhadap kenyataan.
Jurnalisme mungkin mengaku kerjanya pada realitas, tetapi jurnalisme dikendalikan oleh
prinsip kelayakan berita yang memenggal realitas itu dalam satuan-satuan kelayakan berita
tersebut. Sedangkan film nyaris tak terbatasi oleh hukum-hukum ekstrinsik macam itu.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas Ketika pembuat film Horror memilih sebuah tema, maka yang membatasinya adalah hukum-hukum intrinsik film itu sendiri. Dengan pilihan yang nyaris sama luasnya dengan kehidupan itu sendiri, film punya kemungkinan yang tak terbatas. Untuk itu.
(2) Evils : Keyword evil yang dimaksud dalam jurnal; Nelson adalah sebagai kata ganti daripada penggambaran politik yang ada di tengah tengah masyarakat yang dianggap seperti hantu yang terus membayangi dan membawa kengerian. Mungkin di siotulah sebabnya beberapa orang sangta mebenci pooltik sebagaimana ia membenci politik dan politisi karena Evils juga menggambarkan karakter daripada
politisi seprti disebutkan bahwa vampire sebenarnay mewakili daripada kharismatik daripada tokoh politik ataupuin zombie yang mengambarkan massa yang selalu ikut arus.
(3). Facing : facing bisa diartikan sebagaihal hal yang dihadapi dan bisa juga sebagai bentuk wajah dari perpolitkan, yang dimaksud di sini adalah penggambaran wajah politk yang cukup seram yang mana mau tidak mau masyarakat sellau dihadapkan pada wajah seram perpolitikan demikianlah Film Horror menggambarkan daripada kehidupan perpolitikan itu sendiri dan hal hal yang harus dihadapi masyarakat.
(4). Horror : yang dimaksud Horror dalam Jurnal tersebut adalah adalah semua makhluk yang oleh sains kontemporer diyakini tak ada. Monster-monster adalah makhluk yang berbahaya dan najis, sehingga menerbitkan rasa ngeri dan jijik dalam diri manusia. Orang takut pada mereka walaupun tahu mereka tidak ada. Makhluk-makhluk itu hidup dalam apa disebut biasa disebut `realitas objektif', yaitu realitas pikiran, bukan `realitas formal' atau realitas nyata. Kejijikan itu timbul dari keterbelahan diri manusia sebagai makhluk yang bertubuh dan berjiwa, dari bercampurnya dua dunia. Potongan tubuh-tubuh bergerak, serigala jadi-jadian, vampire yang hidup abadi, sundel bolong, dan sebagainya, yang terperangkap di dua dunia itu meruntuhkan bangun konseptual manusia. Jika dihubungkan dengan pencitraan komunikasi politik maka bisa saja penggambaran tokoh Tokoh Horror dalam komunikasi politik adalah penggambaran dari anggapan sebagian masyarakat yang mersa bahwa politik itu kotor dan lain dan sebagainya.
(5). Politics Of Film : Politik film menentukan strukturnya dalam hal ini hubungannya dengan dunia. Kita memahami, menghayati dan menikmatinya dari dua perpektif . sosiopolitik film melukiskan bagaimana ia memantulkan dan berintegrasi dengan pengalaman manusia pada umumnya. Pada film Horror tentunya tak pernah lepas daripada pretense kepentingan mengingta posis film yang selain sebagai satana hiburan juga dapat menjadi sarana propaganda. Tentu dalam melnacarkan politiknya maka film tidak lebih dari Psyko-politik film yang berusaha menjelaskan bagaimana hubungan kita secara pribadi dan secara khusus. Karena film merupakan suatu gejala kebudayaan yang tersebar sangat luas, maka secara sosial politik , ia memainkan peranan yang sangat penting dalam budaya modern, karena ia menyajikan penampilan realitas dengan cara yang begitu yang kuat dan meyakinkan, maka secara psyko-politis film mempunyai pengaruh yang dalam terhadap anggota-anggota penontonya .
(6). Stands : keyword stand yang dimaksud di sini adalah untuk penggambaran posisi dalam artian ia menjelaskan posisi antara subjek dalam hal ini film horror itu sendiri dan juga pobjek dalam hal ini penonton. Atau bisa juga stands menggambarkan posisi dari tokoh tokoh yang berada di film Horror tersebut dan apa mkna di baliknya.
(7). Subtext : pada dasarnya hal hal yang terdapaty dalam fil adalah subtext dan Text jika Text adalah tataran permukaan, film hanyalah penggalan-penggalan gambar yang diambil dari objek yang direkam dan memebentuk satu kesatuan dan kemudian menceritakan realitasnya sendiri secara gambling dan itulah yang disebut dengan text. Sementara Subtext ialah apa yg terkandung di ‘bawah permukaan’ yaitu fikiran & perasaan yg diketahui atau tidak diketahui oleh penonton di sebalik perlakuan watak (nothing is what it seems). Atau dengan kata lain Subtext ialah apa yg tersirat di sebalik yg tersurat, dan dalam horror yang digambarkan oleh Nelson
(8). Symbolism : bahwasanya dalam film horror kita dapat melihat banyakm sekali symbol-symbol yang membantu kikta untuk memaknai suatu hal atau makna di balik text. Misalnya symbol merah merupakan keterwakilan darei sadisme, atau pembunuhan dan symbol gaun warna putih yang lusuh menandakan hantu dan sebagainya. Dalam konteks jurnal yang ditulis oleh Nelson Symbol-symbolk yang ditampilkannya yang berupa mahluk horror tak lain adalah penggam,baran dari stuasi politik ataupun keadaan politik yang dihadapi seharai hari. Misalnya penggambaran tokoh politik yang karismatik dan haus darah bisa disimbolkan dengan wujud vampire. Yang jelas symbol adalah tanda.
(9). Telephone : telephone adalah alat komunikasi dua arah yang mana antara satu dengan yang lain dapat mudah berkomunikasi tanpa harus bertemu secara langsung dan bisa dikatakan friendly use. Sehingga di dalam film anyak digambarkan
penggunaan telkepon banayk digunakan oleh organisasi teroris dalam menjalankan aksinya. Sehingga Horror bukan hanya sekedar hal hal yang berbau klenik dan voodoo tapi juga hal hal yang bersifat teknologi. Telepon juga bisa mewakili symboklisasi daripada karaterisitik masyarakat kota.
10. Televion : Televisi sebagai media horror diceritakan di dalam jurnal ini adalah objek mediasi Horror dalam film the ring. Yang digambarkan sebagai salah satu alat untuk mempengaruhi persepsi yang cukup kuat. Dan bisa merubah imaje seseorang dalam waktu yang cukup cepat. Seperti yang diceritakan dalam film the ring bahwa mahluk Horror selalu muncul dari dalam televise yang berarti bahwa dengan television maka kita dapat terhubung dengan dunia lain dan ia bisa menciptakan ketakakutan di dalam benak kita. Juga televise dalam film Horror menyimbolkan bagaiman sulitnya kita menghindarkan politik dalam kehiduapn keseharian.
2. Hal-Hal yang terkait dengan Jurnal Horror Films Face political Evils in Everyday
life dengan Buku Brian MC nair “An Inbtroduction to Political Communication :
The Political In The Age Of Mediation Bab 1
ada tiga elemen penting dalam komunikasi politik. Pertama, political organizations yang diartikan sebagai aktor politik yang tampil ke permukaan karena diinspirasikan melalui 'kendaraan' organisasi atau institusi. Hasil yang diharapkan ditempuh melalui lembaga kekuatan politik, baik yang ada di pemerintahan maupun di lembaga-lembaga perwakilan. Melalui cara ini, kebijakan yang dikehendaki dapat diimplementasikan.
Kedua, citizens, yakni khalayak yang menjadi sasaran komunikasi politik yang didekati dengan cara 'persuasi'. Tanpa khalayak, pesan-pesan komunikasi politik tidak akan ada relevansinya sama sekali. Tujuan akhirnya adalah memberikan efek sesuai dengan isi pesannya.
Ketiga media yang dalam proses komunikasi politik mengemban peran ganda, yakni sebagai sender dan sebagai receiver. Di negara-negara yang menganut sistem politik demokratis, pesan yang disusun harus dikonstruksi oleh wartawan dan kemudian diterima oleh khalayaknya. Fungsinya sebagai transmitters. Karena itu, setiap aktor politik harus memanfaatkan media agar ide-idenya bisa dipahami dan diterima khalayak. Media tidak saja melaporkan kepada khalayak secara netral/impartiality, tetapi juga harus melaporkan secara akurat semua peristiwa yang ada di sekitarnya sebagai political reality. di sinilah fungsi dari film Horror untuk menciptakan sesuatu yang samar samar dan jauh dari alam manusia seolah olah real dan hadir membayangi dalam keseharinnya.

BAB 4 Political Media
Media tidak pernah terlepas dari pretensi politik karena itu ibarat makanan sehat baginya jika dalam dunia perfilman maka kita bisa melihta Hollywood, produsen film terbesar yang menguasai pasaran film di dunia, yang mana telah menjadi corong bagi nasionalisme USA. Banyak film-film Hollywood yang kemudian menjadi kasus bagi peradaban lain.
Salah satu pemikir sosial dari Amerika Serikat, Noam Chomsky, di berbagai literatur menyebutkan bahwa Washington menghabiskan dana satu milyar dollar setiap tahunnya untuk kepentingan propaganda atau humas. Tujuannya tak lain agar dapat mengontrol jaringan media massa dunia dan menjadikannya sebagai dominator arus informasi dunia.
Pemerintah Amerika Serikat memang mendorong agar perusahaan-perusahaan media saling melakukan merger sehingga bisa menjadi perusahaan media raksasa. Untuk itu, dibuatlah berbagai kemudahan demi perkembangan ekspansi perusahaan-perusahaan media raksasa tersebut.
Dari beberapa sumber di internet, Robert Mc Chensy, seorang dosen dari Universitas Illionis, Amerika Serikat, yang juga pemimpin redaksi Monthly Review, mencatat bahwa pada saat ini, pasar media dunia berada di tangan tujuh perusahaan multinasional, yaitu Disney, Time Warner, Sony, News Corporation, Viacom, Vivendi, dan Bertelsmann. Ketujuh perusahaan ini merupakan studio pembuatan film terbesar dunia, menguasai 80-85 persen pasar musik dunia, pasar buku dunia, majalah, serta kanal-kanal televisi dunia.
Dengan kemampuan teknologi yang mereka punyai, mereka mampu menjadikan media-media yang ada sebagai media politik arus utama di dunia. Ada banyak contoh yang bisa kita simak. Misalnya ketika kemenangan George W. Bush yang kontroversial pada pemilu tahun 2000. Stasiun televisi Fox News, yang didirikan atas bantuan tokoh-tokoh partai Republik, partai darimana George W. Bush berasal, berperan penting dalam kemenangan itu.
Mempolitisir media juga dilakukan pemerintah Amerika Serikat ketika terjadi peristiwa 11 September 2002 dan invasi Amerika Serikat ke Afghanistan dan Irak. Pemerintah Ameika Serikat membombardir informasi bahwa pelakunya terkait dengan kaum muslim. Dan sekonyong-konyong media pun turut memberitakannya begitu saja.
Begitu pula ketika pemerintah Amerika Serikat hendak menyerbu Irak. Media-media (bahkan media-media di luar Amerika Serikat dan Inggris) mengikuti bulat-bulat segala pernyataan yang dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat bahwa ada nuklir di Irak. Dan ketika nuklir itu tidak juga terbukti, media yang telah mendunia itu tak melakukan apa-apa untuk apa yang telah mereka beritakan.
Dampak yang terjadi bukanlah sesuatu yang main-main. Banyak muslim di berbagai tempat, terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, yang mendapatkan perlakuan diskriminatif karena disangka teroris. Tanpa tahu apa-apa, rumah atau tempat pengajiannya diawasi, atau bahkan digerebek secara semena-mena.
Istilah teroris digunakan berulang-ulang oleh pemerintah dan media-media di Amerika Serikat, dan bergema ke seluruh dunia. Labelling melalui media pada kenyataannya terus terjadi. Tanpa disadari, ia telah disusupi oleh program politik salah satu pihak, dan mengorbankan hak pihak lain. Monopoli informasi terjadi melalui propaganda yang dimediasikan oleh media. Meskipun media berusaha untuk seimbang, istilah-istilah yang sebenarnya memojokkan itu terlanjur menjadi sebuah istilah yang dianggap wajar.
Media memang tidak mungkin bersikap apolitis. Begitu juga politik. Keduanya saling membutuhkan.
Party Political Communication Politcal Advertising Bab 7 di situ menceritakan bagaimana Iklan politik salah satu kandidat presiden US mengenai kebijakan anti-kejahatan, mengambil aneka penggalan film horor. Ditayangkan seorang wanita berjalan sendiri di tengah malam. Si wanita terlihat amat ketakutan mendengar suara langkahnya sendiri yang terdengar jelas di kesunyian. Saat suara-suara menghilang dan angka tingkat kejahatan yang tinggi dimunculkan di layar, penonton mengira akan ada lelaki jahat menyergap si wanita. Ternyata, tidak. Si wanita selamat, aman sampai rumah. Itu berkat kebijakan antikejahatan Nixon yang tegas. Itulah inti pesan yang ingin disampaikan. Dengan memilih Nixon, berarti memilih Amerika yang lebih aman dan tenteram.

3. analisa situasi Film Horror Di Indonesia :
FILM HORROR DAN POLITIK SEKS DAN GENDER
Sebagai sebuah genre film yang mengeksploitasi ketakutan penonton, film horor di Indonesia menyandarkan sumber ketakutannya pada sosok perempuan, baik sosoknya sebagai ibu maupun sosoknya sebagai obyek seksual. Dalam film horor, korban dan pelaku adalah perempuan, atau setidaknya pelaku melakukan sebuah kejahatan karena perempuan. Maka tak heran, dalam film-film horor muncul seluruh kejahatan dan kekejian yang tak pernah terbayangkan manusia normal. Adegan pembunuhan sadis, memakan daging, nekrofilia, bestantialisme, dan inses selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari tampilan film horor.
Dalam genre ini, ikonografi ketakutan perempuan merupakan basis cerita film. Hal ini nampak sekali dalam hampir semua film horor Indonesia, Film horor sebagai salah satu film yang paling banyak ditonton di Indonesia mencerminkan struktur masyarakatnya yang menempatkan perempuan sebagai obyek visual.
Struktur masyarakat patriarkal (phallosentris) akan menghasilkan film-film yang menampilkan perempuan-perempuan terkebiri. Dalam masyarakat seperti ini, perempuan ditempatkan sebagai ancaman, tetapi juga digambarkan sebagai makhluk yang sangat berhubungan dengan tugas reproduktifnya sebagai ibu. Sumber-sumber ketakutan dalam film horor Indonesia sendiri selalu dihubungkan dengan, ibu yang menderita, rahim yang menakutkan, dukun perempuan, tubuh perempuan yang kerasukan, atau perempuan-perempuan superkuat yang mewakili kekuatan pengebiri. Kekuatan pengebiri ini merujuk pada istilah psikolog Sigmund Freud untuk menyebut perempuan-perempuan yang bersifat mengancam kekuatan laki-laki. Sifat ini terlihat jelas dalam banyak kasus film horor di mana gunting, pisau, atau benda-benda tajam yang mirip kelamin laki-laki (phallus) digunakan para perempuan kerasukan untuk melakukan pembunuhan.
Film Kuntilanak merupakan contoh film kontemporer yang secara jelas menampilkan kekuatan perempuan (Sam) yang mengambil alih alat laki-laki (gunting) untuk melawan kekuatan yang mengancam dirinya. Ketakutan laki-laki terhadap sosok ibu yang menderita dan rahim yang menakutkan terlihat jelas dari maraknya motif perkosaan sebagai pendorong perubahan seseorang menjadi hantu. Tidak beda dengan film horor sebelumnya, film horor kontemporer selalu menampilkan perempuan yang diperkosa atau ditinggalkan oleh pasangannya sebagai arwah penasaran. Hal ini, didorong oleh kesadaran kolektif pembuat film (yang adalah laki-laki) sebagai penerus tradisi patriarkal masyarakat kita. Kedua, maraknya fenomena yang bersifat real, seperti tingginya tingkat pemerkosaan. Sementara perubahan perempuan-perempuan menderita menjadi hantu, berhubungan dengan obyektifikasi perempuan sebagai penanggung rasa bersalah. Seluruh kekacauan dan persoalan yang muncul akibat hantu selalu dikembalikan ke tubuh perempuan.
Di sisi lain, film horor Indonesia juga menampilkan perempuan-perempuan muda (perawan) yang mengalami kerasukan, misalnya dalam film Rumah Pondok Indah. Kerasukan selalu menimpa perempuan muda karena, perempuan muda dan perawan mewakili keringkihan tubuh, sebuah tubuh yang dengan mudah menerima intervensi dari luar. Dan ini bersifat sangat seksual. Dalam kerasukan, tubuh-tubuh perempuan yang murni diubah menjadi tubuh-tubuh menakutkan di mana batas antara diri dan
Dalam film-film horor masa lalu, hantu dan perempuan-perempuan jahat selalu bisa diredakan atau dikalahkan oleh para ustadz/kyai/tokoh agama yang hampir semuanya berkelamin laki-laki. Ustadz/kyai/tokoh agama ini adalah alat untuk mengembalikan perempuan pada tatanan sosial yang sudah dibangun oleh dunia patriarkal. Dengan proses ini, perempuan diintegrasikan kembali sebagai bagian dari dunia ciptaan laki-laki. Yang menarik, keberadaan tokoh ustadz/kyai/ tokoh agama laki-laki ini merupakan permintaan dari Departemen Penerangan agar penonton film horor Indonesia tidak tersesat kepada kepercayaan terhadap tahayul. Dalam film horor, chaos (perempuan) dikembalikan kepada order oleh laki-laki atas permintaan negara. Dengan demikian, campur tangan negara dalam menjinakkan perempuan terlihat dalam film horor . Fenomena ini menampakkan sebuah gejala yang lebih dalam yang muncul di masyarakat kita, yakni kegalauan gender laki-laki atas meleburnya perbedaan gender dan luruhnya kemapanan gender mereka pelan-pelan. Laki-laki dan maskulinitas sebagai sebuah konsep kini semakin cair, tidak mapan dan semakin goyah. Dan film horor menampakkan ketakutan bawah sadar laki-laki atas krisis maskulinitas yang kini tengah melandanya.

GOVERNING An Introduction T0 Political Science

GOVERNING
An Introduction
To Political Science
Fourth Edition
Austin Ranney
Review By :
SULHARDI
0706185736

political psychology socialization, and culture

Politik Behaviour
Salah satu pemikiran pokok dari pelopor pendekatan perilaku adalah bahwa tingkah laku politik lebih menjadi fokus dari pada lembaga-lembaga politik atau kekuasaan. Secara umum, konsep-konsep pokok kaum behavioralis dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tingkah laku politik memperlihatkan keteraturan (regularities) sehingga dapat
digeneralisasikan
2. Generalisasi tadi harus dibuktikan kebenarannya dengan merujuk pada tingkah laku lain yang
relevan.
3. Untuk mengumpulkan dan menafsirkan data
diperlukan teknis penelitian yang cermat, jika perlu dengan menggunakan pengukuran atau
teknik-teknik kuantitatif.
4. Peneliti hendaknya tidak memberikan nilai-nilai atau penafsiran pribadi dalam membuat
analisis politik (value-free).
5. Penelitian politik bersifat terbuka terhadap pengaruh disiplin lain.

PSIKOLOGI DAN POLITIK
Psikologi adalah ilmu sifat, dimana fungsi- fungsi dan phenomena pikiran manusia dipelajari. Setiap tindak- tanduk dan aktifitas masyarakat dipengaruhi oleh akal individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum. Maka sampai saat itu pula, ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan Psikologi.
Jika tindak- tinduk politik bisa diketahui dengan sepantasnya, maka akarnya terdapat dalam psikologi dalam pelaksanaan untuk menemukan hasil yang jelas. Para pakar politik sampai saat itu juga mencoba untuk mempelajari tindak- tanduk politik dalam istilah ilmu psikologi.
Para tokoh terkemuka yang melaksanakan hal diatas adalah: Bagehot, Graham Wallas, MacDougall, Durkheim, Leo Bon, Harold Lassevell, dan George Catlin. Menurut pengamatan Barker: penggunaan psikologis menunjukkan teka- teki dari aktifitas manusia dimana telah menjadi kebiasaan sekarang. Jika gagasan nenek moyang kita bersifat ilmu hayat atau biologis, maka kita berpikir secara ilmu jiwa.
Para sarjana yang berpikir secara ilmu jiwa menyatakan bahwa negara dan lembaga politik lainnya merupakan produksi dari pada pemikiran manusia. Jadi lembaga politik dan system diberbagai negara akan sukses dengan iringan keselarasan mental masyarakat didalam negara. ‘’Pemerintahan yang stabil akan menjadi sangat terkenal.’’Menurut Garner: musti tergambar dan ditekan dari ideal mental serta moral sentiment dari mereka, dimana merupakan tombak dalam kekuasaan, singkatnya, semua itu musti terdapat dalam keselarasan dengan mental konstitusi dari bangsa.
Psikologi mengajarkan kita tentang sifat dasar manusia dan ini tidaklah sama disegala penjuru dunia, setiap komunitas memiliki mental dandanan sendiri. Setiap komunitas memiliki kegeniusan dan keistimewaan pandangan terhadap kehidupan. Beberapa komunitas mempunyai kesadaran yang tinggi untuk membangun politik yang baik, dimana sebagian masyarakat sebaliknya. Alasan inilah yang menjawab kenapa tipe keistimewaan dari lembaga politik bisa berjalan sukses dibeberapa negara dan gagal pula terjadi disebagian negara.

FAKTOR PSIKOLOGI PEMBENTUKAN PERILAKU PEMILIH
Untuk melihat lebih jauh perilaku pemilih, formula psikolog Kurt Lewin tentang “peta kognitif” dapat digunakan sebagai penjelas bagaimana warga mengelola pendapat-pendapat mereka dan menentukan pilihan politiknya. Terdapat beragam variasi peta kognitif pada tiap individu, namun kesemuanya memiliki tiga elemen utama, yaitu persepsi mengenai A dan B misalnya. Lalu diurut serta dimaknai dan diberikan penilaian (konseptualisasi), sehingga seseorang memutuskan sikap politiknya (afeksi) terhadap pilihan A atau B.
Di dalam peta kognitif inilah, pertikaian “kekuasaan citra” sebelum bergerak ke kekuasaan politik dilakukan oleh kandidat, menggunakan political marketing dengan –kemungkinan besar–setumpuk polesan di dalamnya, memanfaatkan kriteria tidak rasional (non rational evaluation criteria), yang memang mendominasi peta kognitif pemilih yang belum melek politik. Apa yang merupakan input dan output, atau antara apa yang merupakan kejadian politik dan persepsi kita terhadapnya, adalah dua hal yang saling berkaitan secara langsung. Karena itu, mengandalkan pada apa yang terasa, lebih daripada apa yang terdengar, merupakan sebuah ekspresi irasional dan bahkan bisa disebut primitif.
Kedua, teori romantik yang menyatakan, ketika sebuah realitas politik tercipta, terdapat sebuah inner voice yang tidak mampu dijelaskan hanya oleh sebuah model hubungan input dan output saja.

Pengaruh Kelompok Terhadap Perilaku Pemilih
Analisis perilaku pemilih lain yang dapat digunakan yaitu sosiologis,. Pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Pendekatan sosiologis dilandasi oleh pemikiran bahwa determinan pemilih dalam respon politiknya adalah status sosio-ekonomi, afiliasi religius. Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga, dan pertemanan yang dialami oleh agen pemilih secara historis.
Pengelompokan sosial seperti umur (tua muda), jenis kelamin (laki-perempuan) agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk pengelompokkan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi-organisasi profesi, dan sebagainya, maupun kelompok-kelompok informal seperti keluarga, pertemuan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya. Merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai peranan yang besar dalam menentukan sikap, persepsi dan orientasi seseorang.
Pertimbangan lain yang perlu diperhatikan adalah pendekatan psikologis. Pendekatan ini pada dasarnya melihat sosialisasi sebagai determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih, bukan karakteristik sosiologis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian seseorang yang menjadi variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. karena itu, pendekatan psikologi menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap kandidat. Kedua pendekatan tersebut menempatkan pemilih pada ruang yang kosong. Pemilih ibarat wayang yang tidak mempunyai kehendak yang bebas. Kedua pendekatan tersebut melihat bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika berada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan sebelum kampanye dimulai. Karena itu tidak cukup menjelaskan perilaku politik dengan hanya menggunakan kedua pendekatan tersebut, tetapi juga dibutuhkan pendekatan rasional. Pada akhirnya, siapa yang terpilih nanti akan sangat ditentukan sejauhmana kemampuan figur mencitrakan diri dan merekatkan diri dengan konstituen melalui berbagai wadah yang ada.

SOSIALISASI POLITIK
Dalam perspektif sosiologi politik, sosialisasi tidak hanya sekedar mencari dukungan publik tetapi merupakan sebuah proses dimana seorang individu dapat mengenali sistem politik, kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya politiknya serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik mencakup pengenalan tentang lingkungan kultural, lingkungan politik, dan lingkungan sosial masyarakat individu bersangkutan, juga mempelajari sikap-sikap politik serta penilaiannya terhadap politik . Pengertian tersebut memberikan makna bahwa pembelajaran politik kepada publik dilakukan agar mereka mengenal sistem politik yang sedang berlangsung. Dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah, sosialisasi bertujuan meningkatkan kualitas pemilih, maka pendidikan politik masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang dilakukan oleh berbagai macam agens, seperti keluarga, saudara, teman bermain, sekolah (mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi), lingkungan pekerjaan, dan tentu saja media massa, seperti radio, TV, surat kabar, majalah, dan juga internet. Proses sosialisasi atau pendidikan politik Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan masyarakat madani (civil society). Yaitu suatu masyarakat yang mandiri, yang mampu mengisi ruang public sehingga mampu membatasi kekuasaan negara yang berlebihan. Pertama, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang demokrasi dan hak-hak warga negara. Kedua, memperkenalkan parpol sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan. Ketiga, memperkenalkan lembaga-lembaga negara baik yang ada di tingkat pusat maupun daerah. Keempat, untuk memudahkan masyarakat dalam memahami materi demokrasi digunakan metode learning by doing, yakni peserta diajak berdialog tentang apa saja yang dapat melatih keterampilan berdiskusi seperti pertemuan di tingkat kelurahan, dimana setiap peserta rapat belajar untuk mendengar dan mengemukakan pendapat, menghargai pendapat orang lain dan tidak memaksakan kehendak. Metode learning by doing merupakan metode alternatif yang dapat memudahkan masyarakat memahami kehidupan berdemokrasi. Kelima, mengupayakan forum diskusi antara para calon terpilih di setiap daerah pemilihan dengan masyarakat setempat, bukannya kegiatan yang diatasnamakan kunjungan kerja, dimana di dalamnya menyisihkan ruang dan waktu untuk memengaruhi masyarakat untuk mendukungnya pada pilkada ke depan. Melalui forum diskusi, masyarakat diharapkan dapat menyampaikan kepentingan, kemudian calon terpilih nantinya dapat menyerap aspirasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat lokal.

Sosialisasi dan Budaya Politik
Demokratisasi dan budaya politik demokratis hanya bisa diciptakan setelah melalui proses sosialisasi politik. Proses ini mewariskan berbagai nilai politik dari satu generasi ke generasi berikutnya, lewat berbagai agen, seperti keluarga, teman sepergaulan, sekolah/perguruan tinggi, dan media massa yang menghasilkan individu mandiri. Walau demikian, demokratisasi yang kuat dan meluas serta perwujudan sistem politik yang demokratis dan stabil, tidak akan pernah muncul, bila budaya politik kita masih didominasi oleh pola hubungan yang bersifat hirarkis, patronage serta gejala neo-patrimonialisme.

Budaya Politik : Tema dan Variasinya
BUDAYA politik biasanya berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) perseorangan, yang merupakan dasar semua tingkah laku politik masyarakat. Sementara sistem nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat merupakan komponen penting bagi pembentukannya yang merupakan refleksi terhadap orientasi, sikap dan perilaku politik masyarakat dalam merespons setiap objek dan proses politik yang sedang berjalan.
Para ilmuwan politik yang sangat berperanan dalam mengembangkan teori kebudayaan politik, seperti Gabriel Almond, Sidney Verba dan Lucian W.Pye, hampir setengah abad yang lampau telah merintis sebuah riset tentang keterkaitan antara budaya dan politik. Mereka menyatakan bahwa setiap proses politik senantiasa terjadi dalam lingkup budaya. Artinya, dalam jangka waktu tertentu akan selalu terjadi proses dialektika antara kehidupan politik di satu pihak dengan sistem nilai budaya masyarakat di pihak lain.
Budaya politik sendiri merupakan cerminan sikap khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem politik itu. Oleh karena itu, ia tidak lain dari orientasi psikologis terhadap objek sosial -- dalam hal ini sistem politik -- yang kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif (pemahaman dan keyakinan), afektif (ikatan emosional/perasaan) dan evaluatif (penilaian).
Budaya politik juga merupakan rangkaian kepercayaan, kebiasaan dan perilaku yang berkaitan dengan kehidupan politik. Ia pada hakikatnya merupakan lingkungan psikologis tempat kegiatan-kegiatan politik berlangsung yang memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima sejumlah milai dan norma lainnya.
Dalam derajat yang tertinggi, budaya politik umumnya akan dapat membentuk aspirasi, obsesi, preferensi dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang diakibatkan oleh perubahan politik. Dengan sikap dan orientasi seperti itu, disertai dengan adanya determinan nilai-nilai keunggulan lokal (local genius) maka akan dapat dijumpai berbagai tipe budaya politik lokal yang berbeda-beda di berbagai daerah.

Tipologi Budaya Politik
Mengacu pada terminologi Almond dan Verba, maka dalam kehidupan masyarakat dapat dijumpai setidaknya tiga tipe budaya politik, yaitu masyarakat dengan budaya parokial, kawula, dan partisipan. Di dalam sebuah masyarakat di mana sikap dan orientasi politiknya sangat didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif maka akan membentuk budaya politik yang parokial. Masyarakat sama sekali tidak menyadari untuk apa mereka melakukan kegiatan politik. Kesadaran kognitif politiknya terbatas pada pengetahuan bahwa kekuasaan politik memang ada dalam masyarakat, dan keikutsertaannya lebih banyak karena mobilisasi, solidaritas atau ikut-ikutan.
Dalam sebuah masyarakat yang mempunyai kecenderungan sikap dan orientasi politik dengan karakteristik yang bersifat efektif, maka akan membentuk budaya politik yang bersifat kaula. Masyarakatnya cenderung bersifat nrimo karena merasa tak mampu mengubah sistem politik, sehingga tiada jalan lain baginya kecuali patuh, setia dan mengikuti segala instruksi serta anjuran pemimpin politiknya.
Sementara masyarakat yang sangat dominan memiliki kompetensi politik yang tinggi, di mana warga masyarakat mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang sedang berjalan, akan membentuk sebuah budaya politik yang partisipan. Masyarakat sudah mulai melibatkan diri secara intensif dalam berbagai kegiatan politik. Mereka bisa merupakan anggota aktif ormas atau parpol, atau anggota masyarakat biasa yang dapat menilai dengan penuh kesadaran baik sistem politik sebagai totalitas, masukan atau keluaran kebijakan pemerintah, maupun posisi dirinya sendiri dalam berpolitik.

Perbedaan Budaya Politik Antar Bangsa
Dalam studi yang dilakukan oleh Almond dan Verba ditemukan bahwa negara-negara yang mempunyai budaya politik yang sudah matang akan menopang demokrasi yang stabil. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki derajat budaya politik yang belum matang tidak mendukung terwujudnya demokrasi yang stabil. Kematangan budaya politik tersebut ditunjukkan dengan peluang yang diberikan oleh negara kepada masyarakat untuk mandiri, sehingga memiliki tingkat kompetensi yang tinggi.
Adapun hal hal yang berpengaruh dalam budaya politik suatu bangsa adalah sebagai berikut :
Identifikasi terhadap Bangsa
Banyak ilmuwan politik yakin bahwa stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh tingkat loyalitas warganya terhadap bangsanya melebihi loyalitasnya terhadap kelas, daerah, suku atau agama di negara tersebut.

Trust di dalam Masyarakat
Saling percaya di antara anggota masyarakat dalam suatu bangsa adalah sebuah komponen penting. Ukuran sederhananya adalah ketika seseorang dalam suatu bangsa ditanyakan setuju atau tidak setuju dengan pernyataan : “Kebanyakan orang dapat dipercaya” dalam masyarakatnya. Jika mayoritasnya tidak setuju hal ini menyatakan bahwa dalam bangsa tersebut kurang memiliki trust diantara mereka.
Kepercayaan terhadap Institusi
Ketaatan kepada hukum tidak dapat dipaksakan dengan kekerasan oleh suatu pemerintahan. Kepercayaan terhadap otoritaslah yang dapat membuat masyarakat mematuhi hukum. Pemerintah membuat dan melaksanakan keputusannya dengan prosedur sebagaimana mestinya dan keputusan tersebut mempengaruhi berbagai hal tentang pemerintahan dan seharusnya tidak melanggar hak-hak swasta dan pribadi.

Kemanjuran Politik (Political Efficacy)
Warga negara percaya bahwa mereka dapat mempengaruhi kerja pemerintah atau pemerintah mengambil opini warga negara ke dalam pertanggungjawaban pembuatan keputusan.
Hasil penelitian Gabriel Almond dan Sidney Verba terhadap lima negara, menghasilkan prosentase keyakinan warga negara yang menyatakan mereka dapat melakukan sesuatu terhadap regulasi lokal yang tidak fair. Amerika Serikat dan Inggris lebih tinggi dibandingkan Jerman Barat, Italia dan Meksiko.

Kewajiban Warga Negara untuk Berpartisipasi
Setiap pemerintahan baik yang demokratis maupun tidak menginginkan warga negaranya untuk berpartisipasi dalam aktifitas politik walaupun sedikit.
Seberapa banyak dan bagaimana warga Negara berpartisipasi di negara demokrasi barat banyak dipengaruhi oleh kewajiban moral.
Almond-Verba mengajukan pertanyaan “ Bagian apa yang anda pikir orang biasa seharusnya terlibat dalam urusan lokal di kota atau distrik yang bersangkutan ?” Amerika Serikat lagi-lagi tinggi prosentasenya 51% menurut mereka orang biasa harus terlibat aktif (pertemuan-pertemuan, bergabung dalam suatu organisasi, terlibat dalam masalah-masalah komunitas,dll), 27% harus tertarik (mendapatkan informasi dan memilih). Sementara di Italia, Jerman Barat dan Meksiko lebih rendah keterlibatannya.
Budaya politik suatu bangsa menyajikan lingkungan psikologi secara umum dimana sistem politik tersebut bekerja. Tekanan opini publik pada isu-isu tertentu dari hari kehari makin mempengaruhi pemerintah.

PENGARUH AGAMA TERHADAP BUDAYA POLITIK
Agama dalam kehidupan politik adalah topik yang selalu menarik untuk dipelajari. Perdebatan terus berkembang di kalangan ideolog (partai) politik, tokoh agama, dan para pemilih yang memiliki latar belakang agama tetentu. Nilai-nilai agama hadir yang selalu dalam kehidupan privat dan publik tersebut dalam anyak hal dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Agama tampaknya terus ianggap penting dalam kontestasi politik. Pertama, bagi kalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas dasar kesamaan dasar teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Penggunaan asas Islam atau Partai yang didirikan atau didukung oleh kelompok-kelompok Islam tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Timur Tengah juga berlangsung konstestasi politik di mana adakalanya didominasi oleh partai-partai yang berasaskan agama. Partai yang menggunakan asas agama (Islam) Nampak terus berkembang di Asia. Apakah trend adanya partai politik yang memiliki pendukung atau berazaskan agama hanya ada di negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim seperti Indonesia? Fenomena ini ternyata tidak hanya berlangsung di kalangan negara-negara dengan mayoritas muslim. Di beberapa negara Barat yang telah lama menganut dan mengembangkan demokrasi juga nampak mengalami fenomena serupa. Agama tampak masih dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik. Hanya saja yang membedakan dengan negara-negara yang sistem demokrasinya baru berkembang, di negara-negara barat (terutama Amerika), faktor agama hadir dalam kehidupan publik dalam beberapa turunan isu publik dan kebijakan.
Dalam literatur perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu, atau partai yang diidentikkan dengan agama tertentu. Di Amerika Serikat pada awalawal tahun 1930-an sampai dengan 1980-an mayoritas pengikut Katolik Roma dan Yahudi biasanya mendukung partai Demokrat, sedangkan mayoritas pengikut Protestan mendukung partai Republik. Tetapi kaitan antara agama dengan perilaku pemilih ini bersifat fluktuatif dan tidak konstan dari satu waktu ke waktu lain. Di Amerika sendiri misalnya, kecenderungan politik berdasarkan agama seperti ini sepertinya di tahun 1980-an hingga sekarang.
Di Indonesia, faktor agama juga banyak dikaji oleh pengamat dan peneliti perilaku politik. Alasannya, agama masih dipandang penting oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Masih banyak masyarakat yang menjadi pemeluk agama yang taat. Fokus yang banyak diteliti adalah apakah pemilih dengan latar belakang agama tertentu cenderung memilih partai atau kandidat dengan agama yang sama dengan dirinya. Pemilih Islam, misalnya apakah cenderung memilih partai atau kandidat yang berlatar belakang Islam dibandingkan agama lain. Studi yang dilakukan oleh Liddle dan Mujani menghasilkan temuan hubungan antara agama dengan perilaku memilih memang positif, dalam arti menjadi seorang Muslim cenderung untuk memilih partai Islam dan sebaliknya menjadi seorang non-Muslim cenderung memilih partai non Islam. Tetapi hubungan agama dan perilaku pemilih lemah. Faktor agama belum menjadi penjelas penting dalam perilaku pemilih seseorang.