.- Reedy-
Apabila kita amati dari dua aspek tersebut, pembangunan nasional dan kebebasan pers, terutama ketika memberi tekanan yang berbeda. Artinya bila kita menganggap bahwa salah satu lebih penting dari pada yang lainnya,sudah barang tentu akan mengundang banyak pertanyaan. Hal tersebut telah lama dipersoalkan tidak saja di Indonesia,akan tetapi juga hampir diseluruh Negara – Negara berkembang, dalam konteks ini, kita menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyelenggaraan suatu kekuasaan Negara, maka merupakan suatu keharusan yang mutlak bahwa persatuan dan kesatuan nasional merupakan suatu prioritas yang harus dipelihara dan dijaga. Bahkan kalau kita lihat di Negara – Negara sedang berkembang,hal ini merupakan salah satu tugas utama,yaitu pada sisi lain meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada sisi lain meningkatkan pertumbuhan kehidupan politik,kedua cirri khas ini didalam mengembang makna yang dalam, yang tidak bisa dipisahkan dari pengertian stabilitas,pembangunan ekonomi dan efesien. Disini sesungguhnya yang sering kita jumpai, bahwa ketiga pengertian tersebut mampu menggeser prinsip – prinsip kebebasan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya sering ada dugaan keras bahwa ciri – ciri kebebasan mempunyai potensi untuk mengganggu stabilitas, bahkan mampu pula mengacaukan kehidupan politik dan tak heran pula bila terpaksa harus mengorbankan makna pentingnya efisiensi dalam pembangunan.
Permasalahan yang kita hadapi sekarang ini tidak sekedar hanya menggambarkan suatu pertentangan antara prinsip – prinsip efisiensi berlawan dengan prinsip kebebasaan semata akan tetapi tidak mustahil bahwa dalam masyarakat tradisional seperangkat nilai – nilai telah menjadi acuan untuk pembenaraan dari para penyelenggara kekuasaan Negara yang nota bene sangat mengagungkan unsur stabilitas, antara stabilitas dan pembangunan ekonomi memang berjalan seiring bahkan saling mendukung pada suatu masa tertentu, namun akan janggal bila unsur stabilitas dijadikan alasan untuk menutup saluran – saluran komunikasi dan tersumbatnya sumber – sumber informasi yang mampu menentukan kadar kebebasaan yang bisa disampaikan kepada masyarakat luas. Dari gambaran seperti ini,kita menyadari bagaimana sesungguhnya posisi pers
Melihat uraian diatas,maka focus yang diamati tidak lain adalah masalah hubungan antara pemerintah dan pers serta posisi masyarakat diantaranya.hubungan itu tidak jarang menimbulkan distorsi karena masing – masing pihak mencoba mempertahankan posisinya terhadap kepentingan umum. Apabila kita menggunakan pendekatan yang dilandasi atas prinsip – prinsip kebebasaan, seperti apa yang diperjuangkan oleh sebagian besar insan pers,maka wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa pada akhirnya beban tanggung jawab politik atas esensi dari arti kepentingan umum itu ternyata harus pula dipikul oleh para penyelenggara pemerintahan Negara. Demikian juga keadaannya sikap para kelompok professional cendikiawan maupun para politisi sendiri disebagian besar Negara – Negara di dunia ini, berlaku dan bertindak yang sama, batasan atas makna kepentingan umum pada dasarnya hanyalah suatu interpretasi atau penentuan dari sudut pandang professional belaka.
Pemberitaan – pemberitaan dalam media
Sikap dan tindakan semacam ini oleh semantara para ahli dipandang sebagai kontribusi pers terhadap setiap pemecahan masalah yang dihadapi oleh pemerintah dimana saja.tindakan semacam ini pada dasarnya adalah merupakan tugas yang sifatnya simbiosis, artinya antara pemerintah dan pers mengemban fungsi saling membutuhkan. Dilihat dari tugas pers untuk bisa meyakinkan pemerintah maka pada dasarnya pekerjaan ini hanya merupakan sebagian dari tugas pers yang memberi ruang gerak yang lebih luas didalam proses pembangunan nasional pada umumnya. Pada satu sisi Negara – Negara yang memiliki pertumbuhan pers yang majemuk ditambah pada sisi lainnya dengan model pemerintahan yang dibentuk atas dasar pusat – pusat kekuatan politik yang hidup dalam masyarakat baik yang didasarkan atas pengelompokkan politik maupun pengelompokan atas dasar kekuatan ekonomi, yang satu dengan yang lain sesungguhnya mempunyai corak yang tidak sama, maka pada umumnya dan acap kali terjadi bahwa kebijakan pemerintah yang diambil hanya menguntungkan salah satu kekuatan tertentu dari pusat – pusat kekuatan yang ada. Dalam kondisi seperti ini dan apa bila hal ini kita cari padanannya secara analogi dalam kehidupan pers yang majemuk itu, maka akan sukar tercapai suatu keselarasan tentang kebijakan pers secara nasional kalaupun terjadi di lapangan implementasinya akan mengundang beragam interpretasi. Situasi seperti ini akan sering mengundang lahirnya perbedaan penilaian luwes dan simpatik sedangkan pada sisi lainnya memberi penilaian sebagai pejabat yang galak dan bersikap apriori. Akibat lain dari situasi seperti ini dalam tubuh insan pers sendiri muncul jargo – jargon komunikasi seperti pers berkolusi dengan penguasa artinya pers dianggap sebagai alat penguasa belaka dengan cara “tut wuri”saja sedang pers yang dikategorikan bandel atau pemberani mempunyai konotasi sebagai pers berpihak kepada sifat – sifat adversary.
Dua Kutub Pers
Uraian tentang hubungan pers dan pemerintah di atas sesungguhnya menggambarkan adanya dua kutub hubungan yang satu dengan yang lain saling bertolak belakang. Pada kutub pertama lebih menekankan perlunya kerja sama antara pemerintah dan pers. Kerja sama ini dapat diungkapkan dalam lingkup konotasi yang negative,seperti menggunakan istilah crony(“konco”),atau dapat juga menggunakan terminology yang lebih moderat dengan memberi tekanan kepada aspek positif yang lebih banyak bentuk hubungan senacam ini dibanyak Negara biasa menggunakan istilah system partnership atau kemitraan.umumnya Negara – Negara yang menggunakan system semacam ini,sifat hubungan tersebut lebih banyak dicerminkan dalam bentuk kerja sama yang sifatnya saling mendukung dan saling menghidupkan antara kepentingan pemerintah disatu pihak dengan kepentingan pers pada pihak lainnya atau lebih dikenal dengan menggunakan istilah simbiosis mutualitis. Perlu dicatat kiranya disini bahwa bentuk hubungan yang sifatnya cronies(konco)tersebut juga dijumpai dalam system pers liberal.akan tetapi pola hubungan itu kurang mendapat tempat dikalangan libertarian. Dalam pikiran liberal, pola simbiosis itu dikhawatirkan bisa merugikan posisi wartawan sendiri. Pada kutub lainnya penganut paham liberal seperti apa yang di ungkapkan oleh de sola pool (1972),maka para wartawan sangat yakin bahwa posisi mereka dengan pemerintah adalah bertolak belakang.wartawan digambarkan sebagai pihak baik dan mau membantu masyarakat didalam mencari kejelasan informasi. Sebaliknya pihak pemerintah digambarkan sebagai penguasa yang ditakuti. bentuk hubungan semacam ini seperti apa yang diutarakan seperti ini memiliki sifat yang sangat dominan , yaitu sifat Advesary. Dalam artian pada Pers Liberal mencoba menempatkan diri seakan akan berada dalam posisi Fis a Fis dengan pemerintah dengan asumsi bahwa Pers ibarat Hero yang hendak membebaskan masyarakat dalam memperjuangkan hak hak nya yang terncam terampas oleh perlakuan para politisi yang dipandang sebagai Orang jahat yang selalu mementingkan diri sendiri maka dalam term ini kita biasa mengenal istilah Bad News Is Good News. Di mana pemberitaan Pers selalu dipenuhi krtikan terhadap pemerintah dan Politisi.
Hubungan Segitiga antara Pers, pemerintah dan Masyarakat
Di kalangan pers yang menganut system Liberal seperti yang dianut oleh Indonesia sekarang ini, adanya kecenderungan besar untuk menyuarakan Budaya Pertentangan dalam artian bahwa akan jauh lebih menarik mengkritik penguasa daripada memujinya. Hal ini tentu saja berimplikasi pada makin sulitnya penguasa Negara dalam menjalankan tugasnya karena mersa terus menerus diawasi mengingat begitu besarnya kekuatan dari sebuah media
Bila kita melihat kembali kepada teori pertentangan sebagaimana yang dikemukakan oleh de sola pool tadi maka teori kebebasan selalu berpandangan bahwa elemen permusuhan merupakan sesuatu yang sangat penting karena dengan begitu Pers mampu menjalankan fungsinya sebagai watch Dog. Mengingat media
Salah satu fungsi Media adalah sebagai alat control sosial dalam hal ini Media dapat saja melakukan kritik, bahkan kritik yang dilakukan oleh media tersebut bisa dianggap sebagai bagian dari kedewasaan politik. Dalam budaya politik manapun kritik melalui media adalah sesuatu yang lumrah kecuali dalam system perpolitikan yang otoriter. Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah jangan sampai berbagai kritik yang dilakukan oleh media jangan sampai menimbulkan ketidak tenangan sosial. Antisipasi dari timbulnya keadaan tersebut , maka setiap pemberitaan media dituntut semacam adanya tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial media sesungguhnya telah dikenal semenjak berakhirnya Perang dunia II , dan dimuali serta dirintis di Amerika serikat. Inti pokok dari tanggung jawab sosial media ini adalah dilatar belakangi oleh muculnya kebebasan Pers, bahwa setiap kebebasan itu membawa konsekuensi tanggung jawab kepada masyarakat. Dalam hal ini media