Minggu, 14 Desember 2008

Perubahan Paradigma Dalam Kebijakan Media


Menurut Van Cuilenberg dan McQuil (2003), selama beberapa dekade perkembangan ilmu komunikasi, terdapat tiga tahap mengenai kebijakan komunikasi :
Pertama, fase lahirnya kebijakan industri komunikasi (emerging communication industry policy). Mulai sejak abad ke-19 sampai Perang Kedua Kedua. Dalam fase ini tidak ada tujuan kebijakan yang saling bertautan antara perlindungan kebijakan strategis dari pemerintah dan negara dengan sosialisasi pengembangan industri dan ekonomi sistem ekonomi baru. (telepon, kabel, wireless telegrap, radio, dll)
Kedua, pelayanan publik (public service). Diawali dengan pengakuan akan pentingnya membuat peraturan penyiaran. Namun kesadaran terhadap manfaat social bagi politik, social, dan budayanya hanya sebatas berada pada tahap medium saja. Komunikasi dilihat hanya sebatas pada kemampuan teknologi semata.
Ide baru tentang ”communication wellfare” mulai diperkenalkan dan berkembang lebih jauh daripada kebutuhan untuk mengontrol alokasi frekuensi langka. Kebijakan sebenarnya sangat positif dalam mempromosikan tujuan budaya dan sosial sebagaimana juga negatif dalam mengancam kerusakan pada ”lingkungan”.
Pada fase ini untuk pertama kalinya pers mulai masuk dalam kebijakan publik, dalam hal untuk membatasi kekuatan monopoli pemilik dan membangun ”standar” untuk menghadapi tekanan komersial. Fase ini mencapai puncaknya di Eropa pada 1970 dan sejak itu semakin menghilang.
Ketiga, semakin berkembang tren yang sebenarnya sudah lama dibicarakan, yaitu internasionalisasi, digitalisasi, dan kombinasi antar keduanya. Pada periode ini juga ditandai dengan semakin kuatnya inovasi, berkembang dan berkompetisi dalam skala global.
Kabijakan masih eksis, namun dengan paradigma baru dengan mengadopsi tujuan dan nilai yang ada. Kebijakan masih menjadi pandu bagi tujuan politik, sosial, dan ekonomi, akan tetapi sudah diterjemahkan dan dikemas ulang. Tujuan ekonomi lebih didahulukan ketimbang masalah sosial dan politik.
Kunci prinsip : kebijakan komunikasi publik adalah kebebasan, akses dan pelayanan universal, akuntabilitas, kebijakan internal media dengan kontrol luar yang ringan.

Sistem Media dan Sistem Politik
Diskusi tentang kebijakan dan regulasi media kebanyakan berputar pada masalah jaringan kekuatan antara media masa dengan sistem politik nasional. Namun hal ini bukan alasan bahwa media selalu dalam posisi subordinat dari politikus atau pemerintah. Hubungan keduanya seringkali disimbolkan dengan konflik dan kecurigaan.

Gunther and Mugham (2000) mengatakan hubungan antara sistem politik dan media menunjukkan sebuah perbedaan yang sangat besar. Namun demikian, dalam setiap kasus hubungannya terkait dengan struktur, pengelolaan, dan tampilan/kemasan. Walau demikian selalu ada aturan hukum, regulasi, dan kebijakan di setiap negara yang bisa dinegosiasikan dengan sistem politik. Di mana hukum tersebut dapat berupa sebuah jaminan hak dan kebebasan, bahkan sampai pada batasan bagaimana media dapat bergerak di dalam ruang publik.
Di beberapa negara, ada sektor publik dari media (biasanya broadcast) yang menjadi kewenangan khusus dari pemerintah, dan ada beragam cara untuk mengatur wilayah tersebut dari kepentingan politik, walau mereka punya otonomi sendiri.
Pemilik dari media umum biasanya berani untuk mengeluarkan uang dan strategi untuk dapat mempengaruhi pembuatan keputusan. Tak jarang mereka juga memiliki dari ideologi dan ambisi tertentu.
Konten media biasa didominasi oleh masalah politik. Hal tersebut dikarenakan banyak menarik perhatian dan merupakan hal yang baru dan terus berkembang. Bahkan dapat dikatakan bahwa politik tak dapat berjalan tanpa media, sebaliknya media lebih mampu bertahan tanpa adanya politik.