Senin, 19 Mei 2008

IKLAN POLITIK VS MONEY POLITIK


indonesia telah berada di era pemilihan langsung yang sangat mengandalkan politik citra dari para kandidat. Pengalaman selama ini menunjukkan dalam arena pertarungan Pilkada ataupun pilpres kalah menangnya seorang kandidat semua bergantung pada pencitraan dirinya di mata publik. Hal serupa dtiunjukkan oleh para kandidat presiden pada Pemilu 2004 yang mana mereka menciptakan budaya politik baru di Indonesia yakni Budaya Politik Populis. Terlihat dari gencarnya iklan politik dari para kandidat di media cetak maupun elektronik. Sehingga jargon-jargon seperti “bersama kita bisa”, menjadi sesuatu yang lazim di tengah masyarakat. Pemasangan Iklan politik di media massa banyak memiliki kelemahan dan kekurangan. Selain tidak banyak mengandung unsur pendidikan politik bagi masyarakat, iklan politik kurang memperhatikan fungsi iklan dalam setiap kegiatan politik. Parahnya lagi Iklan politik kita mengalami consumerisme akibatnya politik citra dalam pemilu 2004 lebih ditentukan oleh (kombinasi, akumulatif): seberapa banyak dana kampanye yang dimiliki & seberapa hebat sebuah tim sukses menyusun pesan-pesan yang emosional yang menjadikannya sebagai selebritas politik (sementara kehebatan mesin-mesin politik/ political machine sudah diprediksi akan tergerus pesona citra individu) akibatnya iklan, poster, lagu dan lain-lain terpasang di mana mana dan relatif (baru) merupakan communication without substance or image over substance mereka lebih merupakan political marketing daripada political communication bahayanya: suka cita janji besar-besar tanpa detail, membuat semua perasaan bergejolak (semua ada, apa pun bisa), ekspektasi menjadi melambung jauh begitu tinggi di tengah politik citra, apalagi dengan jarak yang terasa begitu jauh antara janji-janji nan indah dengan kenyataan kerasnya kehidupan rakyat.
Nah jika dilihat dari segi etika komunikasi maka seharusnya sebuah Perhatian utama iklan politik adalah memberi pemilih suatu sudut pandang yang disampaikan oleh partai politik atau seorang kandidat. Namun yang sering terjadi adalah komersialisasi politik tanpa mengindahkan etika politik. Seperti pemanfaatan teknologi untuk memanipulasi diri demi tampilan palsu atau teknik editing (penyuntingan, berupa penambahan atau pengaturan naskah atau pengubahan dan penyusunan kembali suatu adegan untuk menciptakan impresi palsu, dramatisasi visual, penampilan, make-up, warna rambut, kilauan senyum manipulasi teknologis tersebut menghalangi kemampuan informed electorate untuk membuat pilihan rasional.

Demokrasi sebagai The Market Places of Idea tereduksi oleh adanya komersialisasi politik berwujud iklan. Bagaimana tidak kesempatan untuk mengemukakan gagasan di dominasi oleh mereka yang memiliki dana yang cukup besar, tak heran pada Pemilu 2004 baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden, hanya mereka yang memiliki dana yang cukup besar untuk membeli durasi iklan di Tv yang dapat muncul sesering mungkin, Sementara mereka yang bermodal cekak hanya bisa gigit jari. Jika melihat penjabaran di atas pertanyaan yang kemudian muncul adalah : apa yang membedakan antara money Politik dan Iklan Politik ? tentu yang membedakannya adalah legalitas di bidang hukum, namun pada tingkat esensi Money politik dan Iklan politik sama saja, yakni penyampaian gagasan ditentukan oleh berapa banyak rupiah di dalam tas koper kita. Survei Nielsen Media Research seperti dikutip pada buku Iklan dan Politik (2008) menunjukkan, selama masa kampanye Pemilu 2004, PDI-P dan Partai Golkar paling banyak beriklan. PDI-P mengeluarkan dana Rp 39,25 miliar untuk satu bulan kampanye, sedangkan Partai Golkar membelanjakan Rp 21,75 miliar. belum lagi dana pembuatan iklan belum termasuk iklan di radio, pemasangan baliho, spanduk, poster dan lain lain. Maka bisa kita bayangkan berapa banyak dana yang harus disiapkan oleh kandidat atau parpol demi memenangkan Pemilu. kebutuhan akan biaya iklan politik yang tidak sedikit ini mau tidak mau memaksa bagi setiap parpol maupun kandidat untuk melakukan upaya ekstra keras untuk memenuhi pundi-pundi mereka demi mendapatkan durasi ataupun ruang pada media elektronik maupun cetak. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan mereka melakukan kolusi dengan para cukong. Maka dengan demikian amat sangat sulit bagi parpol maupun kandidat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang selalu didengungkannya pada saat berkampanye, melainkan yang paling utama adalah dia harus membela kepentingan para cukong tersebut.

Pada pemilu 2009 yang tinggal beberapa saat lagi belanja untuk iklan politik diperkirakan akan meningkat dibandingkan dengan belanja iklan politik menjelang Pemilu 2004. Belanja iklan politik ini sudah mulai terlihat dengan munculnya para tokoh untuk memaparkan visi dan misinya, terlepas dari apa pesan yang disampaikannya, namun biaya yang harus dikeluarkannya untuk iklan tersebut tidaklah sedikit . taruhlah dana yang digunakan untuk beriklan tersebut dibelanjakan untuk memperbaiki bangunan sekolah SD, yang kini banyak yang rusak di seluruh Indonesia, dan menewaskan murid-muridnya akibat kejatuhan atap, atau dana tersebut digunakan untuk membeli susu bagi para Balita di Nusa Tenggara Timur maka tak akan ada cerita Balita yang mengalami gizi buruk, atau dana tersebut digunakan untuk memberi bea siswa kepada murid yang tidak mampu maka tak akan ada cerita di mana seorang murid sekolah dasar melakukan bunuh diri karena malu tidak mampu membayar biaya SPP.

Sungguh ironis di tengah kondisi kesulitan ekonomi yang dialami oleh sebagian masyarakat kita, di satu sisi ada pihak yang mengatas namakan pembela rakyat miskin, pengayom rakyat miskin, menggunakan uangnya yang nota bene jika penghasilan seluruh orang miskin selama sebulan di Indonesia dikumpulkan, tak akan mampu menandingi biaya yang dikeluarkan untuk politik pencitraan tersebut, maka rakyat mana yang dibelanya ? Meski beriklan di televisi bukanlah sebuah tindakan kriminal. Apalagi uang yang dibelanjakan adalah dana yang legal, Bahkan bagi kalangan pelaku bisnis media akan menjadi rahmat menggembirakan, namun secara etika hal tersebut sangat sulit dibenarkan.

penulis adalah :
Sekretaris BAPILU Partai Karya Perjuangan
Dan saat ini sedang menempuh pendidikan pasca Sarjana
di Program Magister Komunikasi Politik Universitas Indonesia