Secara teoritis, perilaku pemilih dapat diurai dalam tiga pendekatan utama, masing-masing pendekatan sosiologi, psikologi, dan pilihan rasional. Pendekatan sosiologi atau Mazhab Columbia (The Columbia Scholl of Electoral Behavior),diprakarsai Paul Lazarsfeld (1944) menjelaskan bahwa, karakteristik dan pengelompokan sosial seperti umur, jenis kelamin, agama, dan lainnya sebagai faktor yang membentuk perilaku pemilih. Tapi secara metodologis, pendekatan sosiologi dianggap sulit diukur validitasnya sehingga muncul reaksi ketidakpuasan di Amerika Serikat terhadap pendekatan yang berkembang di Eropa ini, dengan tawaran pendekatan psikologi yang juga disebut Mazhab Michigan (The Michigan Survey Research Center).
Pendekatan ini mengembangkan konsep psikologi khususnya konsep sikap dan sosialisasi dalam menjelaskan perilaku pemilih, pertama kali diperkenalkan oleh Campbell, Converse, Miller dan Stokes (1948).
Namun kritik terhadap dua pendekatan di atas, muncul kemudian dengan asumsi pemilih bukan wayang yang tidak memiliki kehendak bebas dari kemauan dalangnya oleh Anthony Downs dalam Economic Theory of Democracy (1957). Artinya, peristiwa-peristiwa politik tertentu dapat mengubah preferensi pilihan seseorang. Dalam pendekatan pilihan rasional ini, dipaparkan dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan; apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat? Dan orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa mempedulikan label partainya. Di sinilah para pemilih menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan rasional.
Namun terkadang pula para pemilih rasional yang bisa dikatakan sebagai free rider tidak peduli terhadap pemilihan umum , hal ini rasional secara ekonomi. Sebab utamanya adalah usaha yang diperlukan untuk mendapatkan informasi politik tidak sebanding dengan imbalannya (Anthony Downs: An Economic Theory of Democracy). Apa arti satu suara dalam pemilihan dengan seratus juta suara. Kemungkinan satu suara tersebut untuk mempengaruhi hasil pemilihan sangatlah kecil.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pemilih menggunakan hak suaranya tanpa harapan yang rasional untuk mengubah hasil. Yang dia dapatkan adalah imbalan emosional. Mungkin kebanggaan karena dengan memilih dia menjalankan tugasnya sebagai warga negara. Atau perasaan bahagia karena sudah berusaha membantu rakayat miskin dengan program yang dipilihnya. Apakah program tersebut terlaksana atau tidak sangat kecil hubungannya dengan suara pemilih tersebut. Dan resiko (baik atau buruk) yang ditanggung oleh si pemilih atas pilihannya biasanya sangat kecil.
Mencari informasi politik itu mahal dan perlu usaha besar. Karena itu pemilih cenderung tidak melakukannya. Ini adalah apa yang disebut oleh Gordon Tullock (Public Choice Theory) sebagai “rational ignorance.” Topik ini dibahas panjang lebar oleh Bryan Caplan di buku baru tahun 2007, The Myth of Rational Voter. Pemilih sebenarnya tidak selalu rasional dalam menyalurkan suaranya. Mereka tidak mempunyai pemahaman yang benar terhadap berbagai topik (terutama ekonomi) yang sering diusung oleh kandidat.
Usaha untuk menambah pemahaman tentang kandidat memerlukan waktu dan juga pemikiran, bahkan terkadang biaya. Sementara keputusan yang berdasarkan emosi bisa dibilang gratis. Ini salah satu sebab hasil Pemilu tidak selalu mewakili kepentingan rasional pemilih. Sebab lain adalah karena sistem suara terbanyak tidak selalu bisa mewakili kepentingan sosial yang merupakan agregasi dari berbagai kepentingan individu (Kenneth Arrow’s Impossilibty Theorem).
Non voters think it’s not worth their while to physically go through the process of voting because their votes won’t make any difference, statistically speaking. Some of them don’t vote because they want to make informed decisions and the cost to get and process that information is more than the expected benefit.
On the other hand, most people who vote are politically ignorant. But this is done rationally. They choose to be ignorant because to be politically informed takes effort. They still go to voting booth because they get rewarded by feeling good having done their civic duty, trying to save the environment, helping the poor or whatever. That feeling is a reward, but not a big reward. So they spend some effort, but not that much that they become well informed. If the reward is bigger they’ll probably be more informed.
Apakah ini berarti demokrasi gagal? Bukan gagal, hanya tidak sempurna. Seperti dikatakan Churchill, “Democracy is the worst form of government, except for all those other forms that have been tried from time to time.”
Karena manusia ini makhluk rasional, maka ketidakpedulian-nya-pun harus dirasionalisasi. Jadi pemilih tidak akan mengakui bahwa mereka tidak tahu banyak tentang kandidat, tapi cenderung mengaku sudah lebih tahu. Bahkan mereka merasa ketidakpedulian itu suatu kebaikan, misalnya dengan menganggap bahwa politik itu kotor.
Pendekatan ini mengembangkan konsep psikologi khususnya konsep sikap dan sosialisasi dalam menjelaskan perilaku pemilih, pertama kali diperkenalkan oleh Campbell, Converse, Miller dan Stokes (1948).
Namun kritik terhadap dua pendekatan di atas, muncul kemudian dengan asumsi pemilih bukan wayang yang tidak memiliki kehendak bebas dari kemauan dalangnya oleh Anthony Downs dalam Economic Theory of Democracy (1957). Artinya, peristiwa-peristiwa politik tertentu dapat mengubah preferensi pilihan seseorang. Dalam pendekatan pilihan rasional ini, dipaparkan dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan; apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat? Dan orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa mempedulikan label partainya. Di sinilah para pemilih menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan rasional.
Namun terkadang pula para pemilih rasional yang bisa dikatakan sebagai free rider tidak peduli terhadap pemilihan umum , hal ini rasional secara ekonomi. Sebab utamanya adalah usaha yang diperlukan untuk mendapatkan informasi politik tidak sebanding dengan imbalannya (Anthony Downs: An Economic Theory of Democracy). Apa arti satu suara dalam pemilihan dengan seratus juta suara. Kemungkinan satu suara tersebut untuk mempengaruhi hasil pemilihan sangatlah kecil.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pemilih menggunakan hak suaranya tanpa harapan yang rasional untuk mengubah hasil. Yang dia dapatkan adalah imbalan emosional. Mungkin kebanggaan karena dengan memilih dia menjalankan tugasnya sebagai warga negara. Atau perasaan bahagia karena sudah berusaha membantu rakayat miskin dengan program yang dipilihnya. Apakah program tersebut terlaksana atau tidak sangat kecil hubungannya dengan suara pemilih tersebut. Dan resiko (baik atau buruk) yang ditanggung oleh si pemilih atas pilihannya biasanya sangat kecil.
Mencari informasi politik itu mahal dan perlu usaha besar. Karena itu pemilih cenderung tidak melakukannya. Ini adalah apa yang disebut oleh Gordon Tullock (Public Choice Theory) sebagai “rational ignorance.” Topik ini dibahas panjang lebar oleh Bryan Caplan di buku baru tahun 2007, The Myth of Rational Voter. Pemilih sebenarnya tidak selalu rasional dalam menyalurkan suaranya. Mereka tidak mempunyai pemahaman yang benar terhadap berbagai topik (terutama ekonomi) yang sering diusung oleh kandidat.
Usaha untuk menambah pemahaman tentang kandidat memerlukan waktu dan juga pemikiran, bahkan terkadang biaya. Sementara keputusan yang berdasarkan emosi bisa dibilang gratis. Ini salah satu sebab hasil Pemilu tidak selalu mewakili kepentingan rasional pemilih. Sebab lain adalah karena sistem suara terbanyak tidak selalu bisa mewakili kepentingan sosial yang merupakan agregasi dari berbagai kepentingan individu (Kenneth Arrow’s Impossilibty Theorem).
Non voters think it’s not worth their while to physically go through the process of voting because their votes won’t make any difference, statistically speaking. Some of them don’t vote because they want to make informed decisions and the cost to get and process that information is more than the expected benefit.
On the other hand, most people who vote are politically ignorant. But this is done rationally. They choose to be ignorant because to be politically informed takes effort. They still go to voting booth because they get rewarded by feeling good having done their civic duty, trying to save the environment, helping the poor or whatever. That feeling is a reward, but not a big reward. So they spend some effort, but not that much that they become well informed. If the reward is bigger they’ll probably be more informed.
Apakah ini berarti demokrasi gagal? Bukan gagal, hanya tidak sempurna. Seperti dikatakan Churchill, “Democracy is the worst form of government, except for all those other forms that have been tried from time to time.”
Karena manusia ini makhluk rasional, maka ketidakpedulian-nya-pun harus dirasionalisasi. Jadi pemilih tidak akan mengakui bahwa mereka tidak tahu banyak tentang kandidat, tapi cenderung mengaku sudah lebih tahu. Bahkan mereka merasa ketidakpedulian itu suatu kebaikan, misalnya dengan menganggap bahwa politik itu kotor.
Pendekatan sosiologi
Di lingkungan ilmuwan sosial di Amerika Serikat, model sosiologis awalnya dikembangkan oleh mazhab Columbia, yaitu The Columbia School of Electoral Behavior. Model ini menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh sangat signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Model sosiologis dilandasi pemikiran bahwa perilaku pemilih dalam tanggapan politiknya adalah status sosio-ekonomi dan afiliasi sosioreligius. Model ini mendasarkan diri pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga, dan hubungan emosional yang dialami pemilih secara historis., karena kelompok-kelompok tersebut mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang.
Gerald Pomper memperinci pengaruh pengelompokan social tersebut dalam kajian voting behavior ke dalam dua variabel, yaitu variable predisposisi sosial-ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Menurutnya, kedua variabel tersebut mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku pemilih. Preferensi-preferensi politik keluarga, apakah preferensi politik ayah atau ibu, berpengaruh terhadap preferensi politik anak anaknya. Preferensi sosial-ekonomi, bisa berupa kelas sosial, agama, tempat tinggal, karakteristik demografis dan sejenisnya juga berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang.
Dalam studi-studi perilaku pemilih di negara-negara demokrasi, agama tetap merupakan faktor sosiologis yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih terhadap partai politik atau kandidat. Dalam hal ini, agama bisa diukur dari afiliasi pemilih terhadap agama tertentu seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Asumsinya bahwa para pemilih yang beragama Islam akan cenderung memilih partai partai Islam, yang beragama Kristen akan memilih partai Kristen, dan seterusnya.
Jenis kelamin juga merupakan variabel sosiologis yang mempunyai pengaruh dalam menentukan pilihan politik seseorang. Kajian tentang voting behavior di Eropa pada dekade 1970an menunjukkan bahwa wanita lebih suka mendukung partai borjuis daripada sosialis, setuju dengan birokrasi, menghindari pemihakan terhadap ekstrem kanan dan kiri, tidak suka perang dan cenderung memilih partai moderat.
Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih.Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik atau kontestan tertentu. Di beberapa negara, setiap wilayah biasanya mempunyai loyalitas terhadap partai tertentu yang mampu bertahan sampai berabad-abad.
Dari berbagai ragam perbedaan dalam struktur sosial, faktor kelas sosial merupakan unsur yang juga berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang, terutama di hampir semua negara-negara industri. Di Eropa, kelompok berpenghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara kepada partai sosialis atau komunis, sedangkan kelas menengah dan atas biasanya menjadi pendukung partai konservatif. Di Amerika Serikat, meskipun kurang tergambar secara jelas, kelas tetap menjadi basis sosial dari partai politik. Masyarakat kelas bawah dan buruh biasanya cenderung mendukung Partai Demokrat, sedangkan kelas menengah dan atas cenderung menjadi pendukung Partai Republik.
Pendekatan Psikologis
Berbeda dengan pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, yang sering disebut Mazhab Michigan (The Michigan Survey Reseach Center) lebih menekankan pada pengaruh faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku atau pilihan politik. Pendekatan yang berkembang dan merupakan fenomena di Amerika Serikat ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis yang berkembang di Eropa.Menurut penganut pendekatan psikologis, secara metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Di samping itu, secara materi patut dipersoalkan apakah benar variabel-variabel sosiologis seperti status sosial-ekonomi keluarga, kelompok-kelompok primer dan lainnya, memberi sumbangan yang berarti pada perilaku pemilih. Tidakkah variabel-variabel tersebut baru dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih kalau ada proses sosialisasi? Oleh karena itu, faktor sosialisasi-lah yang sebenarnya sangat menentukan kecenderungan perilaku pemilih tersebut, bukan karakteristik sosiologis. Pendekatan psikologi ini mengembangkan konsep psikologi, khususnya konsep sikap dan sosialisasi dalam menjelaskan perilaku
seseorang. Menurut pendekatan ini, para pemilih di AS menentukan pilihan karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi. Mereka menjelaskan bahwa sikap seseorang – sebagai refleksi dari kepribadian seseorang –
merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku pemilih.
Mengapa pendekatan psikologis ini menganggap sikap sebagai variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih? Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, yang menurut Greenstein ada tiga. Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Artinya, seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh atau kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi koflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berujud mekanisme pertahanan (defense mechanism). Namun, sikap bukankah sesuatu yang bersifat begitu saja terjadi, melainkan melalui proses sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai politik atau kandidat tertentu. Ikatan psikologis karena adanya proses sosialisasi inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan identifikasi partai (party identification). Dengan demikian, konsep identifikasi partai merupakan variable sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih dalam pendekatan psikologis ini. Dalam hal ini, hubungan pengaruh antara identifikasi partai dengan perilaku pemilih sudah menjadi aksioma. Identifikasi partai merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan orang lain tanpa disadari. Identifikasi partai dilakukan orang kepada seorang kandidat atau partai politik yang dianggapnya ideal di mata pemilih. Meskipun begitu, bukan berarti pendekatan psikologi ini lepas dari kritik. Para pengkritik mempersoalkan hubungan antara sikap dengan perilaku. Apakah benar sikap seseorang mempengaruhi perilakunya? Sebab, belum tentu orang yang menyukai partai atau kandidat tertentu dalam pemilu nanti akan memilih sesuai posisi sikapnya. Dalam banyak kasus, mereka yang tidak mendukung rasisme dalam kenyataannya berperilaku rasis. Di samping itu, benarkah variabel-variabel yang dipakai
oleh para ahli psikologi dalam menjelaskan perilaku seseorang itu dapat dihubungkan dengan secara langsung dengan perilaku pemilih? Itulah beberapa persoalan dalam pendekatan psikologis dalam pandangan para pengkritik aliran psikologis ini.
MEDIA EFEK
Kelemahan media televisi ada pada kecenderungannya untuk lebih menyorot hal-hal yang ‘menghebohkan’, seperti huru-hara saat demonstrasi, reaksi elemen masyarakat terhadap kandidat tertentu, dan sebagainya. Kecenderungan ini akhirnya mengabaikan substansi isu politik itu sendiri. Fenomena ini, jauh-jauh hari telah ditegaskan oleh Patterson & McClure (1976, dalam Oskamp & Schultz,1998), “Network news may be fascinating. It may be highly entertaining. But it simply not informed."
Selain itu, media televisi juga memiliki kapasitas terbatas untuk menghadirkan ulasan-ulasan yang mendalam, berbeda dengan media cetak yang bisa menampilkan berbagai tulisan sehingga pembaca bisa menyimaknya berkali-kali, bahkan berhenti sejenak untuk merenung atau diskusi dengan pembaca lain tanpa khawatir artikel tersebut akan ‘hilang’. Bandingkan dengan televisi, pemirsa tidak bisa ‘menghentikan’ tayangan untuk memberi waktu otaknya berpikir apalagi merenung. Meski demikian, tidak berarti televisi tidak pernah memberikan kontribusi dalam pemilihan umum. Buktinya di Amerika, dalam suatu studi tahun 1992 telah menunjukkan bahwa tayangan debat Clinton – Bush – Perrot, telah meningkatkan informasi tentang kandidat dan pandangan atau prinsip-prinsip yang dianut bagi para pemilih dalam pemilu tersebut. Media memiliki kemampuan untuk ‘mengatur’ masyarakat, not what to think, but what to think about. Penjelasan pada kalimat yang ‘indah’ ini ialah media cenderung mengarahkan masyarakat memikirkan hal-hal yang tersaji dalam menunya, bukan apa yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakat itu sendiri. Saat media A berbicara tentang Inul, merembet pada media lain, masyarakat pun ikut terlena didalamnya. Masalah kebanjiran yang menjadi langganan Jakarta pun tidak lagi terlalu mengusik, hingga tiba saat kondisi riil musibah itu.
Perhatian masyarakat cenderung lebih dipengaruhi gambaran media daripada situasi nyata dunia. Contoh lain, semakin banyak media yang mengusung dan mengemas berita kriminal, masyarakat mungkin saja menjadi yakin bahwa ada suatu gelombang kejahatan, tanpa perlu lagi memastikan atau mencari tahu informasi sebenarnya apakah kejahatan memang meningkat, menurun atau konstan. Oleh kareena itulah, materi dalam media dapat menentukan ‘agenda publik’, yaitu suatu topik yang menjadi perhatian atau minat masyarakat serta mencoba untuk direspon.
Secara luas, media lebih cenderung menguatkan tujuan-tujuan yang ada dalam pemungutan suara daripada merubahnya. Seperti telah disinggung diawal bahwa peran utama media dalam suatu pemilihan umum ialah menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. Walaupun mungkin tidak memberi dampak langsung untuk merubah perolehan jumlah suara, namun media tetap mampu mempengaruhi banyaknya suara yang terjaring dalam suatu pemilu.
Menurut Noelle-Newman (1984,1992, dalam Oskamp & Schulz,1998), secara implisit, masyarakat membuat suatu penilaian terhadap pihak maupun cara yang ditempuh untuk memenangkan pemilihan, atau isu-isu panas yang diperdebatkan. Penilaian personal yang dipengaruhi kuat oleh media ini diam-diam bisa berdampak pada pengurangan jumlah suara bagi pihak yang kalah. Ulasan dini seputar pemilu atau laporan berdasarkan survei secara random dapat memperkuat penilaian masyarakat, terutama tentang siapakah yang akan menjadi pemenang dan mendorong terbentuknya ‘spiral silence’ diantara pihak yang merasa kalah atau menjadi pecundang.
Selain itu efek dalam system politik, media dalam hal ini Televisi telah merubah wajah seluruh sistem politik secara luas dengan pesat. Media ini tidak hanya mempengaruhi politik dengan fokus tayangan, kristalisasi atau menggoyang opini publik, namun secara luas berdampak pada para politisi yang memiliki otoritas dalam memutuskan kebijakan publik.
Media, dengan publisitas, pemasangan iklan dan ulasan beritanya, juga memiliki kemampuan yang kuat untuk secara langsung mempengaruhi meningkatnya jumlah dana dalam suatu kampanye politik. Begitu penting dan besarnya peran berita atau ulasan-ulasan media dalam suatu pemilihan umum, maka baik staf maupun kandidat politik sebenarnya telah menjadi media itu sendiri.
Politik Ras
Konsep ras bisa ditelusuri jejaknya dari wacana biologis Darwinisme sosial yang menekankan "garis keturunan" dan "tipe-tipe manusia". Di sini ras menunjuk pada karakteristik-karakteristik yang dinyatakan secara fisik dan biologis. Bentuknya yang paling jelas adalah pigmentasi kulit. Atribut-atribut ini kemudian seringkali dikaitkan dengan intelejensi dan kemampuan, yang dipakai untuk memeringkat kelompok-kelompok yang telah diraskan dalam hirarki sosial, superioritas material, dan subordinasi. Akar dari rasisme adalah klasifikasi-klasifikasi rasial yang dibangun dan dipertahankan dengan kekuasaan.
Ide tentang "rasialisasi" atau "formasi ras" meliputi argumen bahwa ras adalah sebuah konstruksi sosial dan kategori biologi atau kultural yang universal dan esensial. Stuart Hall (1997) berargumen bahwa ras selalu terbentuk dalam proses sosial dan pertarungan kekuatan politik. Dengan begitu ras tidak pernah eksis di luar representasi. Karakteristik-karaketiristik fisik ditransformasikan menjadi penanda ras, termasuk di dalamnya anggapan palsu tentang perbedaan kultural dan biologis yang esensial. Sementara Gilroy (1987) berusaha membuka kemungkinan untuk memakai teori-teori penandaan yang dapat menunjukkan elastisitas dan kekosongan penanda 'rasial'. Penanda ras mestinya dilihat sebagai ketegori politik yang terbuka, yang definisinya tergantung pada pertarungan kekuasaan yang terus berlangsung. Di Indonesia formasi historis ras adalah pentas kekuasaan dan subordinasi. Dalam hubungannya dengan kesempatan hidup, orang-orang Papua misalnya, secara struktural posisinya disubordinasikan. Orang-orang Papua diposisikan dalam pekerjaan-pekerjaan bergaji rendah, tidak membutuhkan ketrampilan, diberi keuntungan minimal di pasar, di sekolah, di media, dan dalam representasi budaya. Dalam konteks ini, formasi ras atau rasialisasi secara inheren telah bersifat rasis, yang meliputi bentuk-bentuk sosial, ekonomi, dan subordinasi politik, yang telah hidup dalam kategori dan ideologi ras.
Sebagai sebuah konstruksi diskursif, makna "ras" selalu berubah dan dipertarungkan. Kelompok-kelompok yang berbeda dirasialkan dengan cara berbeda pula. Misalnya, karena keberhasilan ekonominya, peranakan Cina secara historis dijadikan subjek kecemburuan sosial dan distereotipkan dengan berbagai kelicikan. Cina Peranakan di Indonesia dijadikan warga negara kelas dua. Etnisitas adalah sebuah konsep kultural yang berpusat pada pembagian norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, simbol dan praktik-praktik kultural. Formasi kelompok etnis menyandarkan dirinya pada pembagian penanda-penanda kultral yang dibangun dalam di bawah konteks sejarah, sosial, dan politik yang khusus, yang mendorong perasaan saling memiliki, yang menciptakan mitos-mitos leluhur. Mengikuti argumen antiesensialis, adalah jelas bahwa kelompok etnis tidaklah mendasarkan dirinya pada garis primordial atau karakteristik kultural yang bersifat universal, melainkan sebuah praktik diskursif. Etnisitas mewujud dalam bagaimana cara kita berbicara tentang identitas kelompok, tanda-tanda dan simbol-simbol yang kita pakai mengidentifikasi kelompok.
Fokus paling penting dalam literatur ini bertujuan untuk menjelaskan perubahan antara perorangan dan lingkungan digambarkan sangat baik kepada beberapa kasus kontroversi yang terjadi di Amerika Serikat. Pada umumnya, literatur ini bertujuan menjelaskan sumber konflik rasial dalam Politik. Khususnya, kenapa dan atas pengaruh apa warga kulit putih menampilkan preferensi politik, pilihan, dan perilaku yang bermusuhan dengan warga kulit hitam? Dalam bab ini, pengarang mengatakan bahwa ada upaya yang muncul dalam hubungan antara Politik Ras kepada Politik dan perubahan eleksi.
Carmines dan Stimson (1989) membantah bahwa evolusi ras bertanggung-jawab terhadap pembentukan Politik di Amerika.Berawal dari Konggres-kongres, melalui organisasi massa, dan akhirnya menghasilkan kesetiaan pemilih dalam pemilu, Landasan orang Amerika berpolitik terpetakan berdasarkan ras.
Huckfeldt dan Kohfeld (1989), politik ras menjadi bagian yang penting, ketika semakin banyaknya populasi warga kulit hitam dan warga kulit putih putih merasa terancam akan hal itu, terlebih ketika banyak politisi memunculkan isu-isu ras sehingga menciptakan koalisi yang mengekploitasi perbedaan ras.
Upaya ini memberikan satu sudut pandang yang sama dimana ras merupakan salah satu hal penyebab terjadinya konflik dalam politik. Bobo (1983) dan Glaser (1994) permusuhan ras dikonsepkan dalam teori konflik kelompok. Logikanya, ras menjadi krucial dalam keadaan sosial, lingkungan dan intitusi tertentu sebagai garis perpecahan dalam politik. Proses politik ras tidak terjadi dalam pikiran pemilih secara sederhana, melainkan hasil dari proses waktu, tempat, dan keadaan yang menciptkan keinginan dan kepentingan tertentu. Bagi Carmines dan Stimson, hal ini berarti politik ras berlaku sebgai hasil pilihan elit politik mencari momen politik yang menguntungkanya dan menempatkan isu ras dalam agenda politik mereka.
Abramowitz (1994) memnbatah argumentasi tersebut, bahwa ras bukan faktor penentu, sebagai respons atas Carmines dan Stimson (1989), menyatakan ketika efek opini kebijakan berlangsung maka sesunguhanya sikap rasial tidak lagi sanggup menjelaskan perbedaan tingkat partisan seseorang. Sikap masyarkat tehadap hak-hak sipil adalah sikap yang otonom dari pilihan partisan seseorang. Beberapa pendapat mereson anggapn ras tidak diperhitungkan, Hamill (1985) yang menyatakan bahwa bagi banyak pemilih isu-isu berkembang menjadi opini secara kognitif untuk menghormati ras dan cenderung menyerap beragam pertimbangan-pertimbangan kebijakan publik.
Faktanya mengapa hampir 90% pemilih kulit hitam secara reguler mendukung dan meilih kandidat presiden dari partai demokrat dan mayoritas pemilih kulit putih mendukung kandidat dari partai republik semenjak eleksi 1964?. Bahkan diantara pendukung argument ras tidak diperhitungkan juga terjadi perbedaan signifikan terkait efek perilaku rasial dalam politik. Teori konflik kelompok berpendapat bahwa politik rasial adalah hasil kompetisi politik yang terjadi antara warga kulit hitam dan warga kulit putih memperebutkan sumber-sumber kekuasaan. Namun sebaliknya tesis rasisme simbolik berpandangan konflik rasial terpisah dari realitas keadaan dan kepetingan para aktor politik, melainkan konflik rasial bermula dari kecurigaan atas permusuhan kepada warga kulit hitam yang menstimulasi dan memanipulasi isu-isu dan daya tarik sosial tertentu.
Teori konflik kelompok berasal dari tradisi sosiologi politik yang menjabarkan kondisi mikro-politik menuju titik pertemuan antara tujuan dan orientasi individual dengan lingkungan sosial dan politik. Kedua argumen berikutnya menyatakan “ras tidak diperhitungkan” dan “konflik ras sama dengan prasangka/kecurigaan” berakar dari tradisi/konsepsi perilaku politik yang individualistik dan berupaya menemukan jawaban atas peyebab dampak-dampak makro politik. Apakah karena sepenuhnya hasil gerakan individu atau karena sepenuhnya hasil internalisasi norma-norma kultural.
Keputusan politik yang tercipta secara heuristic.
Jika mayoritas masyarakat kekurangan informasi politik yang paling dasar, lantas bagaimana mereka bisa berlaku efektif dalam berpatisipasi politik? Bagaimanakah mereka menjabarkan opini politik yang bermakna? Walaupun tetap saja sebagian besar masyarakat masing-masing mempunyai opini/pemikiran politik serta mengekspresikanya dalam isu-isu politik yang kompleks.Sebagian besar orang sepertinya sudah faham kenapa mereka memilih satu kebijakan daripada kebijakan lainnya dan setidaknya berpotensi pada efektivitas tindakan politik. Bagaimana hal itu mungkin terjadinya padahal mereka kurang memiliki informasi megenai urusan-urusan publik dan kurang perhatian terhadap politik?.
Antony Downs menyatakan bahwa adalah tidak rasional bila sebagian masyarakat menjadi sangat berpengetahuan mengenai urusan-urusan publik, karena untuk menjadi terinformasi membutuhkan biaya antara lain -:
1. Biaya mengumpulkan, memilih, dan mengirim data.
2. Biaya melakukan analisa data faktual.
3. Biaya menghubungkan data atau analisis faktual dengan sasaran spesifik dan
2. Biaya melakukan analisa data faktual.
3. Biaya menghubungkan data atau analisis faktual dengan sasaran spesifik dan
mengevaluasinya.
Secara keseluruhan ketiga biaya ini secara tidak langsung mempersulit masyarakat untuk menjadi terinformasi. Menurut Downs, untuk menjadi terinformasi secara rasional masyarakat perlu menyisihkan waktu, perhatian dan sumber yang dibutuhkan, namun masyarakat faktanya masih cenerung menghindari dari biaya-biaya perolehan informasi tersebut dengan cara mendapatkan alternatif dari sejumlah shortcut (jalan pintas) dalam mengumpulkan dan memakai informasi Shortcut ini akan memungkiknakan masyarakat untuk menentukan keputuasn politik dan membentuk preferensi politik tanpa harus terinformasi secara lengkap dan detail mengenai isi dan rincian isu politik. Singkatnya, penggunaan shortcut meminimalisir masyarkat yang terinformasi.
Menurut Tversky & Kahneman, individu menggunakan banyak variasi heuristik, yakni shortcut kognisi yang mereduksi proses kompleks pemecahan masalah menjadi penilaian sederhana untuk membuat putusan-putusan sosial. Tversky & Kahneman mengidentifkasi 4 ( empat ) prinsip membolehkan individu menggunakan shortcut untuk mengambil keputusan daripada menganalisa secara detail informasi politik yakni : prinsip ketersediaan ( avaiability ), representasi ( representativeness ), penyeseuaian dan simulasi. Ketersediaan, merupakan tampilan domiman dari sebuah keadaan pembuatan keputusan yang mana individu jadi tidak harus mengikuti semua fenomena atau informasi politik. Contohnya untuk mengidentifikasi apakah seseorang berfahaman liberal, masyarakat cukup fokus pada figur, seperti Senator Kennedy atau Jesse Jackson daripada mempertimbangkan semua figur dan organisasi yang berkategori liberal.
Tingkat representasi, merupakan sebuah kemungkinan suatu informasi menjadi bagian tepat informasi lainnya. Contohnya, jika seseorang memakai pertimbangan ras kulit hitam atau kulit putuh untuk mengetahui afiliasi politik kandidat apakah Demokrat atau Republikan.
Peyesuaian, melibatkan proses kognitif, peyesuaian merupakan perubahan keputusan setelah melibatkan proses kognitif, peyesuaian merupakan perubahan keputusan setelah munculnya respon awal/tentatif. Respon awal berubah karena adnaya informasi yang lebih relevan.
Simulasi, terjadi karena kurangnya informasi yang baik dan relevan hingga seseoarang mesti waspada denagn mengantisipasi konsekuensi sebuah keputusan.
Prinsip heuristic Kahneman dan Tversky kebanyakan tidak digunakan dalam psikologi politik, namun lebih relevan dipakai pada level pembuatan keputusan politik. Misalnya penggunaan stereotype untuk penilaian politik jelas melibatkan prisip tingkat representasi heuristik. Penilaian stereotype dilakukan berdasarkan penampilan dan makna kehadiran sebuah kelompok yang menjadi tingkat reperensentasi kelompok tersebut. Brady & Sniderman mengintodusir istilah “ likability heuristik “. Heuristik ini memungkinkan masyarakat untuk membuat inferensi (generalisasi) tentang orientasi isu bermacam kelompok politik, kemudian mereka akan menatribusi kelompok yang disukai dan menyerang kelompok yang tidak disukai dan ternyata kebanyakan inferensi masyarakat mengenai isu yang menjadi pendirian kelompok politik tertentu merupakan estimasi yang tepat. “Likabilty heuristic” Brady & Sniderman dapat dianggap aplikasi peyesuaian dari prinsip heuristic sebelumnya. Dimana posisi isu seseorang menjadi dasar mengestimasi posisi isu kelompok politi tertentu. Informasi tambahan menakibatkan adanya proses estimasi posisi isu seseorang terhadap suatu kelompok politik dan penyesuaian ini terjadi setelah adanya informasi baru yang dimaksud.
Studi-studi Carmines, Kuklinski & Mondak, penilaian kebijakan dan penetapan posisi poltik seseorang/masyarakat seringkali bersandar pada figur politik yang terkemuka. Carmines & Kuklinski mengindikasikan bahwa masyarkat akan membentuk apini politik mereka sendiri mengenai suatu isu jika ada tokoh politik yang menonjol, mereka akan menentukan posisi politik mereka baik sebagai penentang maupun pendukung suatu isu yang ditawarkan. Dengan memakai prinsip-prinsip heuristik kita bisa mengetahui bagaimana masyarkat membuat keputusan politik berdasarkan keterbatasan informasi yang ada. Perkembangan baru juga menunjukan bagaimana aliran psikologi politik telah membantu memapankan peran masyarakat yang bertunjuan dan secara instrumental termotivasi dalam proses politik.
Secara keseluruhan ketiga biaya ini secara tidak langsung mempersulit masyarakat untuk menjadi terinformasi. Menurut Downs, untuk menjadi terinformasi secara rasional masyarakat perlu menyisihkan waktu, perhatian dan sumber yang dibutuhkan, namun masyarakat faktanya masih cenerung menghindari dari biaya-biaya perolehan informasi tersebut dengan cara mendapatkan alternatif dari sejumlah shortcut (jalan pintas) dalam mengumpulkan dan memakai informasi Shortcut ini akan memungkiknakan masyarakat untuk menentukan keputuasn politik dan membentuk preferensi politik tanpa harus terinformasi secara lengkap dan detail mengenai isi dan rincian isu politik. Singkatnya, penggunaan shortcut meminimalisir masyarkat yang terinformasi.
Menurut Tversky & Kahneman, individu menggunakan banyak variasi heuristik, yakni shortcut kognisi yang mereduksi proses kompleks pemecahan masalah menjadi penilaian sederhana untuk membuat putusan-putusan sosial. Tversky & Kahneman mengidentifkasi 4 ( empat ) prinsip membolehkan individu menggunakan shortcut untuk mengambil keputusan daripada menganalisa secara detail informasi politik yakni : prinsip ketersediaan ( avaiability ), representasi ( representativeness ), penyeseuaian dan simulasi. Ketersediaan, merupakan tampilan domiman dari sebuah keadaan pembuatan keputusan yang mana individu jadi tidak harus mengikuti semua fenomena atau informasi politik. Contohnya untuk mengidentifikasi apakah seseorang berfahaman liberal, masyarakat cukup fokus pada figur, seperti Senator Kennedy atau Jesse Jackson daripada mempertimbangkan semua figur dan organisasi yang berkategori liberal.
Tingkat representasi, merupakan sebuah kemungkinan suatu informasi menjadi bagian tepat informasi lainnya. Contohnya, jika seseorang memakai pertimbangan ras kulit hitam atau kulit putuh untuk mengetahui afiliasi politik kandidat apakah Demokrat atau Republikan.
Peyesuaian, melibatkan proses kognitif, peyesuaian merupakan perubahan keputusan setelah melibatkan proses kognitif, peyesuaian merupakan perubahan keputusan setelah munculnya respon awal/tentatif. Respon awal berubah karena adnaya informasi yang lebih relevan.
Simulasi, terjadi karena kurangnya informasi yang baik dan relevan hingga seseoarang mesti waspada denagn mengantisipasi konsekuensi sebuah keputusan.
Prinsip heuristic Kahneman dan Tversky kebanyakan tidak digunakan dalam psikologi politik, namun lebih relevan dipakai pada level pembuatan keputusan politik. Misalnya penggunaan stereotype untuk penilaian politik jelas melibatkan prisip tingkat representasi heuristik. Penilaian stereotype dilakukan berdasarkan penampilan dan makna kehadiran sebuah kelompok yang menjadi tingkat reperensentasi kelompok tersebut. Brady & Sniderman mengintodusir istilah “ likability heuristik “. Heuristik ini memungkinkan masyarakat untuk membuat inferensi (generalisasi) tentang orientasi isu bermacam kelompok politik, kemudian mereka akan menatribusi kelompok yang disukai dan menyerang kelompok yang tidak disukai dan ternyata kebanyakan inferensi masyarakat mengenai isu yang menjadi pendirian kelompok politik tertentu merupakan estimasi yang tepat. “Likabilty heuristic” Brady & Sniderman dapat dianggap aplikasi peyesuaian dari prinsip heuristic sebelumnya. Dimana posisi isu seseorang menjadi dasar mengestimasi posisi isu kelompok politi tertentu. Informasi tambahan menakibatkan adanya proses estimasi posisi isu seseorang terhadap suatu kelompok politik dan penyesuaian ini terjadi setelah adanya informasi baru yang dimaksud.
Studi-studi Carmines, Kuklinski & Mondak, penilaian kebijakan dan penetapan posisi poltik seseorang/masyarakat seringkali bersandar pada figur politik yang terkemuka. Carmines & Kuklinski mengindikasikan bahwa masyarkat akan membentuk apini politik mereka sendiri mengenai suatu isu jika ada tokoh politik yang menonjol, mereka akan menentukan posisi politik mereka baik sebagai penentang maupun pendukung suatu isu yang ditawarkan. Dengan memakai prinsip-prinsip heuristik kita bisa mengetahui bagaimana masyarkat membuat keputusan politik berdasarkan keterbatasan informasi yang ada. Perkembangan baru juga menunjukan bagaimana aliran psikologi politik telah membantu memapankan peran masyarakat yang bertunjuan dan secara instrumental termotivasi dalam proses politik.
Konklusi :
Konvergensi model-model masyarakat demokratis dalam perilaku politik.
Aktor politik strategis yang ditemukan dalam tradisi ekonomi politik juga muncul dalam tradisi psikologi dan sosiologi politik. Dalam prosesnya tejadi konvergensi antara ketiga tradisi yang menghasilkan model masyarakat demokratis. Inti konvergensi dimaksud berada dalam model kewargaan (masyarakat) yang bertindak dengan tujuan tertentu sesuai kebutuhan, ambisi dan sasaran mereka.
Penjabaran Popkin mengenai pemilh yang berpikir : pemilih berpikir tentang bagaimana pendirian politik kandidat/partai politik ? mereka mencari tau tentang makna suatu dukungan politik, apa yang seharusnya bisa dan harus dilakukan pemerintah. Kinerja pemerintah dan kandidat / partai politik akan mempengaruhi preferensi politik dan penilaian mereka. Menurut Popkin, kesemua pemikiran dan argumentasi jawaban tersebut diperoleh dengan rasionalitas informasi yang belum memadai / rendah atau “low information rationality “ , dengan metode shortcut ( jalan pintas ) untuk mengumpulkan dan memproses informasi politik.
Konsep masyarakat yang bertujuan mengandung kontroversi apakah model perilaku seperti itu memilki konsekuensi analitis yang nyata, seberapa besar proses politik yang diperoleh dengan perkiraan pendukung untuk mengembangkan kelengkapan analitis sesuai kerangka konsep perilaku masyarakat yang instrumental. Beberapa asumsi yang lain, menjadi alat analisis konsep oleh Fiorina (1981), yang menngemukakan bahwa pemilih mengukur kandidat / partai politik sesuai pengalaman yang bersangkutan dimasa lampau ( rekam jejak ). Analisis lain dikembangkan oleh Huckfeldt & Sparague (1994), menyatakan bahwa masyarakat mereduksi biaya informasi dengan menggali informasi dari warga yang lain. Sniderman, menyatakan bahwa warga-masyararakat mereduksi informasi melalui proses heuristic menggunakan shortcuts. Kesemua model analisis ini menjadi bagian dari konsep masyarakat yang bertindak dengan kesadaran atas target-target pencapaian mereka sendiri. Namun premis tersebut tidak akan banyak mempengaruhi jika kita tidak memahami bagaimana tujuan atau target-target tersebut disadari dan dimengerti.
Oleh sebab itu, tantangan kemasyarkatan dari perspektif psikologi politik telah terjawab dengan menempatkan tantangan masyarakat dalam pikiran mereka sendiri ketimbang fokus pada beberapa kegagalan masyarakat mengetahui biaya memperoleh dan memproses informasi politik.
Dilain pihak uga terdapat dalam riset sosiologi politik. Dimana pendekatan-pendekatan baru dari sosiologi politik mengembangkan bagaimana tujuan serta target measyarakat tersebut disadari atau malah terhalangi dalam suatu waktu, tempat, dan keadaan. Pendekatan baru ini menempatkan pilihan individu sebagai hasil ketergantungan dengan kehidupan sosialnya. Dengan kata lain. Informasi politik diperoleh pada titik pertemuan antara suply informasi dalam lingkungan sosial dengan tujuan pribadi masyarkat.
Sebagian besar peneliti ekonomi politik mengembangkan sebuah tantangan baru terhadap konsep kewargaan sebagaimana juga muncul model yang menjadi perkembangan tradisi psikologi dan sosiologi politik. Dari penelitian mereka muncul model kewargaan yang telah diperbaiki, yakni model kewargaan selaku konsumen yang faham akan adanya biaya informasi dan memproses informasi politik, yang dalam mengemban tanggung-jawabnya sebagai warga negara dia berhasil mengurangi keinginan untuk mengkonsumsi urusan-urusan politik dan publik. Hasilnya,menyajikan sebuah gambaran masyarakat yang realistis dalam era politik-demokratis, sebuah opini yang memahami masyarkat dalam konteks kenyataan sehari-hari, terkondisikan oleh keterbatasan mereka senidri sewaktu mengumpulkan dan memproses informasi.
Aktor politik strategis yang ditemukan dalam tradisi ekonomi politik juga muncul dalam tradisi psikologi dan sosiologi politik. Dalam prosesnya tejadi konvergensi antara ketiga tradisi yang menghasilkan model masyarakat demokratis. Inti konvergensi dimaksud berada dalam model kewargaan (masyarakat) yang bertindak dengan tujuan tertentu sesuai kebutuhan, ambisi dan sasaran mereka.
Penjabaran Popkin mengenai pemilh yang berpikir : pemilih berpikir tentang bagaimana pendirian politik kandidat/partai politik ? mereka mencari tau tentang makna suatu dukungan politik, apa yang seharusnya bisa dan harus dilakukan pemerintah. Kinerja pemerintah dan kandidat / partai politik akan mempengaruhi preferensi politik dan penilaian mereka. Menurut Popkin, kesemua pemikiran dan argumentasi jawaban tersebut diperoleh dengan rasionalitas informasi yang belum memadai / rendah atau “low information rationality “ , dengan metode shortcut ( jalan pintas ) untuk mengumpulkan dan memproses informasi politik.
Konsep masyarakat yang bertujuan mengandung kontroversi apakah model perilaku seperti itu memilki konsekuensi analitis yang nyata, seberapa besar proses politik yang diperoleh dengan perkiraan pendukung untuk mengembangkan kelengkapan analitis sesuai kerangka konsep perilaku masyarakat yang instrumental. Beberapa asumsi yang lain, menjadi alat analisis konsep oleh Fiorina (1981), yang menngemukakan bahwa pemilih mengukur kandidat / partai politik sesuai pengalaman yang bersangkutan dimasa lampau ( rekam jejak ). Analisis lain dikembangkan oleh Huckfeldt & Sparague (1994), menyatakan bahwa masyarakat mereduksi biaya informasi dengan menggali informasi dari warga yang lain. Sniderman, menyatakan bahwa warga-masyararakat mereduksi informasi melalui proses heuristic menggunakan shortcuts. Kesemua model analisis ini menjadi bagian dari konsep masyarakat yang bertindak dengan kesadaran atas target-target pencapaian mereka sendiri. Namun premis tersebut tidak akan banyak mempengaruhi jika kita tidak memahami bagaimana tujuan atau target-target tersebut disadari dan dimengerti.
Oleh sebab itu, tantangan kemasyarkatan dari perspektif psikologi politik telah terjawab dengan menempatkan tantangan masyarakat dalam pikiran mereka sendiri ketimbang fokus pada beberapa kegagalan masyarakat mengetahui biaya memperoleh dan memproses informasi politik.
Dilain pihak uga terdapat dalam riset sosiologi politik. Dimana pendekatan-pendekatan baru dari sosiologi politik mengembangkan bagaimana tujuan serta target measyarakat tersebut disadari atau malah terhalangi dalam suatu waktu, tempat, dan keadaan. Pendekatan baru ini menempatkan pilihan individu sebagai hasil ketergantungan dengan kehidupan sosialnya. Dengan kata lain. Informasi politik diperoleh pada titik pertemuan antara suply informasi dalam lingkungan sosial dengan tujuan pribadi masyarkat.
Sebagian besar peneliti ekonomi politik mengembangkan sebuah tantangan baru terhadap konsep kewargaan sebagaimana juga muncul model yang menjadi perkembangan tradisi psikologi dan sosiologi politik. Dari penelitian mereka muncul model kewargaan yang telah diperbaiki, yakni model kewargaan selaku konsumen yang faham akan adanya biaya informasi dan memproses informasi politik, yang dalam mengemban tanggung-jawabnya sebagai warga negara dia berhasil mengurangi keinginan untuk mengkonsumsi urusan-urusan politik dan publik. Hasilnya,menyajikan sebuah gambaran masyarakat yang realistis dalam era politik-demokratis, sebuah opini yang memahami masyarkat dalam konteks kenyataan sehari-hari, terkondisikan oleh keterbatasan mereka senidri sewaktu mengumpulkan dan memproses informasi.