Indonesia saat ini baru memiliki sekitar 400.000 wiraswasta atau 0,18 persen dari penduduk Indonesia. Padahal, hasil dari suatu penelitian, jumlah wirausaha di suatu negara minimal dua persen untuk dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, upaya menambah jumlah wirausaha harus jadi perhatian serius.
Peningkatan jumlah wirausaha tersebut dapat dimulai dengan memperkuat penanaman dan pelatihan semangat kewirausahaan di lembaga pendidikan ataupun masyarakat (Kompas 2 September 2008).
Para pengusahalah yang terus mau bekerja di tengah kondisi apapun, termasuk dalam kondisi listrik byarpet. Maklum kita tinggal di Dark Republic. Mereka bekerja mungkin tanpa diketahui publik, jarang yang mengikalankan dirinya di televisi atau koran.
Memang ada satu fenomena yang mungkin patut disayangkan. Entah karena terprovokasi politikus atau pengurus parpol, ada sebagian kecil kalangan pengusaha tergoda juga berinvestasi dalam “industri” parpol. Ini tentu tak beda dengan kalangan konglomerat mulai dari era Pak Harto dulu yang oportunis. Motif utama sebenarnya adalah demi keberlangsungan bisnisnya. Padahal kalau meleset perhitungannya, bisnis mereka juga bisa hancur gara-gara politik.
Tidak heran Presiden Jusuf Kalla pada penutupan Musyawarah Nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Munas Hipmi) ke-13 di Bali pada Juli lalu mengingatkan: ”Pengusaha tidak perlu berambisi terjun ke dunia politik. Kalau dalam kondisi seperti ini pengusaha ingin jadi politikus, kita akan kekurangan pengusaha yang baik.”
“syahwat politik” sebagian besar bangsa ini kelewat besar. Maklum negeri ini kan sudah surplus parpol dan politikus. Apapun yang surplus alias berlebihan jelas tidak proporsional. Kondisi ini bisa membuat bangsa ini melupakan jiwa enterpreneurship atau kewirausahaan.Meski demikian sikap apolitik, lalu menyerahkan segala urusan bangsa ini pada para politikus juga sikap yang kurang bijak. Negeri ini masih butuh politikus, tapi politisi yang bisa bekerja sama dengan kalangan lain seperti pengusaha, seniman, budayawan, akademisi, wartawan dan profesi lainnya guna mewujudkan kesejahteraan bersama (bonum commune), yakni kejayaan NKRI. Bukan malah memperkaya diri sendiri dengan mengorup uang negara sehingga yang terjadi justu malum commune atau keburukan bersama.
Peningkatan jumlah wirausaha tersebut dapat dimulai dengan memperkuat penanaman dan pelatihan semangat kewirausahaan di lembaga pendidikan ataupun masyarakat (Kompas 2 September 2008).
Para pengusahalah yang terus mau bekerja di tengah kondisi apapun, termasuk dalam kondisi listrik byarpet. Maklum kita tinggal di Dark Republic. Mereka bekerja mungkin tanpa diketahui publik, jarang yang mengikalankan dirinya di televisi atau koran.
Memang ada satu fenomena yang mungkin patut disayangkan. Entah karena terprovokasi politikus atau pengurus parpol, ada sebagian kecil kalangan pengusaha tergoda juga berinvestasi dalam “industri” parpol. Ini tentu tak beda dengan kalangan konglomerat mulai dari era Pak Harto dulu yang oportunis. Motif utama sebenarnya adalah demi keberlangsungan bisnisnya. Padahal kalau meleset perhitungannya, bisnis mereka juga bisa hancur gara-gara politik.
Tidak heran Presiden Jusuf Kalla pada penutupan Musyawarah Nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Munas Hipmi) ke-13 di Bali pada Juli lalu mengingatkan: ”Pengusaha tidak perlu berambisi terjun ke dunia politik. Kalau dalam kondisi seperti ini pengusaha ingin jadi politikus, kita akan kekurangan pengusaha yang baik.”
“syahwat politik” sebagian besar bangsa ini kelewat besar. Maklum negeri ini kan sudah surplus parpol dan politikus. Apapun yang surplus alias berlebihan jelas tidak proporsional. Kondisi ini bisa membuat bangsa ini melupakan jiwa enterpreneurship atau kewirausahaan.Meski demikian sikap apolitik, lalu menyerahkan segala urusan bangsa ini pada para politikus juga sikap yang kurang bijak. Negeri ini masih butuh politikus, tapi politisi yang bisa bekerja sama dengan kalangan lain seperti pengusaha, seniman, budayawan, akademisi, wartawan dan profesi lainnya guna mewujudkan kesejahteraan bersama (bonum commune), yakni kejayaan NKRI. Bukan malah memperkaya diri sendiri dengan mengorup uang negara sehingga yang terjadi justu malum commune atau keburukan bersama.