Rabu, 17 Desember 2008

IKLAN POLITIK SEBAGAI MEDIA PENCITRAAN YANG EFEKTIF ?


Kemenangan SBY-JK pada Pemilu 2004 yang notabene didukung oleh Partai kecil, telah membawa perubahan Budaya Politik baru bagi Indonesia yakni Budaya Politik Populis. Yang mana citra adalah faktor penentu dalam memenangkan Pemilu. Untuk itu banyak politisi beranggapan bahwa Iklan poltik adalah salah satu sarana pencitraaan yang paling efektif untuk menciptakan popularitas di tengah melemahnya mesin partai dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.
Meskipun masih terbilang baru, di Indonesia yakni pertama kali mucul dalam Pemilu1997, Kemudian makin marak pada selanjutnya. Misalnya pada Pemilu 2004 lebih dari 4000 spot iklan politik ditayangkan melalui berbagai stasiun TV. Dan pada jelang Pemilu 2009 ini meskipun sempat diramallkan akan meningkat namun seiring dengan resesi Global yang melanda dunia, maka ada kemungkinan Iklan politik pada jelang 2009 ini tidak semarak pada Pemilu 2004.
Terlepas dari marak atau tidak tidaknya Iklan Politik pada pemilu 2009 ini namun hal yang perlu dicatat adalah jenis Iklan Politik di Indonesia jika dibandingkan dengan Pemilu 2004 adalah makin beragamnya jenis Iklan Politik. Ada yang memposisikan diri sebagai oposan, ada pula yang mempersentasikan keberhasilan keberhasilannya selama memerintah. Hal tersebut merubah wajah Iklan politik di Indonesia yang mana pada tahun 1999 kebanyakan iklan politik berisikan tentang teknis pemilihan, Pemilu 2004 sudah mulai memaparkan visi dan misi, dan slogan-slogan khas, serta akronim-akronim nama dari setiap pasangan calon. Pada pemilu tahun 2009 ini ada trend saling serang pada lawan-lawan politik mulai terlihat dalam iklan politik, meskipun belum terlihat adanya direct attacking, atau penyerangan secara langsung kepada lawan lawan politik.
Namun pertnyaan yang kemudian muncul adalah seberapa efektifkah Iklan politik untuk dapat meraup suara pemilih ? hal ini tentu masih debatable sebab dengan Iklan saja belum tentu dapat mempengaruhi oponi pemilih, karena penictraan tentu juga harus diiringi dengan reputasi yang baik kalau tidak maka yang muncul hanyalah Partai atau kandidat yang populer namun tidak electability. Bagaimanapun ketika kita berbicara mengenai pencitraan pencitraan maka kita akan berhadapan dengan sesuatu yang kompleks . Tidak pernah ada rumus tunggal, tentang bagaimana mencitrakan suatu tokoh atau partai dan bagiamana Tokoh atau Partai tersebut tercitrakan (garin Nugroho) Jika melihat dari efektifitasnya dan efek yang ditimbulkan, maka bisa dibilang hanya iklan gerindra yang bisa dianggap menuai hasil yang cukup siginifikan. Dan yang harus dicatat adalah Iklan gerindra bukanlah Iklan yang dikemas dengan kemasan yang bagus, ini karena yang disasar oleh Gerindra adalah kelas menengah ke bawah, kelas petani, nelayan, pedagang yang senang dengan suasana kelompencapir. Bukan suasana eksotisme seperti yang disenangi oleh kelas menengah atas, hasilnya kayak apa ? memang nanti masih harus dibuktikan lagi pada pemilu 2009.
Pemasangan Iklan politik di media massa banyak memiliki kelemahan dan kekurangan. Selain tidak banyak mengandung unsur pendidikan politik bagi masyarakat, iklan politik kurang memperhatikan fungsi iklan dalam setiap kegiatan politik. akibatnya iklan, poster, lagu dan lain-lain terpasang di mana mana dan relatif (baru) merupakan communication without substance or image over substance bahayanya: suka cita janji besar-besar tanpa detail, membuat semua perasaan bergejolak (seolah olah rakyat sedang menantikan kehadiran messiah) sehingga ekspektasi menjadi melambung jauh begitu tinggi di tengah politik citra, apalagi dengan jarak yang terasa begitu jauh antara janji-janji nan indah dengan kenyataan kerasnya kehidupan rakyat.

Tujuan Iklan Politik
Menrut Brian Mc Nair, Iklan politik, adalah “the purchase and the use of advertising space, paid for commercial rates, in order to transmit political messages to mass audience” (McNair,2003:94). Jika melihat dari tujuan, maka tujuan utama dari iklan politik adalah informatif-persuasif, Periklanan politik menginformasikan kepada pemilih bahwa dengan memilih kandidat atau partai tertentu maka kualitas hidup mereka bisa berubah. Selain itu Iklan politik juga dapat menciptakan persaingan antar peserta Pemilu.
Iklan politik yang bermanfaat adalah ia dapat memberi perangsangan kepada masyarakat agar menjadi konstituen yang cerdas dan mandiri. Maka, untuk itu iklan politik seharusnya bersifat etis.
Nah dari segi etika komunikasi inilah maka seharusnya sebuah Perhatian utama iklan politik adalah memberi pemilih suatu sudut pandang yang disampaikan oleh partai politik atau seorang kandidat. Namun yang sering terjadi selama ini adalah komersialisasi politik tanpa mengindahkan etika politik. Seperti pemanfaatan teknologi untuk memanipulasi diri demi tampilan palsu atau teknik editing (penyuntingan, berupa penambahan atau pengaturan naskah atau pengubahan dan penyusunan kembali suatu adegan untuk menciptakan impresi palsu, dramatisasi visual, penampilan, make-up, warna rambut, kilauan senyum manipulasi teknologis tersebut menghalangi kemampuan informed electorate untuk membuat pilihan rasional.
Belum lagi slogan-slogan tentang demokrasi tentang kebangsaan. Seolah-olah itu adalah menu wajib dalam setiap pesan pada Iklan Politik. Kata-kata mantra seperti itulah yang tidak jelas maknanya bagi masyarakat, membuat tujuan daripada Iklan politik ibarat pepatah makin jauh panggang dari api. Dan pada akhirnya masyarakat sendiri yang dirugikan karena tidak adanya informasi yang jelas kepada siapa suruh akan diberikan, dan yang palling dirugikan adalah si pemasang Iklan itu sendiri sebab mengeluarkan sejumlah uang untuk tujuan yang belum jelas akan tercapai.
Untuk itu Bahasa pesan dalam Iklan politik harus dipikirkan betul, pada segmen mana, media mana, dan juga keterangan apa yang mau disampaikan dalam pesan tersebut. Dan Iklan politik itu harus bisa berkerja pada ranah itu. Jika melihat dalam konteks indonesia, ada keunikan tersendiri di dalam iklan politiknya yang berbeda dengan negara lain yaitu permainan ”Kata” dan itu memang menjadi suatu bagian dari masyarakat dengan tradisi lisan yang kuat. Hal inilah yang jarang diperhatikan oleh para konsultan politik, yang selalu menyamakan kondisi sosio budaya masyarakat ini sama dengan kondisi sosio budaya masyarakat yang ada di amerika ataupun Eropa. Sehingga dalam membuat startegi kampanye acap kali melakukan kekeliruan dalam menerapkan strateginya. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh wakil Presiden H.M. Jusuf Kalla dalam menanggapi kemenangan Barrack Obama pada US Election Bahwa ”kita tidak bisa serta merta mencaplok strategi pemengangan Barrack Obama untuk diterapkan di Indonesia, karena kondisi masyarakat di sini sangat jauh berbeda dengan kondisi Masyarakat di Amerika Serikat”

TYPOLOGI IKLAN POLITIK
Ada tiga cara dalam iklan dalam berkomunikasi yaitu tiga cara menyampaikan pesan secara positif, negatif dan black campaign. Pada tahapan iklan positif biasanya para pemasang iklan menyerukan agar dia dipilih karena sejumlah program dan kepribadian yang electability. Negatif campaign adalah seruan ajakan agar masyarakat memilih kandidat atau Parpol dikarenakan pesaingnya lemah atau buruk. Untuk iklan jenis ini dapat kita lihat pada Iklan Hanura yang mengkritik pemerintah karena menaikkan Harga BBM padahal sebelumnya telah berjanji untuk tidak menaikkan harga BBM. Dan Kemudian black campaign adalah iklan politik yang bersifat fitnah, dalam artian apa-apa yang disampaikan tidak berdasarkan pada kebenaran yang nyata, atau juga pembohongan Publik yakni melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukan namun demikian kebutuhan beriklan hal tersebut dilakukan, seperti Iklan salah seorang menyatakan dirinya sebagai kandidat presiden demi kebutuhan Iklan yang rela melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukannya. Mengunjungi daerah-daerah terpencil, berpelukan dengan masyarakat-masyarakat di sana.
Iklan poltik selayaknya fokus pada suatu isu, terdapat time frame diikuti degan track record. Dan jelas posisinya apakah attacking atau contracting. Mengingat fungsu Iklan adalah sarana untuk menyampaikan subtasni. Dan Iklan harus diiringi dengan tindaklan konkrit di lapangan.
Iklan yang baik adalah berbasiskan data yang otentik dan bisa dipertanggung jawabkan. misalnya kemiskinan meluas maka harus disertakan dengan data. Meskipun dalam penggunaan data terutama untuk konteks Indonesia, cenderung masih debabtable, tergantung versi mana yang digunakan. Misalnya kategori kemiskinan menggunakan kategori standar internasional (world Bank) yakni mereka yang dikatakan miskin adalah mereka yang berpendapatan 2 dolar ke bawah dalam sehari, sementara versi BPS mereka yang miskin adalah mereka yang berpendatapatan di bawah setengah dolar per hari, maka tentu ini akan menimbulkan perbedaaan yang sangat signifikan antara kriteria world bank dan kriteria BPS. Meskipun demikian perdebatan ini tidak menarik bagi mereka yang hidu di bawah garis kemiskinan, mereka sama sekali tidak pernah mempermasalahkan a apakah kemiskinan bertambah di indonesia atau tidak, asalkan mereka tidak bertambah miskin itu sudah bagus.
Dalam iklan harus ada accoutability yang mana masyarakat harus benar-benar merasakan apakah aspirasinya terwakili oleh partai atau kandidat yang beriklan. Untuk mengetahui apakah iklan tersebut accountibility atau tidak ini hanya dapat ditentukan pada saat masyarakat memberikan suaranya di bilik suara nanti. Akuntabilitas bisa dibangun melalui janji-jani konkrit yang bisa dijewantahkan dalam kerja nyata. Untuk itu setiap Patpol dan kandidat haruslah berhati hati dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya sebab hal tersebut bisa menjadi bumerang apalagi janji ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.
Bagaimana pun, jika tujuan kampanye adalah untuk membentuk pemilih yang berpengetahuan, maka kampanye harus berlandaskan kebenaran. Sebagian besar konsultan politik mungkin benar ketika mereka memandang iklan negatif sebagai format sah bagi informasi yang ditujukan kepada pemilih, suatu cara pemberian informasi kepada publik tentang posisi atau karakter dari pesaing.
Melalui Iklan negatif para pemilih akan mendapat informasi yang baik dan solid sebagai dasar pengambilan keputusan. Iklan seperti itu juga lebih efektif, iklan negatif yang berfokus pada isu-isu akan lebih efektif daripada yang berfokus pada serangan terhadap individu [citra].
Iklan politik melalui TV masih dianggap penting sebab melihat dari segi efektifitasnya yang dapat menjangkau sebagian besar pemilih dalam waktu singkat. Bayangkan jika setiap kandidat yang tidak beriklan dan harus melakukan pemasaran politik secara langsung ke masyarakat maka bisa berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menemui satu persatu pemilih. Atau dengan memanfaatkan tim sukses maka bisa saja pesan yang disampaikan akan tereduksi karena sudah melalui banyak tahapan.. Dan dengan beriklan melalui TV pesan-pesan yang disampaikan dapat secara langsung disampaikan ke masyarakat tanpa harus takut tereduksi atau memakan waktu yang lebih banyak. Namun demikian, melalui Iklan saja tentu itu bukan jaminan akan terpilihnya seorang kandidat. Bagaimanapun menemui langsung pemilih di lapangan masih merupakan suatu hal yang penting, apalagi di tengah anomali masyarakat yang tidak begitu percaya lagi denganj partai atau politisi, maka dengan menemui mereka langsung di lapangan paling tidak bisa sedikit membangkitkan kepercayaan masyarakat terhadap kandidat ataupun parpol.


MENGUKUR KEBERHASILAN PENCITRAAN DALAM IKLAN POLITIK
Pemikiran dan penilaian rasional tentang iklan merupakan komponen dasar dari seorang manusia yang kemungkinan besar dapat mempengaruhi komponen berikutnya (Sumartono, 2002, p.66 dalam Ponang Lipmad wirawan). Iklan (politik) bukan hanya sekedar alat jualan, untuk memasarkan kandidat atau partai tertentu agar dapat dipilih oleh masyarakat, tetapi merupakan proses untuk membentuk persepsi. Karena itu iklan seyogyanya dapat menjaring perhatian banyak orang untuk menaruh perhatian lewat gambar, warna, maupun ukuran dan unsur-unsur lainnya, sehingga masing-masing orang mempunyai pandangan terhadap iklan tersebut. Tentunya orang yang melihat iklan tersebut dapat menginterpretasikan iklan tersebut sesuai dengan pandangan mereka. Pandangan tersebut adalah persepsi. Faktor persepsi berperan penting, dimana inti dari komunikasi adalah untuk membentuk persepsi seseorang, dengan cara mencuri perhatian.
Untuk imengetahui apakah iklan tersebut telah dapat mempengaruhi persepsi seseorang maka dibutuhkan suatu assesment, berkaitan dengan efektifitas pencitraan dalam iklan politik, scara sederhana, untuk mengetahui sebuah iklan politik tersebut berhasil baik atau tidak, ada dua ukuran yang seringkali digunakan untuk mengukur keberhasilan iklan yakni advertising recall dan message recall. Advertising recall berbicara tentang iklannya sendiri yang diingat dengan baik oleh target audiencenya sehingga ketika proses pengambilan keputusan berada pada information search, tanpa stimuli tertentu iklan ini muncul di benak Voters dan mendorong Voters untuk memilih kandidat atau parpol tertentu dalam beriklan. Sedangkan message recall mengukur tentang ditangkap atau tidaknya pesan yang dibawa oleh iklan.
Kedua tolak ukur di atas mengarah pada dua hal yakni ad-likability, yakni tingkat kesukaan pada iklan dan product likability, yakni tingkat kesukaan pada produknya sendiri jika dikaitkan dengan iklan politik kesukaan pada kandidat atau partai dan isu yang dibawakan. Dua likability ini akhirnya bermuara pada preferensi dan buying intention. Dengan demikian perlormance iklan tidak cukup kalau hanya mendapatkan ad-likability dan tidak bisa mendapatkan product likability.
Untuk itu hal yang paling menentukan dalam keberhasilan Iklan politik, selain estetika yang bagus adalah isi dari pesan apa yang mau disampaikan. Secara umum pesan dalam Iklan politik haruslah bisa menjelaskan mengapa seorang kandidat atau partai Politik layak dipilih, dan mengapa pemilih harus memilih yang ini bukan yang itu. Kedengarannya memang cukup sederhana, namun pada saat implementasi di lapangan akan banyak terjadi kerumitan.
Mengingat dalam keseharian para pemilih banyak dibombardir oleh ragam informasi, mulai dari berita di TV, Radio, koram dan media lainnya, informasi dalam kelompok sosial di mana pemilih berada, dan juga pesan dari lawan politik lainnya. ;perang informasi inilah yang perlu disikapi secara lebih arif oleh sang pembuat pesan. Untuk itu ada beberapa kriteria pesan yang efektif dalam beriklan yakni :
pesan harus strike to the point, pemilih tidak lagi memerlukan ceramah tentang persatuan, tentang demokrasi, karena itu tidak langsung menyentuh pemilih terutama di indonesia, yang dibutuhkan oleh pemilih adalah bagaiamana ia bisa mendapatkan kebutuhan fisiknya, dalam hal ini pekerjaan, pendidikan yang baik baru kemudian hal hal lainnya. Berikut ini adalah piagram kebutuhan menurut Abraham Maslow yang dapat dijadikan oleh pembuat pesan dalam menyusun pesan politiknya agar bisa lebih menyentuh ke masyarakat :
Untuk konteks Indonesia yang mana sebahagian besar masyarakatnya belum dapat memenuhi hajat hidupnya yang mendasar dan penuh ketidak pastian dalam hal masa depan, maka pesan yang disampaikan dalam janji-janji kampanyeseyogyanya menyentuh hal-hal yang condong pada dua hal yakni pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan dan papan, kemudian kebutuhan keamanan dalam hal ini mencakup pekerjaan, pendidikan, jaminan sosial dan sebagainya.


BAGAIMANA PENCITRAAN DALAM IKLAN POLITIK BERKERJA
citra adalah gambaran manusia mengenai sesuatu, atau jika mengacu pada Lippman citra adalah persepsi akan sesuatu yang ada di benak seseorang dan citra tersebut tidak selamanya sesuai dengan realitas sesungguhnya. Di sinilah yang menjadi kelebihan sekaligus menjadi kekurangan daripada iklan politik dalam hall pencitraan. Melalui iklan politik kita bisa jadi melakukan editing, dengan memberi sedikit pewarnaan, yang berkulit hiitam nampak lebih bcerah, yang berwajah preman bisa menjadi semanis permen. Namun bahanya jika teknik editing ini digunakan secara berlebihan maka yang terjadi adalah deception atau pembohongan publik. Inilah yang harus betul-betul diperhatikan oleh para pekerja politik yang masih tetap setia pada sistem nilai.
Essensi daripada iklan politik adalah penyampaian pesan dengan memanfaatkan ruang komersil yang mana penggunaannya seorang penyampai pesan harus membayar dengan sejumlah uang. Atau singkatnya Iklan politik adalah penyampaian pesan melalui media massa.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa media massa memiliki kedigdayaan yang tinggi dalam mencitrakan atau tercitrakannya seorang kandidat atau tokoh politik ? yang pertama yang harus dicatat adalah, realitas yang disampaikan oleh media adalah realitas tangan kedua, dalam artian apa yang ditampilkan oleh media sudah melewati tahapan seleksi, atau gate keeping. Sehingga kesalahan-kesalahan sekecil apapun bisa disingkirkan, berbeda halnya jika kampanye dilakukan secara langsung di lapangan, kita tidak dapat mengkoreksi kesalahan yang kita lakukan karena memang tidak ada kesempatan untuk itu. Misalnya pada suatu kejadian kampanye Politik melalui Rapat umum pada suatu PILKADA di salah satu kabupaten, di sana calon Bupati berkoar-koar mengenai janji politiknya, sampai pada janjinya untuk menciptakan lapangan kerja dengan penuh percaya diri sang calon Bupati menyampaikan pesan ”karena daerah ini adalah wilayah pegunungan dan terdapat banyak tanaman kapas, maka untuk itu, saya akan membangun pabrik ”Tektil” (yang dimaksud adalah tekstil), mendengar kesalahan ucap tersebut sang konsultan buru buru membisikkan ” Pak Kurang ”S” disela begitu sang kandidat terdiam sebentar lalu berkata ”oh iyah maaf, saya juga akan membangun pabrik Es”
Nah dari sepenggal cerita di atas, dapatlah kita mengetahui bahwa kelebihan daripada Iklan politik adalah kesalahan-kesalahan bisa direduksi, tapi tentu hal tersebut tidak berlaku pada acara siaran langsung.
Nah kembali ke masalah pencitraan melalui media massa, pencitraan melalui media selalu dianggap efektif dalam membentuk citra, karena sebagian besar masyarakat di indonesia tidak memiliki akses kepada informasi, dalam hal ini mengecek hal-hal yang ditayangkan melalui media massa untuk mengetahui kebenarannya. Dan yang terjadi adalah masyarakat cenderung menerima suatu informasi hanya berdasarkan apa yang diterimanya melalui media massa.
Dan pada akhirnya seseorang tercitrakan hanya berdasarkan pada realitas kedua. Televsisi menyajikan Iklan seseorang kandidat presiden yang menyatakan mewakili pedagang tradisional, dengan narasi dan gambar yang begitu meyakinkan, dan masyarakat akan percaya begitu saja. Mereka tidak pernah tahu, apakah benar selama ini kandidat tersebut pernah belanja di pasar tradisional atau tidak, atau iklan kandidat yang selalu menghargai orang-orang yang berprestasi sementara di sisi lain sang kandidat tersebut sama sekali tidak memiliki reputasi. Dan masyarakat yang sama sekali tidak memiliki media literacy akan menelan mentah mentah pesan-pesan tersebut.
Pencitraan oleh media massa ini tentu akan membeentuk persepsi yang timpang, bias dan tidak cermat. Sehingga tercipatalah apa yang disebut sterotip, aatau gambaran singkat tentang Individu, masyarakat,. Kelompok, profesi yang tidak berubah ubah, klise dan seringkali tidak benar dan bersifat timpang. Jadi memang pada dasarnya, pencitraan seseorang bisa terbentuk melalui media massa, karena media massa sebagai realitas kedua, selalu menampilkan sesuatu secara selektif, dan menampilkan sesuatu dengan tidak sebenarnya.


IKLAN POLITIK BUKAN SATU-SATUNYA JALAN BAGI PENCITRAAN
Kathleen Hall Jamieson, Dean of the Annenberg School for Communication at the University of Pennsylvania dan Director of the Annenberg Public Policy Center (Crawford 2004:2) berpendapat bahwa iklan politik sekarang merupakan ‘the major means by which candidates for the presidency communicate their messages to voters’. Maka tak heran apabila kemudian Indonesia yang sedang Para kandidat atau partai politik mengalokasikan 70 % anggaran kampanyenyaa untuk paid media coverage. Dengan begitu diharapkan popularitas bisa mencuat secara instant, dan pilihan rakyat akan tertuju padanya. Namun yang menjadi masalah adalah bentuk Iklan politik di Indonesia lebih banyak berupa parade wajah, dan Hantu. Liat saja bagaimana Megawati soekarno Putri dalam setiap Iklan Politiknya selalu menampilkan mendiang mantan presiden Soekarno, sebagai latar. Hal ini mungkin bisa saja menjadi daya tarik tersendiri namun sebenarnya itu adalah salah satu bentuk dari politik. Dan lebih yang disayangkan adalah rata-rata para kandidat yang beriklan tidak menyampaikan sesuatu yang konkrit, melainkan janji –janji kosong atau slogan slogan tanpa makna. Inilah yang disebut sebagai communication without substance.
Beriklan besar-besaran memang terbukti dapat mendongkrak popularitas secara instant. Namun, bermodalkan popularitas saja tidak mejamin electability. Pemilih di Indonesia sudah jenuh dengan janji – janji dan slogan slogan kosong. Bagi pemilih, hal yang lebih penting adalah kerja nyata, bukan nampang, citra, apalagi sekadar nama tenar. Iklan politik, seperti apapun kemasannya, hanyalah salah satu upaya memperkenalkan diri kepada publik.
Kebanyakan Para kandidat atau partai yang beriklan menganggap Iklan Politik seperti ramuan Mujarab penjual obat satu obat untuk banyak penyakit, seolah olah dengan beriklan segala penyakit yang berhubungan dengan citra dan popularitas, padahal hal yang mendasar dalam pencitraan politik bahwa pencitraan tidak hanya dapat dilakukan melalui Iklan, namun ada bentuk lain yang bernama political Public relation.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa Iklan politik memiliki banyak kelemahan, sebagai sebuah bentuk daripada komunikasi politik. Karena pesan yang diterima lebih berbentuk semcam propganada penuh bias dan terbatas karena durasi yang singkat daripada iklan tersebut. Iklan politik tidak pernah mau melihat apakah auidence setuju atau tidak setuju dengan pesan yang disampaikan, bagi pemilih yang terrdidik mereka sadar bahwa pesan-pesan yang disampaikan adalah komunikasi lipstik atau komunikasi poleesan. Dengan alasan tersebut, maka bisa dikatakan Iklan politik adalah bentuk komunikasi persuasi yang terbatas. Bahkan kadang Iklan tidak begitu diperhatikan karena sudah dianggap sebagai spam. Dan di sinilah keunggulan daripada political public relation, selain free acsess media, pesan yang disampaikan lebih dapat dipercaya, dan mendapat perhatian publik. Dan durasinya relatif lebih lama daripada Iklan politik itu sendiri.
Selain itu Political public relation sangat berkaitan erat dengan penonjolan yang dilakukan media massa. Karena salah satu fungsi daripada fungsi media massa adalah memberikan status. Karena sering mendapat media coverage, berupa pemberitaan, atau jadi pembicara pada acara diskusi di TV, maka hal tersebut efek pada naiknya status daripada tokoh atau partai tersebut.
Dalam dunia jurnalisti ada isstilah “name make news”, tapi jika berkaaitan dengan masalah pencitraan maka ada isstilah yang dikenal sebagai “news make name” tokoh yang sering diberitakan oleh media massa akan lebih kredibel di tengah masyarakat di banding mereka yang sering beriklan. Sebagaimana pameo yang diungkap oleh lazarsfeld dan Merton ” Jika anda orang penting, maka anda akan sering diperhatikan media massa; dan jika anda sering diperhatikan media massa maka anda orang yang penting (Jalaluddin Rakhmat Hal. 225).
Meskipun demikian mencitrakan tokoh atau partai melalui Political Public Relation bukanlah sesuatu hal yang mudah. Dibutuhkan kerja kerja nyata dan prestasin tertentu untuk mendapat perhatiaan dari media massa. Selain itu, pesan pesan yang disampaikan tidak sepenuhnya dapat dikontrol. Pada akhirnya Prestasi menentukan Prestise.

Kepustakaan

Chaffee, Steven H., Michael J. Petrick, Using the Mass Media, Communication Problems in American Society, New York: McGraw-Hill, Inc., 1975

Crawford, Darlisa, Television Primary Information Source for Most 2004 Voters,
http://usinfo.state.gov/dhr/Archive/2004/May/21-752499.html

DiClerico, Robert E., Allan S. Hammock (ed), Points of View, Readings in American Government and Politics, Fifth Edition, New York: McGraw-Hill, Inc.,1992
Graber A Dorris , Media Power in Politics, Congressional Quarterly Inc USA 1990
Hall, Jane, Gore Media Coverage – Playing Hardball, http://archives.cjr.org/
00/3/hall.asp, 2000

Janda, Kennet, Jeffrey M. Berry, Jerry Goldman, The Challenge of Democracy, Government in America, Boston: Houghton Mifflin Company, 1987
Jr Denthon Robert E, Political Communication Ethics An Oxymoron ? acknowledgment 2000

Kaid, Lynda Lee, Political Processes and Television, http://www.museum.tv/Archives/
etv/P/htmlP/politicalpro/politicalpro.htm
Kaid, Lynda Lee dan Bacha Christina Holtz, Political Advertising, Sage Publications inc 2006

Malik dedy jamaluddin dan iriantara Yosal Komunikasi Persuasif Rosda Karya bandung 1993
McNair, brian , An Introduction To Political Communication London and New York Routledge 2003
Messaris, Paul, Visual Persuasion The Role of Image in Advertising, Sage Publications Inc 1997
Rakhmat Jalaluddin, Psikolgi Komunikasi Rosda Karya Bandung 1981


Setiyono, Budi, Iklan dan Politik menjadring suara dalam Pemilu Ad Goal Com, Jakarta, Galang Press, Yogyakarta, Buku Kita Jakarta 2008

Lilleker G Darren dan Marshment Lees Jennifer, Political Marketing A comparative perspective, manchester University Press 2005

Wirawan ponang limpard, Artikel Iklan Politik di Indonesia, Antara Popularitas dan Kredibilitas
- Citra dan Iklan yang efektif