Minggu, 14 Desember 2008

LEPAS DARI BAYANG-BAYANG SBY "Dilema JK, Dilema Golkar (menyoal Positioning Golkar pada Pilpres 2009)


RAPAT PIMPINAN NASIONAL Yang Dilaksanakan 17- 19 oktober adalah momen politik yang “senyap” bagi Golkar sebagai sebuah partai politik. Manuver ekseternal tak juga kuat mempengaruhi partai yang pernah berkuasa selama 32 tahun. Rapat pimpinan Nasional ( rapimnas ) yang diharapkan mampu memutuskan keputusan politik yang dinantikan, teryata tak kunjung melahirkan konsideran kongkrit dari radikalisasi senjumlah pengurus daerah yangmendesak Golkar mesti berani kepentas pertarungan capres dan cawapres.
Golkar lebih memilih menyelesaikan dinamika politiknya dengan senyap sambil melihat keadaan, membaca peluang dan belajar memaknai sebuah keputusan politik secara lebih baik.Trauma masa lalu masih terekam dibenak elit Golkar dalam melihat perjalanan politik yang sedang berlangsung hingga 2009. Golkar belajar dari masa lalu yang pahit, kejatuhan soeharto yang ambruk juga melahirkan desakan pembubaran Golkar, rekonsiliasi yang gagal pasca akbar tanjung, tumbangnya capres/ cawapres pilihan Golkar 2004 adalah pelajaran berharga yang penting.
Elit Golkar juga harus belajar membaca keadaan dengan baik sambil mengkalkulasi kekuatan. Untungnya Golkar memiliki seorang JK yang pernah menjadi pesaing Golkar pemilu 2004. Sang ketua umum tak mau terpengaruh dengan manuver politik PDIP, Jk pernah melihat Golkar dari Jendela luar pada pemilu 2004 dan tampil menjadi pemenang bukan dari mesin politik internal. Sebuah pandangan yang membuat JK mampu melihat dinamika politik secara sehat dan Objektif.
Selain itu, perjalanan panjang bersama Susilo bambang Yudhoyono ( SBY) telah menelan banyak konsekuensi Logis bagi diri ketua umum dan Golkar, "Berbagai kebijakan delimatis selalu menghadirkan JK sebagai tokoh antagonis dan bukan SBY yang terus bersolek dengan citra", hal ini dapat dilihat masalah lumpur lapindo yang menjadi isu nasional wapreslah yang mesti menghadapi gempuran media dan publik, atau tegoklah kebijakan dramatis menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Jk dan golkar kembali mesti pasang badan mengamankan sang presiden yang beberapa hari sebelumnya menyatakan tidak akan menaikan harga BBM.
Kesibukan JK menjadi tameng dari kekuasaan SBY teryata berefek pada struktur kekuasaan politik Golkar yang berada didaerah. Sejumlah lumbung suara partai Golkar berhasil dicuri oleh lawan-lawan politiknya, Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu lumbung golkar dengan menghadirkan ipar sang wapres Mansyur Ramli sebagai kandidat wakil gubernur mesti bertekuk lutut pada Syahrul Yassin Limpo yang Nota Bene kader Golkar namun diusung oleh PDIP.Pilkada Jawa barat merupakan pilpahit yang mesti ditelan Golkar setelah PKS memenangkan pertarungan, sumatra utara, sulawesi tengah dan banyak lagi para kandidat Golkar dipaksa bertekuk lutut oleh kandidat partai lainya.
empat tahun menjadi bumper dari ragam kebijakan tidak populis sang presiden membuat JK mesti mengkalkulasi jika mesti tetap berpasangan dengan bung jenderal.
Dari dinamika politik yang berkembang Golkar membutuhkan langkah taktis yang lebih kongkrit dan relatif aman dalam keputusan politiknya. Desakan sejumlah daerah pada rapimnas bulan oktober adalah sebuah sinyalemen pada garis bawah semangat memerdekakan partai dari ketidak mampuan bersikap SBY yang didukung dengan infrastruktur partai yang lemah seperti demokrat mesti diakhiri.
Tak ada jalan lain, golkar mesti menjalankan penguatan internal partai dengan membangun radikalisasi internal sembari menyiapkan mesin politik partai dengan baik. Langkah Dari, oleh dan untuk Golkar. Sikap ini, tentunya akan melahirkan sentimen ekternal dari berbagai partai politik yang ada. Rekonsiliasi kekuatan politik yang bersatu melawan Golkar, akan terbentuk. Tapi bukankah Golkar adalah partai yang memiliki jejaring politik yang cukup kuat secara nasional disetiap daerah?
Kekalahan beberapa kepala daerah dari Golkar bukan hal yang terlalu berpengaruh bagi golkar sebagai sebuah kekuatan politik. Secara ideologis mereka yang mengalahkan Golkar pada pilkada nota bene juga adalah kader yang dibesarkan oleh Golkar. Kekalahan Golkar di Pilkada Sulsel misalnya lebih disebabkan pecahnya mesin politik yang dimiliki Golkar dan pilihan politik yang tidak dilatar belakangi kesadaran akan dinamika kemasyarakatan dan model pendekatan konstituen.Sebagai catatan dibanyak kabupaten/ kota Golkar tetap mendominasi kemenangan Pemilihan Kepala daerah.
Sikap tidak mengumumkan CAPRES sebelum PEMILU Legislatif adalah jalan tengah terbaik bagi Golkar dalam mengamankan dinasti politiknya. Keragu-raguan JK dalam menyatakan diri akan maju sebagai calon presiden lebih disebabkan dua hal penting yakni menyadari posisi politik Golkar yang ada, dan kedua hambatan politik kultural JK yang non jawa.
Kedua hambatan persoalan politik yang medera JK sebagai representasi dari Golkar dapat disingkap dengan melakukan manuver internal. Memulai langkah rekonsiliasi dari tokoh Golkar dengan mengajak kader-kader terbaik Golkar untuk bersatu membangun kekuatan dan memacu radikalisasi pada tingkatan dewan pimpinan daerah untuk meraub suara besar dalam pemilu legislatif dan memenangkan kader interal Golkar yang diajukan sebagai capres dan cawapres.
Jika mesin politik internal Golkar Solid ditambah keputusan politik dengan memajukan kader-kader terbaik Golkar yang populis secara kultural maupun ideologis, golkar dapat dipastikan masih menjadi penentu penting dari dinamika politik Indonesia 2009.
adalah sikap maju yang membutuhkan keberanian dan sikap politik yang hati-hati. Beragam tawaran untuk kebijakan politik internal bagi capres dan cawapres yang diwacanakan bermunculan, baik melalui mekanisme konvensi internal, survei dan beragam saluran lain dalam merekam aspirasi yang berkembang mesti dipahami hanyalah sebagai sebuah alat dan bukanlah final strategy.
Golkar membutuhkan tingkat soliditas yang tinggi, radikalisasi kader-kader Golkar didaerah adalah cercah harapan untuk menjawab sikap hati-hati elit Golkar. Memajukan kader Internal Golkar yang memiliki tingkat dukungan konstituen kultural maupun ideologis yang besar mesti direkam sebagai sebuah keuntungan tersendiri bagi partai lambang beringin.
saat ini muncul dilema di dalam tubuh partai soal posisi dan kedudukan JK, baik sebagai ketua umum maupun sebagai wapres. Untuk mengakhiri dilema yang berpengaruh pada konsolidasi partai, memang harus ada ketegasan sikap dari JK sendiri. bila JK tetap ingin menduduki jabatan Wapres, dia harus merelakan partai Golkar untuk segera menentukan capres, apakah melalui konvensi atau cara lain. Dengan demikian, pemerintahan tak terganggu dan konsolidasi serta pencarian kader terbaik untuk capres Golkar pun tetap berjalan. “Tapi bila JK sebagai Ketua Umum Golkar mau mencalonkan diri sebagai capres, dia harus menyatakan diri mundur dari jabatan Wapres. Ini konsekuensi dari pilihan itu.

KOALISI ?
Ada pertanyaan yang selalu muncul, seandainya Partai Golkar keluar sebagai partai terbesar Pemilu legislalif, akankah Partai Golkar akan keluar dengan calon Presidennya? Gelagat atau wacana yang selama ini berkembang di tengah masyarakat, Golkar akan mencalonkan SBY dengan JK sebagai Wakil Presiden. Tidak salah, bahkan mungkin sebuah sikap kenegarawanan, oleh karena itulah yang dianggap terbaik bagi bangsa. Sebagai partai terbesar, Partai Golkar dengan demikian telah menunjukkan kenegarawanannya, mengalah pada partai yang lebih kecil, sepanjang bagi kepentingan nasional. Namun yang menjadi masalah kemudian adalah apakah seluruh jajaran Partai Golkar dapat menerima kenyataan seperti itu?.
sehingga resiko akan kaburnya konstituen Partai Golkar yang tidak puas dengan psoisi nomor dua, Bisa saja mereka membelot memilih yang lain. Maka Partai Golkar akan menghadapi masalah yang tidak mudah. Apalagi, kalau pembelotan itu ke arah Partai Demokrat, partainya SBY. Sebab, secara ideologis tidak ada bedanya. Partai Demokrat, bisa saja muncul sebagai partai (ter)-besar baru, sehingga tidak perlu mengandalkan dukungan Partai Golkar.
Dilema yang dihadapi Partai Golkar itu, sudah tentu akan membuka peluang lain. Apalagi, kalau perubahan cukup signifikan. Sebab, untuk mencalonkan Presiden/Wakil Presiden ada ketentuan yang tampaknya harus ada koalisi. Koalisi seperti apa yang akan terjadi? Tiga partai, tampaknya akan berperan besar, yaitu Partai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat. PDIP, tampaknya tertutup koalisi dengan Partai Demokrat. Alternatif yang ada, Partai Demokrat dengan Partai Golkar atau PDIP dengan partai-partai lainnya. Hal ini terlepas, bahwa dinamika internal Partai Golkar bisa saja membentuk koalisi dengan PDIP. Toh, pada akhirnya, hasil Pemilu legislatif nanti memang akan sangat menentukan koalisi yang akan terbentuk. Sebab, secara ideologis, koalisi bisa terjadi antara partai mana saja, sepanjang menjamin kepentingan politik peserta partai anggota koalisi. Apalagi, kalau ada kejutan hasil Pemilu legislatif.
Misalnya, kalau PKS benar akan muncul sebagai partai besar. Atau, Partai Hanura memperoleh suara yang cukup bermakna. Demikian juga Gerindra,. Sesungguhnya, tidak hanya Partai Golkar yang sedang menghadapi masalah yang dilematis. Partai-partai lainnyapun, menghadapi masalah yang sama, yaitu ketidakpastian. Keberanian mencalonkan diri atau tidak mencalonkan diri, bisa menjadi sebagian strategi untuk memenangkan Pemilu legislatif, sebelum melangkah ke pemilihan Presiden. Namun, keberhati-hatian seperti ini, mungkin hanya Partai Golkar yang ada risiko besar. Tetap sebagai partai yang terbesar atau puas sebagai nomor dua

POSITIONING PARTAI GOLKAR MENUJU RI 1
Golkar sudah mengambil ancang-ancang untuk menempatkan kader terbaiknya sebagai Presiden 2009-2014. Ekspektasi yang coba digerakkan secara linear dengan alasan Golkar mayoritas di parlemen. Belajar dari negara-negara demokrasi lainnya, seperti Amerika Serikat, kedudukan mayoritas di parlemen tidak dengan sendirinya harus nomor satu di eksekutif. Apalagi konsolidasi demokrasi tidak hanya bisa diartikan bahwa seluruh elemen yang ingin bertarung merebut kekuasaan harus ikut dalam sistem politik yang disepakati, melainkan juga memberikan ritme dan ruang bagi siapapun yang dipilih untuk menjalankan kekuasaannya.
keinginan sejumlah pihak untuk menyalonkan JK sebagai presiden 2009-2014 layak diapresiasi. Atau siapapun dari Golkar. Ada langkah yang lebih lebar sebetulnya, ketimbang berbicara apakah Golkar akan mendukung pemerintahan hari ini atau tidak. Pilihan strategis Golkar memang harus memajukan calon presiden tahun 2009. Tujuannya untuk mempertahankan soliditas internal dan eksternal, serta menyiapkan kader pimpinan yang benar-benar teruji untuk periode berikutnya, 2014-2019.
Tentu, persoalannya bukan terletak pada kalah dan menang, berkorban atau dikorbankan, tetapi lebih terletak kepada penyediaan lapisan kepemimpinan berikutnya yang sudah teruji dalam kompetisi riil. Kecuali konstitusi diubah, maka Yudhoyono harus mengakhiri kekuasaannya pada tahun 2014, seandainya terpilih lagi tahun 2009. Dan itu artinya ada presiden baru selain Yudhoyono. Letak strategis keputusan Golkar hari ini atau tahun 2009 nanti ada pada tujuan itu. Akankah JK orangnya, atau ada orang lain? Disinilah letak soalnya. Dan itu lagi-lagi terhubung dengan mitos tentang Satrio Piningit yang berkembang di kalangan masyarakat akar rumput di tanah Jawa dan Jawa perantauan. Kepemimpinan Golkar hari ini boleh dikatakan tidak memiliki jenis kepemimpinan yang dibutuhkan akar rumput pemilih mayoritas itu. Kalla, Surya Paloh, dan Aburizal Bakrie, misalnya, terlalu identik dengan pengusaha dan non-Jawa
Golkar tentu sedang menunggu sosok-sosok lain, terutama yang lebih muda, namun kaya pengalaman. Nampaknya, harapan itu bisa saja ditujukan kepada kepala daerah yang dicalonkan oleh Golkar dan terpilih, namun belum layak dipetik sebagai buah perjuangan untuk dimajukan pada 2009 nanti. Kalaupun terdapat nama-nama diluar Golkar, ketokohannya belumlah menyamai Yudhoyono dan Kalla.

KANS JK menuju RI 1 pada 2009
Meski berbagai hasil survey masih menempatkan posisi JK jauh dibawah capres lainnya seperti SBY, Megawati dan Sultan Hamengkubwono X, tapi bukan berarti langkah Ketua Umum untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini akan berat. Jika dilihat dari beberapa aspek maka JK punya keunggulan tersendiri. Yakni merupakan ketua umum sebuah partai yang memiliki basis massa kuat melalui Partai Golkar, dan cukup kuat dari segi pendanaan. Selain itu kebiasaan JK bertandang ke rumah sejumlah mantan Presiden Indonesia dan bersilaturahmi dengan sejumlah kader Partai Golkar di berbagai daerah dan juga melakukan safari lebaran yang merupakan nilai tambah tersendiri bagi JK. Keunggulan lain dari JK dari segi popularitas adalah ia merupakan wakil presiden favorit dengan mengantongi dukungandia atas 20 %. Posisi strategis dan kesibukannya mondar-mandir ke beberapa daerah untuk urusan negara, partai, dan bisnisnya menjadi keungguannya juga. Jasa JK untuk melakukan kaderisasi dalam tubuh Partai Golkar agar politisi dari Partai Golkar memiliki kapabilitas politik, ekonomi, dan teknik, serta kepekaan sosial yang tinggi. Para kader Partai Golkar juga diharapkan memiliki citra yang baik di berbagai daerah, baik yang berkiprah di eksekutif maupun legislatif pusat dan daerah sehingga mau tidak mau ini juga akan turut menarik suara Partai dan secara langsung maupun tidak langsung akan berimbas pada kans nya menuju RI 1.
Kelebihan JK lainnya adalah; Pertama, menjadi patron bagi para menteri kelompok ekonomi dan kesejahteraan sosial, dan mampu mengarahkan (streering) para anggota kabinet di kala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak berada di tempat., memberi pendidikan politik dan ekonomi kepada para kader Golkar dan menjadi juru kampanye Partai Golkar di beberapa daerah yang sedang melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Dan ia memiliki perhatian terhadap masa depan kelompok perusahaannya dan keluarganya.
maka untuk itu dalam rangka memuluskan langkahnya menuju RI 1 tentu Jk harus melakukan sejumlah langkah-langkah taktis, seperti pencitraan dirinya yang hanya dianggap layak menjadi Cawapres bukan sebagai Capres. Untuk itu Jk dan Golkar harus pandai menggandeng sejumlah tokoh untuk menaikkan popularitas sang ketua umum, seperti mamanfaatkan Kemunculan Sri Sultan Hamungkubono dalam pentas politik yang mencalonkan diri sebagai capres mesti diakomodasi oleh dewan pimpinan Golkar. Sri Sultan yang populer secara kultural maupun ideologis mesti dilihat sebagai tawaran bagi kepemimpinan kolektif baru secara kebangsaan. Dikotomi antara tokoh lokal dan nasional mesti segera ditepis oleh Golkar, perjalanan perpolitikan kebangsaan dengan pemilihan langsung dan kebebasan pers telah mendorong keyakinan bahwa tokoh lokal yang populis dengan kemampuan public relation yang baik dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat sebagai alternatif pilihan ditengah kejenuhan pertarungan antar elit partai politik. Duet kultural, perpaduan pemimpin nasional dan daerah, saudagar dan raja adalah sebuah jargon politik alternatif yang penting bagi trand politik indonesia 2009.

HAMBATAN JK MENUJU RI 1
Layakkah JK jadi presiden? Persoalannya lagi-lagi bukan kepada jabatan yang diemban, tetapi pelaksanaan tanggungjawab yang dibebankan kepada jabatan itu. Dari sisi dukungan politik, barangkali JK sulit mendapatkan suara yang cukup. Dengan sistem satu orang, satu suara dan satu nilai, maka jumlah menjadi ukuran, ketimbang kualitas.
Tak salah kalau JK sering mengatakan bukan sebagai orang Jawa atau orang yang di-Jawakan. Tokoh-tokoh berpengaruh di sekitarnya juga bukan orang Jawa. Ia teramat Bugis. Alam Makasar dan mitologi Makasar jelas berbeda dengan alam Indonesia secara keseluruhan. Istrinya juga orang Minang yang secara kultural juga lebih dekat ke Bugis, ketimbang ke Jawa. Sistem kekerabatan, jiwa dagang dan semangat merantau lebih dominan, ketimbang hirarki kekuasaan.
Begitu juga partai yang mendukungnya, Partai Golkar. Sebagai partai moderen yang lintas suku, lintas agama, lintas ideologi, dan lintas pengetahuan, Golkar tidak bisa menggantungkan diri kepada komunitas tertentu, karena Golkar memerlukan semua komunitas. Ketakutan Golkar selama ini adalah berada di luar atau di seberang kekuasaan. Padahal, kalau dilihat dari komposisi orang-orangnya, perjalanannya, dan sejumlah mekanisme pengambilan keputusan yang dilakukan, Golkar sebagai partai dan orang-orang Golkar sebagai individu, jauh lebih memiliki independensi, ketimbang partai lain.
Dari soal ketiadaan sosok-sosok berpengaruh itulah, Golkar berada di persimpangan jalan. JK bisa jadi akan maju, tetapi tidak untuk terpilih, melainkan hanya sebagai pesan kuat, betapa pada 2014, Golkar sudah siap maju sendirian dan menang. Golkar hanya ingin menjaga, agar pengaruh Yudhoyono tidak sampai menjalan kedalam akar umbi Golkar, apalah lagi batang, dahan dan cabang-cabangnya. Posisi seperti ini telah menyebabkan Golkar terus menjadi bayang-bayang kekuasaan Yudhoyono, seperti rimbunnya pohon beringin yang menaungi kepentingannya sendiri.