Sabtu, 20 Desember 2008

IKLAN POLITIK & REALITAS SOSIOKULTURAL "sultan Koq Dadah-Dadah


Garin Nugroho (Pembuat Film)
(Gaya) Sultan kita buat seperti di lapangan Ikada, berjalan seperti Soekarno naik panggung. Sultan melambai-lambaikan tangannya. Eh rupanya saya diprotes. Mas Garin, Sultan iki sing ojo mboten-mboten to. Kok malah mlaku dadah-dadah ya, mbok diitung mas Garin, antara orang yang suka Sultan jalan dadah-dadah dengan orang yang sok intelektual.

M.Qodari (Peneliti Opini Publik)
Untuk mendapat dukungan masyarakat di Indonesia, jauh berbeda dengan mendapat dukungan masyarakat di Yogya. Kalau di Yogya ada yang ribut, Sultan tinggal angkat tangan, semua langsung diam. Sedangkan kalau di Jakarta… sudah dikirim pasukan, masih saja susah diatur. Jadi kalau misalnya Sultan naik (jadi presiden), bagaimana ia mengatasi persoalan?

Sri Nuryanti (Anggota Komisi Pemilihan Umum)
Dulu dalam riset AC Nielsen dikatakan bahwa rating sinetron Bajaj Bajuri melebihi sinetronnya Raam Punjabi. Kenapa? Karena Bajaj Bajuri menggambarkan realitas masyarakat sehari-hari. Berkaitan dengan itu menurut hitung-hitungan politik, mohon maaf… bila Mat Solar (pemeran Bajuri) mencalonkan diri, bisa-bisa dia terpilih karena rakyatnya merasa dekat dengan dia…

Iklan politik muncul pertama kali di televisi tahun 1952. Sejak kemunculannya, iklan politik selalu mengundang perdebatan, terkait etika dan hukum. Iklan politik Lyndon B Johnson tahun 1964, terkenal disebut “Bunga Daisy”. Dalam spot iklan ditayangkan seorang gadis cilik tengah memetik bunga aster (daisy) saat sebuah bom atom meledak dengan jamur api mahadahsyat membumbung tinggi. Iklan politik itu dimaksudkan untuk menyebarkan ketakutan rakyat Amerika Serikat mengenai kecenderungan Barry Goldwater, lawan politik Johnson, untuk memulai sebuah perang nuklir dengan Uni Soviet.
“Bunga Daisy” hanya ditayangkan sekali pada 7 September 1964 di televisi CBS sebab Goldwater mengancam menggugat Johnson dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Meski dicabut, iklan itu berulang-ulang ditayangkan dalam pemberitaan setelah kontroversi menjadi perdebatan publik. Iklan politik selalu menarik perhatian publik AS selama 14 kali pemilihan presiden, meski diperlukan uang luar biasa besar. Iklan politik tidaklah sekadar janji dan daya pikat, tetapi mengandung tawaran program, panduan publik, serta menumbuhkan ketulusan dan kepercayaan. Iklan politik adalah strategi image, pendidikan kewarganegaraan, dan strategi politik.
Lain “Bunga Daisy” lain pula iklan politik 8 tokoh PKS. Iklan politik yang memunculkan wacana kepahlawanan Soeharto ini, adalah bagian dari strategi PKS menyedot perhatian publik. Dengan dana minimum berharap hasil maksimum. Hanya ditayangkan tiga hari, namun memperoleh publikasi yang luar biasa. Kalau menyebut Soeharto ada dua kemungkinan, disebut atau tidak disebut. Kalau disebut, itu seperti PKS 8 tokoh. Permainan langsung gambling besar. Tapi semua sector dipuji. Tapi kalau tidak disebut, semua orang akan bingung. Pendukungnya Soeharto juga akan bingung, ini mendukung atau tidak. PKS sekarang politiknya jago. Misalnya mengumpulkan tokoh-tokoh. Seperti partai terbuka dengan dapur yang tetap menjadi karakter PKS. Tapi ruang tamunya boleh terbuka. Dan ini adalah politik yang patut dipuji.
Ketika Garin mendapat pendidikan kampanye politik oleh penasehat Carter sampai Clinton. Disebutkan ada sebuah tanda yang disimbolkan Nelson Mandela sedang bersalaman dengan orang kulit putih. “Kamu tahu dulu symbol ini seperti apa,” tanya sang penasehat kampanye Demokrat itu. Rupanya, dulu simbolnya adalah kepalan tangan yang mengacung. Setelah dianalisa, simbol itu lalu diubah yang lebih merangkul orang kulit putih.
Ternyata di balik symbol tadi, terdapat peta politik yang sangat kompleks. Pertama, seluruh dana keuangan di Afrika Selatan dikuasi orang kulit putih. Selain itu birokrasi 70% dan juga senjata 80% masih di tangan orang kulit putih. Kalau simbolnya kepalan tangan, Mandela mungkin sebentar saja jadi pahlawan. Banyak orang kulit putih mati, uang dilarikan dari negara tersebut. Dan dampak politiknya akan sangat luar biasa.
Ketika pulang ke tanah air, melalui Visi Anak Bangsa (VAB) Garin membuat Iklan Layanan Masyarakat (ILM) Pemilu 1999 yang cukup populer dengan tagline “Inga-inga.” ILM termasuk kategori iklan nonkomersial yang merupakan bagian dari kampanye social marketing yang bertujuan “menjual” gagasan atau ide untuk kepentingan atau pelayanan masyarakat. Sebuah ILM tak semata-mata harus menampilkan unsur informasi. Pertama, harus memiliki aspek perilaku, yakni berusaha mengajak masyarakat ikut Pemilu dengan baik dan benar secara damai. Kedua, mengandung unsur perubahan sosial. Ketiga, bisa memberikan proses edukasi kepada masyarakat.
Lima tahun kemudian, Pemilu 2004, adalah Pemilu dalam karakter industri kampanye. Yakni, suatu pemilihan langsung yang salah satu pegas utamanya digerakkan teknologi industri budaya populer, khususnya lewat televisi multikanal. Maka, seluruh unsur personal calon presiden, baik kemampuan oral maupun bahasa tubuh, akan dihadapkan dengan kemampuan daya hidupnya dalam industri budaya populer. Contoh, kemampuan berbicara efektif untuk dicuplik di program berita televisi atau dalam kemasan iklan, talkshow, maupun pereristiwa yang diliput televisi.
Era budaya popular lewat televisi ini melahirkan karakteristik khusus, yakni, bahwa hiburan popular, ideologi, ekonomi, politik dan kerja institusi sosial serta negara, secara alamiah dan fungsional bekerja membaur dan saling menghidupi di layar televisi. "Politik adalah show business," kata Neil Postman, seorang pedagog dan kritikus media. Politik adalah bisnis pertunjukan! Guy Debord, dalam The Society of the Spectacle, menyebut masyarakat mutakhir, "masyarakat tontonan". Dalam "masyarakat tontonan", citra, kesan, dan penampilan luar adalah segalanya. Ia perlu dikemas agar memikat masyarakat. Ingat, politik citra adalah politik kemasan!
Saluran budaya pop menjadi sarana komunikasi antara elite politik dan massa. Budaya pop, politik, dan komunikasi politik mengalami konvergensi (bertemu) satu sama lain. Misalnya, kampanye politik sudah lumrah melibatkan artis pop, musik pop/dangdut, dan program televisi dipenuhi dengan politisi "artis" pop. Politisi yang "serius" pun (seperti tentara dan kyai!) harus berhadapan dengan sorotan yang terus-menerus dari media pop atas kinerja pribadi dan politiknya.
Gejala ini bukanlah baru. Dalam Politics and Popular Culture, Street (1997) melukiskan genre politik ini sebagai "soal penampilan" (a matter of performance). Politik memiliki kaitan yang erat dengan budaya pop. Permainan di depan pemirsa televisi menjadi bentuk seni pertunjukan. Menurut Street, politik sebagai budaya pop adalah menciptakan khalayak. Orang yang akan tertawa dengan lelucon, memahami kecemasan, dan berbagi harapan dengan politisi, baik media pop maupun politisi menciptakan karya fiksi pop yang menggambarkan dunia impian rakyat.
Tak dapat dimungkiri, tiap tanda itu tumbuh dari kultur sebuah bangsa atau masyarakat. Tak berlebihan kiranya, meski banyak orang belajar di Amerika Serikat atau Eropa, namun jika membuat iklan untuk Indonesia, lupakanlah teori orang AS, lupakan TV AS. Garin telah membuktikan bahwa iklan yang membumi, atau representasi dari sosialkultural masyarakat setempat, akan mudah diterima.
Ketika Megawati dikritik banyak pihak sebagai feodal, kurang pintar dan lain-lain, dengan tegas Garin mengatakan Megawati akan menang (dalam Pemilu 1999). Dari mana? Culture studies, menunjukkan bahwa pada masa transisi, perempuan lebih dipilih ketimbang laki-laki. Pada orang desa, ketika ibu pergi, laki-laki lebih memilih perempuan untuk menjaga rumah. Tapi ia hanya hidup di masa transisi.
Dalam dua seri artikel opini Kompas bertajuk “Megawati Opera Sabun I dan II” (Mei 2002) Garin mencoba memprediksi penokohan Megawati di tengah drama politik Indonesia. Yakni, lewat salah satu kajian cultural studies yang mulai populer, mencoba membandingkan drama politik dan citra tokoh politik seperti layaknya dramaturgi dan penokohan opera sabun. Mengingat opera sabun adalah bukan wilayah hampa, kepopulerannya merefleksikan psikologi komunal masyarakat terhadap inpian model-model kepahlawanan, konflik, ketertindasan hingga harapan.
Citra Megawati – setelah dikalahkan Abdurrahman Wahid di parlemen - yang lemah dan tertindas serta mengedepankan tertib hukum alias damai adalah model tokoh dalam Opera Sabun, yang menjadikannya populer. Namun, ketika Megawati menggantikan kedudukan Gus Dur menjadi presiden, Garin melihat sosok Megawati sebagai politikus yang tidak langsung memotong dan membongkar. Ia cenderung hati-hati, dan kompromi terhadap konflik.
Enam bulan sebelum kampanye Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pemilu 2004, Garin datang ke rumahnya di Cikeas. Ia ditanya, kira-kira akan menang atau tidak? Garin yakin SBY akan menang. Karena secara culture studies, tokoh-tokoh lawan politik lainnya sedang menurun. Itu bukan soal karena ia sedang disingkirkan oleh Taufik Kemas.
Kini Garin, bersama Sukardi Rinakit dan Franky Sahilatua, mendukung Sri Sultan Hamengkubuwpwno X, Raja Jawa dari Yogyakarta. Dalam acara pisowanan ageng atau deklarasi kesediaan maju menjadi presiden 2009, Sultan, dibuat seperti di lapangan Ikada, Sultan jalan seperti Soekarno naik panggung. Ini case budaya kita yang kalau dianalisis dengan ilmu komunikasi, kita bisa tertawa terbahak-bahak dan mengolok-olok diri kita luar biasa.
Rupanya kreasi Garin dan kawan-kawan itu menuai protes. “Mas Garin, Sultan iki sing ojo mboten-mboten toh. Kok malah mlaku lan dadah-dadah, ya mbok diitung mas Garin, antara orang yang suka Sultan jalan dadah-dadah dengan orang yang sok intelektual,” ujar Garin menirukan pemrotes yang umumnya kalangan orang tua Jawa.
Masih seputar iklan yang mengambil sosialkultural masyarakat setempat. Kali ini, iklan di pilkada Sumatera Utara. Gubernur Sumatera Utara keluar menjadi pemenang. Coba kita simak iklan yang dibuat kawan-kawan Garin. Teksnya seperti ini. “Kuntilanak naik motor, yang mbonceng kepalanya gundul, main fisik kau.”
Kalau kita bandingkan dengan iklan Obama sungguh ibarat Jaka Sembung naik ojek alias “Nggak nyambung Jek!” Kita mengetahui karakter masyarakat Sumut dan juga calon gubernur yang gemar berolok-olok. Menang dengan olok-olok seperti itu sungguh hanya terjadi di Sumut khususnya atau Indonesia umumnya.

New Tribal Voters
Mari kita lihat bahwa dalam sepuluh tahun ini, komunikasi politik seharusnya belajar, ada peta baru di dalam iklan dan kontrak politik di Indonesia. Dan kita bisa menemukannya. Tapi celakanya, kita selalu mengambil model dari luar dan menerapkannya begitu saja. Dan komunikasi politik dalam sepuluh tahun terakhir ini harus memiliki laboraturium politik untuk mengkaji itu semua.
Ketika pada 1998 VAB akan membuat iklan, Garin melakukan riset, atas bantuan USAID, ke beberapa provinsi. Apa yang dinamakan partisipasi pemilih itu kompleksitasnya sangat tinggi. Tampaknya, kita mengalami apa yang disebut the new tribal, suku-suku baru. Menurut politik aliran, wilayah rural dan urban hampir 60% terjadi perubahan ini. Perubahan tidak hanya menyangkut wujud, tapi gaya hidup, ruang publik berubah. Agriculture dan industri berubah.
Karena itu, ketika Taufik Kiemas (suami Megawati) bertanya, bagaimana cara “memotong” SBY, di tengah berubahnya karakteristik pemilih. Garin menjawab, sangat sulit. Karena kita tidak punya pengalaman politik untuk memotong suara-suara independen, di mana apabila politik aliran dan politik kesetiaan mengalami perubahan yang dahsyat sekali. Kita mengalami quantum leap yang cepat sekali.
Lompatan karakter pemilih Indonesia yang bernama politik aliran itu cepat sekali.
Para konsultan kampanye, harus mendapatkan peta baru keindonesiaan dalam perilaku-perilaku ini. Misalkan, wilayah ibu-ibu, sangat komplek sekali. Bagaimana ibu-ibu di desa sudah sangat berbeda dibanding 1998, misalnya. Karena itu, di tengah neo tribal, kalau kita tidak melakukan pemetaan yang betul-betul detail dan kompleks, kita akan ketinggalan. Ketika di Tanah Abang, VAB bikin iklan Pak Bendot, dengan iklan bendera itu. Iklan itu merupakan hasil riset di 29 provinsi. Mereka ditanya apa pengertian demokrasi, untuk masyarakat menengah ke bawah.
Apa jawaban mereka? Bukan yang berpendidikan. Mereka menjawab, demokrasi adalah demonstrasi. Mengapa begitu jawabannya? Rupanya mesyarakat melihat dan menilai mahasiswa yang demonstrasi ya identik dengan demokrasi. Ini hanya satu kasus saja, mengakibatkan sebuah lompatan yang sangat luar biasa.
Tanpa memahami peta baru keIndonesiaan, pembuat iklan akan mendapat masalah terutama dalam proses kratifnya. Program diterjemahkan dalam proses kreatif, itu tidak mudah. Dengan peta buta hasilnya hanya artificial. Misalnya soal iklan yang mengandung multikultur. Cara gampangnya, kreator lalu mencari anak punk dan orang Cina berbicara. Saya pilih partai X, atau saya dukung calon Y. Padahal iklan adalah transformasi yang di dalamnya ada banyak faktor. Iklan adalah buah dari akar-akar. Tapi di iklan-iklan kita buahnya ya akar itu. Akarnya ya akar itu. Padahal mengubah akar mengubahnya luar biasa sekali. Masalah gaya, bahasa tubuh.

Kebangsaan dan Keberagaman
Menjelang pemilu 2009 iklan politik kian marak. Ada yang memperkenalkan partai, ada juga yang memperkenalkan tokoh partai, bahkan orang yang bukan siapa-siapa mengaku calon pemimpin bangsa. Layaknya iklan sabun cuci ada yang menyatakan pilihlah saya atau partai kami. Mereka jeli memanfaatkan momen tertentu seperti hari kebangkitan nasional, kemerdekaan sampai lebaran dan Natal.
Para konsultan politik dan pembuat iklan politik kini kebanjiran order. Dalam era bisnis saat ini partai atau capres adalah raja yang harus dilayani. Tetapi tidak bagi Garin. Pasalnya, meski hampir semua partai memilihnya untuk mengam-panyekan partainya dalam Pemilu 2009. Namun, Garin hanya memilih yang punya prinsip.
“Tahun ini, adalah tahun degradasi kebangsaan dan keberagaman. Saya menawarkan di teve, bahwa saya akan mendukung calon yang punya komitmen pada kebangsaan dan keberagaman, tanpa bayar,” kata Garin di layar kaca sebuah televisi. Karena komitmen Sultan mendukung pluralisme dan kebersamaan, maka kini Garin berada di barisan Sultan.
Kita bisa meng-assest pada setiap pemimpin dilihat dari sejarah dan karirnya terhadap nilai itu. Sayangnya di Indonesia tidak ada pemimpin yang dari bawah. Kaderisasinya di partai politik payah. Kalau Anda seorang kandidat dan tidak mau mengunjungi daerah miskin padat penduduk. Anda akan dikritik banyak orang. Pertanyaan mendasar, ngapain datang ke wilayah kecil, miskin, tak ada suaranya. Itu dari sisi pemenangan suara. Tapi dari sisi pendidikan politik, kalau kita punya komitmen, maka kita datang. Karena setiap suara adalah warga negara. Setiap konsultan politik akan mengalami paradoks, tentang kemenangan dan apa yang ingin diraih sebuah bangsa.
Iklan pemilu harus dikerjakan dengan serius. Semua harus melalui hasil riset. Ditemukannya demokrasi dan rasa tidak aman, adalah hasil riset, bahkan sampai mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan berbagai ahli. Dan ternyata tujuan pemilu kala itu adalah lima hal. Multikultur, anti kekerasan, demokrasi, bukan sebuah ketakutan, dan publik di ruang umum. Lalu semua dijabarkan. Multikultur kan bukan hanya Cina dan Jawa. Ada ruang publik yang bisa dimanfaatkan bersama.
Kini, semua proses politik hanya instrumental. Hanya bicara soal teknis, tidak ada filsafatnya. Pemilu harusnya bagaimana mendeskripsikan Pancasila dan falsafahnya.
Kalau kita lihat politik SBY saat ini, tampaknya dia tidak pernah menyentuh nilai-nilai yang terlalu sensitive, misalnya ujian negara (UN) bagi siswa SMP/SMA, itu tidak akan pernah dia sentuh. Pada wilayah-wilayah sensitive agama, dia letakkan kepada orang lain. Semua diletakkan pada orang-orang yang harus bertempur semuanya. SBY adalah jenius pada perencanaan, defensive tapi bagus.
Kalau kita lihat enam bulan belakangan ini. Keputusan-keputusan penting adalah memberikan kompensasi pada wilayah tiang-tiang politik, ekonomi, dan massa. Tentu dilakukan dengan sangat lembut dan terbatas. Siapa yang gajinya paling tinggi, tentu menteri keuangannya. Keputusan 20% (APBN untuk pendidikan) boleh diputuskan tapi peraturan pemerintahnya belum. Wilayah lama ditinggalkan tanpa meninggalkan konflik dan wilayah baru ditata dengan keseimbangan lagi. Seorang pesaing yang baik, harus tahu benar kejeniusan orang, kita belajar sekaligus melihat aspek-aspek, kejeniusan adalah lompatan tapi tidak sempurna. (Tri Agus Susanto Siswomiharjo)

Latar Belakang Sosiokultural
Iklan politik yang dibuat dan akan ditayangkan di media-media Indonesia tidak bisa serta merta mengadopsi pakem-pakem sebuah iklan politik dalam terminologi memperbandingkan (comparisons) atau memperlawankan (contrasting) sambil melakukan serangan (attacking) kepada lawan-lawan politik karena dirasakan tidak ‘terlalu’ etis secara sosial budaya.
Iklan politik yang dibuat untuk konteks konstituen Indonesia harus selalu memerhatikan faktor sosial budaya. Karena salah satu budaya Indonesia adalah paternalistik, maka jika seorang kandidat jabatan publik pada saat berkampanye melakukan perbandingan program dengan apa yang telah dilakukan pemerintah Orde Baru (ini hanya ilustrasi sebuah contoh saja) sambil menuding-nuding semua kesalahan Soeharto (kendati pun klaim-klaim itu benar), tetap saja si kandidat itu bisa dianggap sebagai orang yang tidak punya unggah-ungguh (sopan-santun) kepada orang tua.
Oleh karena itu, dengan alasan budaya sopan santun dan menghormati orang yang berusia lebih tua itu pula, Soeharto—yang kala itu menjadi penjabat Presiden RI menggantikan Presiden Soekarno menyusul penolakan MPRS atas pidato pertangggungjawaban Presiden Soekarno yang berjudul “Nawaksara,” pada tanggal 12 Maret 1967—tidak pernah secara tegas menguraikan apa saja kesalahan-kesalahan Soekarno. Namun Soeharto, seperti diuraikan dalam buku: “Soeharto: Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya,” justru melakukan apa yang diistilahkannya sebagai: “mikul dhuwur mendhem jero” (memikul tinggi-tinggi dan mengubur dalam-dalam).[i]
Dengan mengambil analogi di atas, berdasarkan latar belakang sosial budaya masyarakat Indonesia, kandidat yang beriklan tak akan dapat dengan leluasa melakukan pembeberan segala kelemahan lawan politik—dengan teknik comparisons dan contrasting—tanpa konsekuensi mendapatkan ‘tendangan balik’ dari khalayak konstituen yang berbalik tidak simpati kepada kandidat itu.
Mencermati buah pikiran Garin Nugroho, paling tidak terdapat beberapa faktor sosial budaya yang wajib diperhitungkan ketika kita akan membuat tayangan iklan politik di media-media Indonesia. Faktor-faktor itu adalah:
Perempuan Akan Dipilih di Masa Krisis. Saat Indonesia menderita krisis—menurut Garin Nugroho—seperti hampir dalam semua sejarah di dunia—kandidat perempuan akan memenangi kontestasi. Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor sosiologis perdesaan, di mana jika desa sedang gagal panen, dan para bapak pergi mencari nafkah ke luar desa maka yang akan memegang tulang punggung perekonomian adalah ibu atau perempuan.


Gaya Berbahasa. Dalam berinteraksi sehari hari kita lebih banyak mengguna-kan bahasa tubuh (70 persen). Namun bahasa lisan juga memainkan peranan penting dalam membentuk pencitraan seorang tokoh atau kandidat. Mungkin fakta ini jarang dilihat. Ketika kandidat mengontraskan dirinya dengan posisi lawan dengan mengatakan ‘Inilah Tokoh Demokrasi’—Garin Nugroho yakin kandidat tersebut tidak akan menang. Mengapa? Dengan menyatakan diri sebagai lawan diametral terhadap posisi pesaing—dengan kata lain menggu-nakan ‘bahasa oposisi’—berarti telah keluar dari pakem budaya Indonesia. Karena sebagian orang Indonesia tidak suka istilah oposisi.

Ketokohan Patut Diperhitungkan. Garin Nugroho memberi “nasehat” kepada SBY perihal kasus Soeharto. Diperlukan sikap “diam” yang panjang jika ada pihak yang menanyakan sikapnya tentang Soeharto. SBY tidak perlu jadi pahlawan dengan berpolemik tentang penanganan kasus Soeharto. Jika SBY ingin menang dalam pemilu 2009, maka pertanyaan tentang Soeharto tidak perlu dijawab atau ditanggapi. Jika SBY membela Soeharto maka ia akan kehilangan suara dari golongan yang anti Soeharto. Tetapi kalau SBY setuju Soeharto diadili ataupun dikriminalkan maka ia akan kehilangan dukungan dari pihak pendukung Soeharto.

Berdebat Bukan Budaya Asli Indonesia. Budaya berdebat dalam pemilu di Indonesia dengan tujuan untuk memamerkan kepandaian bukanlah terambil dari khazanah budaya Indonesia. Garin Nugroho yakin bahwa perdebatan yang ditayangkan di media TV tidak akan berdampak psikologis luar biasa kepada khalayak pemilih dalam menentukan pilihannya. Untuk konteks Indonesia, kepandaian “bersilat lidah” dari seorang calon pemimpin tidaklah signifikan menentukan kemenangan dalam kontestasi. Pemimpin yang bertipe “mengalah” justeru biasanya akan menang.

Memperolok Diri Sendiri. Alih-alih membesarkan diri dengan mengatakan kita lebih hebat dari pihak lawan justru simpati akan mengalir jika kandidat berani mengolok-olok diri. Jurus memperolok diri justru ampuh membuat orang lain memilih kandidat yang bersangkutan. Gaya komunikasi memperolok diri cenderung membangkitkan impresi kepada pemilih bahwa kandidat seperti itu adalah rendah hati dan memiliki kecerdasan emosional tinggi. Namun dalam literatur Barat, tak satu pun tesis yang menganjurkan untuk ‘mengecilkan’ diri sendiri dalam rangka mendapatkan simpati pemilih.

Khazanah budaya Indonesia sangat kompleks. Menzalimi orang lain akan membuat sang penzalim sangat cepat menuai petaka yang berakibat turunnya pamor dan tumbangnya sang penzalim. Namun jika yang ‘dizalimi’ adalah diri sendiri dengan jalan mengolok-olok diri maka hasilnya akan sungguh dahsyat. Simpati dan suara publik akan mengalir kepada kandidat yang melakukan praktik mengolok-olok diri.

Postur dan Laku Tokoh. Postur dan tindak tanduk seorang kandidat dapat membuat perbedaan dalam benak pemilih. Sebagai contoh, Sultan Jogjakarta sebagai Raja Jawa tidak elok berjalan cepat. Ketika Garin Nugroho ‘menyetel’ gaya berjalan Sultan dengan gaya jalan bergegas seperti Obama, maka orang-orang (Jawa) di wilayah Jogjakarta dan sekitarnya melakukan protes karena Raja Jawa tidak boleh berjalan cepat seperti itu.

Contoh lain di Jogja, ketika Sultan akan naik panggung lalu diatur supaya ia melambaikan tangan kepada rakyatnya. Ternyata orang-orang tua di sana tidak bersetuju alias protes bahwa Raja Jogja tidak boleh melambai-lambaikan tangan seperti itu. Raja tidak boleh berjalan tergopoh-gopoh. Gaya Sultan berjalan harus seirama dengan ritme musik gamelan.

(Topan Redda Hasanuddin)