PAGI itu selasa 16 desember 2008 saya mendapatkan berita sedih. Sungguh sedih sampai saya tak bisa berkata apa-apa. Angin serasa berhenti berhembus, dunia seakan berhenti bergerak. Seorang dosen di Makassar telah meninggal dunia. Bapak Andi Bulaeng MS, telah berpulang ke Rahmatullah. Bulaeng adalah monumen yang paling idealis, dosen komunikasi Unhas yang paling cerdas dalam hal metodologi penelitian komunikasi. Sudah beberapa buku cerdas yang dihasilkannya, sebuah prestasi yang hingga kini tak bisa disamai dosen Komunikasi Unhas manapun, bahkan dosen-dosen muda sekalipun (yang konon katanya adalah yang terbaik dan lolos melalui seleksi ketat).Bagiku, Bulaeng tak ada duanya. Dosen yang paling disiplin dan paling mencintai pengembangan ilmu dan Jurusan Komunikasi di Unhas. Dalam benakku, beliau sering marah-marah, Namun anehnya, beberapa menit setelah marah ia bisa tertawa ngakak, tanpa beban. Beberapa hari setelah dimarahi, saya selalu sadar bahwa Pak Bulaeng melakukannya dalam konteks mendidik. Kadang-kadang, ia memang harus menjewer, tetapi tak sedikitpun tersisa dendam di hatinya. Ia memang menarik garis disiplin dan siapapun tak boleh melanggarnya, termasuk dirinya sendiri.Saat masuk Unhas, ia menjabat sebagai Ketua Jurusan Komunikasi. Ketika menjalani Ospek, ia memperkenalkan dirinya dengan cara unik. “Nama saya Andi Bulaeng. Kalau di Inggris disebut golden, kalau di Bone disebut ulaweng, dan di Makassar disebut Bulaeng.“ Kami semua mahasiswa baru tersenyum sebab bulaeng bermakna emas dalam bahasa Makassar. Ternyata, di balik wajah tegas itu, terselip sense of humor yang tinggi. Dan saat menjalani bina akrab, ia selalu hadir ditemani sejumlah dosen idealis seperti dirinya yaitu Pak Mansyur (alm), Kak Mul, dan Kak Syam.Ia sangat ketat dalam urusan nilai. Pernah sekali saya mendapat nilai C untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi. Saya memprotes dengan lagak sok pintar seperti mahasiswa yang sedang demonstrasi dengan semangat gegap gempita. Pak Bulaeng tetap tenang. Ia bertanya, “Siapa namamu?“ Ia lalu membuka daftar nilai dan menyuruh saya mencari namaku di situ. Terus dia berkata, “Kamu lihat sendiri, berapa kali kamu hadir, berapa tugas yang kamu kumpulkan, terus lihat juga berapa nilai ujianmu. Di situ juga ada hitungan saya secara matematis mengapa kamu dapat nilai C.“ Mendengar kalimatnya dan melihat sendiri nilaiku, saya tak bisa berkata apa-apa. Saya sadar bahwa saya sedang berhadapan dengan seorang dosen yang disiplin dan memberikan nilai dengan kalkulasi rasional, tidak asal-asalan. Ia punya perhitungan akurat dan tahu persis alasan memberikan nilai. Saya tahu bahwa dia benar dan menyadari ketololanku yang memprotes nilai. Lewat marahnya, dia telah mengajari saya.Yang bikin saya sedih adalah dalam waktu yang tidak lama, dua orang dosen terbaik di Jurusan Komunikasi Unhas meninggal dunia. Baik Pak Bulaeng dan Pak Mansyur adalah dua orang dosen yang lebih dari sekedar dosen. Mereka adalah guru-guru kehidupan yang abadi dengan caranya sendiri-sendiri. Mereka cinta ilmu dan menumbuhkan kedewasaan mahasiswanya. Saya sedih karena saya tidak terlalu yakin jika saat ini ada dosen sekaliber beliau dalam hal kecintaan pada Ilmu dan Jurusan Komunikasi. Saya tidak terlalu yakin kalau semangatnya --yang bikin saya merinding itu-- akan diwariskan kepada banyak dosen komunikasi di Unhas. Barangkali, saya hanya bisa menghitung dengan jari di satu tangan. Itupun saya tak terlalu yakin. Mengapa sih mereka yang baik-baik harus cepat berpulang?Mungkin saya agak terbawa suasana hati. Saya tahu bahwa mahasiswa Komunikasi saat ini tidak mengenal siapa Pak Bulaeng. Mahasiswa Komunikasi saat ini sangat rugi karena tidak bisa melihat keteladanan dari monumen idealis itu. Ia memang sudah lama sakit dan tidak pernah mengajar. Tetapi bukan berarti perhatiannya pada jurusan hilang sama sekali. Beberapa bulan yang lalu, saya ketemu dosen Syamsuddin Azis (Kak Syam). Saya sempat menanyakan kabar Pak Bulaeng. Kak Syam tercenung sesaat kemudian bercerita bahwa Pak Bulang masih sakit parah. Ketika Kak Syam menjenguknya, Pak Bulang tak bisa bicara banyak. Kata Kak Syam, menjelang ia pulang, saat itu Pak Bulaeng sempat memeluknya. Di tengah sesaknya dan himpitan penyakit yang menggerogoti tubuh kurusnya, Pak Bulaeng masih sempat berbisik dengan suara parau, “Syam, saya sedih kalau ingat jurusan. Tolong kau perhatikan jurusanta.“ Ada nada kebanggaan sekaligus keprihatinan ketika mengatakan jurusanta. Seperti saya katakan sebelumnya, Pak Bulaeng adalah monumen paling idealis di Komunikasi Unhas.(*)
Original text http://www.timurangin.blogspot.com/ (Yusran Darmawan)