Jumat, 09 Mei 2008

Perilaku Memilih (voting) Tidaklah Sederhana

sebuah Review dari The Not So Simple Act Of Voting
Oleh : Russel J. Dalton dan Martin P. Wattenberg

Dalam dunia politik yang semakin kompleks akhir-akhir ini, hal yang dahulu disebut sebagai “perilaku memilih yang sederhana” ( Killey dan Mirrer, 1975 ), tidak lagi dikategorikan sebagai perilaku sederhana. Dengan semakin banyaknya pilihan partai politik yang muncul di banyak Negara demokrasi di dunia – khususnya di Amerika, tugas public bertambah dengan agenda pemerintahan yang makin meluas. Disamping tanggungjawab tradisional mereka untuk menciptakan kemakmuran ekonomi dan fisik bagi warga Negara, pemerintah sekarang harus menangani hal-hal yang bahkan tidak masuk dalam ranah politik dua puluh tahun yang lalu. Hal-hal tersebut termasuk perlindungan lingkungan hidup, kepastian kepuasan konsumen, masalah-masalah moralitas seperti aborsi, dan memastikan adanya keseimbangan kesempatan bagi wanita dan pria.

Bab ini akan memaparkan mengenai penilaian komparatif yang luas atas kajian mengenai perilaku pemberian suara (voting) di Negara maju yang menerapkan sistem demokrasi. Kajian ini sangat luas dan berkembang dengan cepat sehingga pembahasan dalam satu bab saja menjadi tidak mungkin. Lebih dari itu, ada beberapa aspek dalam perilaku pemberian suara yang hanya berlaku di satu Negara saja atau dengan kata lain tidak dapat berlaku umum dalam semua sistem yang ada. Oleh karena itu kami memilih untuk memfokuskan pada evolusi dari kajian tersebut dimana yang menjadi pertanyaan utama mengenai perilaku para pemilih adalah: bagaimana pemilih di Negara yang menerapkan sistem demokrasi menghadapi tugas yang makin sulit dalam mengawal pemerintah melalui pemungutan suara.

Keseimbangan sebenarnya antara kemampuan para pemilih dan tuntutan yang mengharuskan mereka membuat keputusan politik menjadi kontroversi utama dalam kajian tentang pemungutan suara yang akan kita bahas dalam bab ini. Namun tetap saja, banyak analis percaya bahwa para pemilih pastilah bergantung pada beberapa arahan dan jalan pintas politis untuk membuat keputusan mereka. Sebagaimana yang ditulis oleh Samuel Popkin (1991, 218) “ penggunaan jalan pintas informasi merupakan fakta hidup yang tidak dapat dihindari lagi dan akan tetap muncul meski dengan tingkat pendidikan apapun, berapapun banyaknya informasi yang diperoleh, dan seberapa banyak kita berpikir “. Sebagai akibatnya, pembahasan kita mengenai perilaku pemberian suara terfokus pada arahan politik yang masih dibutuhkan oleh warga Negara untuk mengarahkan pilihan mereka. Arahan-arahan yang digunakan oleh para pemilih mungkin akan berubah seiring dengan waktu, namun proses penggunaan jalanpintas masih tetap ada.

Sistem Dasar dari Sistem Keyakinan

Perdebatan manapun mengenai perilaku memilih pada dasarnya berawal dari asumsi mendasar mengenai kemampuan politik dari para pemilih – (yang meliputi) tingkat pengetahuan, pemahaman dan perhatian terhadap masalah-masalah politik. Ketika seorang pemilih akan membuat sebuah keputusan yang penting, mereka harus memahami pilihan-pilihan yang dihadapi dalam politik. Warga Negara harus memiliki pengetahuan yang memadai jika mereka berkeinginan untukmempengaruhi dan mengendalikan tindakan dari para wakil rakyat. Selama ini, para pemikir teori tetap berpendapat bahwa demokrasi hanya bias berjalan jika publik memiliki tingkat informasi dan pemahakan politik yang tinggi. Mill, Locke, Tocqueville dan penulis lain melihat bahwa kondisi publik yang demikian itulah yang menjadi prasyarat utama keberhasilan sebuah sistem demokrasi.

Salah satu penemuan yang paling mencengangkan dari beberapa survey empiris awal mengenai keyakinan pemilih adalah perbedaan yang mencolok antara gambaran umum dari penduduk yang demokratis dengan sifat dasar dari pemilih. Kecerdasan politik yang dimiliki publik tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang ideal secara teoritis. Bagi kebanyakan warga Negara, kepentingan dan keterlibatan politik tidak lebih dari sebuah tindakan memberikan suara pada pemilihan umum di tingkat nasional atau Negara bagian. Lebih dari itu, warga Negara tidak sepenuhnya memahami makna partisipasi mereka dalam politik. Tidak jelas apakah keputusan memilih mereka didasarkan pada evaluasi mereka terhadap kandidat, partai politik atau pandangan kandidat terhadap isu-isu tertentu. Justru, pemberian suara dipengaruhi oleh loyalitas kelompok atau perimbangan personal.

Kajian di Amerika mengenai kecerdasan politik terbaru kurang memberikan perhatian untuk meneliti level absolute dari kemampuan politik publik dan justru lebih terfokus pada perilaku individual dalam menerima dan mengolah informasi. Donald Kinder (1983) membela pendekatan mengenai sistem keyakinan ini dalam babnya yang masuk dalam volume pertama mengenai isu ini dan hal tersebut didukung oleh penjelasan mendalam dari Luskin (1987) dalam literature megenai kecerdasan politik.

Umumnya dikenal sebagai “teori skema”, meski sebutan ini mungkin salah, kajian ini menjawab dua pertanyaan mengenai pemikiran politik. Pertama, daripada melihat sistem keyakinan ini sebagai rangkaian berbagai tindakan politik yang saling terhubung (hubungan vertikal), para analis justru lebih meyakini bahwa ada jaringan atau struktur (horizontal) dalam bidang politik tertentu. Kedua, struktur komseptual yang biasanya digunakan untuk mengorganisasikan informasi jug mungkin berbeda antara satu individu dengan individu lain. Oleh karena itu, berkembangnya kajian mengenai teori skema berupaya untuk mengindentifikasi struktur (atau skema) kognitif (tindakan) tertentu yang relevan bagi sekelompok individu; semisal skema kebijakan luar negeri, atau skema rasial atau skema untuk mengevaluasi para kandidat politik ( Conover dan Feldman 1984; Hurwitz dan Peffley 1987; Sniderman, Brody dan Kuklinski 1984; Miller Wattenber dan Malanchuck 1986; Rohscheineider 1992 ).

Logika dari pembuatan keputusan yang memuaskan muncul dalam 3 disiplin ilmu – Sosiologis, Psikologis dan Ekonomis – yang turut menentukan evolusi dari penelitian mengenai sikap kelompok pemilih.

Kajian Klasik mengenai Perilaku Pemilih

Sebagian besar dari penelitian mengenai perilaku memilih pada setengah abad pertama di abad 20 menggunakan pendekatan sosiologis. Hal ini banyak disebabkan oleh data terbaik yang tersedia adalah data sensus demografis, yang tidak bisa dengan mudah dibandingkan dengan pola memilih. Pelopor dari ahli sosiologi dimulai dari Paul Lazarsfeld dari Biro Penelitian Sosial Terapan Universitas Columbia. Lazarsfeld, Bernald Berelson, dan Hazel Gaudet (1994) berupaya untuk memahami bagaimana niat memilih bisa berubah sepanjangmasa kampanye dengan mewawancarai sekelompok pemilih secara berulang-ulang pada tahun 1940 di masa pemilihan umum. Karena mereka menemukan bahwa hanya sedikit dari para pemilih yang berganti-ganti pilihan, mereka kembali pada pola memilih yang demografis yang sebelumnya telah ada untuk menjelaskan hasil penemuan mereka.

Meski model sosial dari proses memilih memberikan kerangka yang berguna untuk mengindetifikasi petunjuk sosial yang mendasari keputusan kelompok pemilih, model ini memiliki beberapa keterbatasan. Model ini hanya mampu menjelaskan proporsi yang kecil dari suara kelompok pemilih Eropa dan proporsi yang lebih kecil mengenai suara kelompok pemilih Amerika yang kurang terpolarisasi, lebih dari itu pendekatan sosiologis menekankan pada kontinuitas dan stabilitas dan oleh karenanya memiliki peran yang terbatas dalam menjelaskan perubahan kelompok pemilih.

Kelemahan dari model sosiologis ini mendorong para peneliti di Uniersitas Michigan untuk lebih langsung memfokuskan pada proses psikologis dalam perhitungan individu. Penerbitan The American Voter pada tahun 1960 memperkenalkan model sosial psikologis yang eksplisit mengenai suara pilihan ( Campbell et.al.1960 ). Poin utama dalam teori ini adalah peran mediasi yang dibawa oleh kecenderungan psikologis jangka panjang – khususnya dalam hal identifikasi partai – dalam mengarahkan tindakan para penduduk.

Meskipun dapat dilihat bahwa karakteristik sosiologis mempengaruhi perkembangan identifikasi partai, pendekatan psikologis berpendapat bahwa keterikatan partai ( Partisanships ) lebih sederhana dari gambaran politik atas latar belakang dan status sosial pemilih saat ini. Korelasi antara faktor demografis dan pilihan memberikan informasi yang menarik, “ meski informasi muncul pada level abstraksi yang rendah “ ( Campbell et.al. 1960, 36).

Salah satu kekuatan dari model psikologis adalah bahwa model ini menjelaskan bagaiamana sebagian besar dari penduduk sudah memiliki arahan untuk menilai sebagian besar fenomena politik. Pandangan psikologis berpendapat bahwa tindakan identifikasi partai berfungsi untuk menyaring pandangan individu mengenai dunia politik dengan tidak hanya membantu mereka untuk membuat pilihan politik tetapi juga berfungsi sebagai saran untuk menilai isu-isu jangka pendek dan proses pemilihan kandidat karena partai politik adalah actor utama dalam sebagian besar konflik politik. Lebih dari itu, variabel psikologis memiliki kedekatan langsung kepada para pemilih, karena mereka lah yang secara lebih dekat terlibat alam proses pembuat keputusan.

Paradigma ketiga dalam kajian kelompok pemilih, yang biasa kita sebut sebagai “pendekatan ekonomis” paling tidak sebagian dikembangkan sebagai kelanjutan logis dari model sosiologis dan psikologis. Kedua model terdahulu sama-sama menekankan pada sumber petunjuk dari para pemilih yang relative stabil yang dinilai sebagai model memilih yang memuaskan. Pendekatan ketiga ini berpendapat bahwa penduduk dapat mengembangkan cara yang lebih sederhana dalam menggunakan faktor-faktor tindakan, seperti opini publik terhadap satu isu dan evaluasi terhadap kandidat sebagai dasar dari pilihan mereka.

Perspektif ini diperkenalkan oleh Anthony Down melalui tulisannya dalam sebuah buku yang diterbitkan tahun 1957 berjudul, An Economic Theory of Democracy. Alih-alih menguji cirri-ciri klasik dari praktek demokrasi, Downs memformulasikan kembali cirri-ciri itu berdasarkan asumsi rasionalitas dalam teori ekonomi modern. Aksioma yang paling mendasar dari teori Downs adalah bahwa penduduk bersikap rasional dalam politik. Ketika tiba saatnya bagi mereka untuk memberikan suara, Downs menulis bahwa “ aksioma ini berlaku dengan setiap penduduk yang akan memberikan suara mereka pada partai yang dia percaya akan memberikannya keuntungan yang lebih besar dibanding partai lain “. Kunci dari proses pengambilan keputusan ini adalah persepsi para pemilih mengenai kegunaan (hasil) yang diharapkan. Oleh karena itu, Downs menekankan “ bagian paling penting dalam keputusan para pemilih adalah ukuran dari pembedaan partai sekarang yang berarti bahwa perbedaan antara pendapatan kegunaan yang sebenarnya dia terima pada suatu periode dengan pendapatan yang akan diterimanya jika lawan partai itulah yang berada pada tampuk kekuasaan “

Penurunan Pemberian Suara Berdasarkan Pembedaan Kelas

Lipert dan Rokhan membicarakan bagaimana sistem partai di Negara Barat terpaku pada pembedaan sosial pada tahun 1920-an, perubahan-perubahan dramatis muncul mempengaruhi sistem kepartaian. Partai Politik yang mapan dihadapkan dengan tuntutan dan tantangan baru. Sistem kepartaian di Eropa makin terpecah-pecah dengan adanya fragmentasi antara partai yang sudah mapan dengan pendirian partai baru. Fluktuasi hasil partisipasi/kehadiran meningkat baik di Amerika maupun Eropa dimana peralihan suara dalam suatu pemilihan umum menjadi semakin sering terjadi baik di tingkat individual maupun agregat pemilih ( Crewe dan Denver 1985; semisal Bartolini dan Mair 1990 ).

Dorongan perubahan dan dorongan sosial telah dengan baik mentransformasikan komposisi sosial masyarakat kontemporer yang berbeda dari para pemilih yang menjadi dasar dari model perilaku memilih. Pada tahun 1948, misalnya jumlah penduduk Amerika hanya mengenyam pendidikan dasar tiga kali lebih besar dari mereka yang bisa duduk di bangku pendidikan tinggi; pada tahun 1988 perbandingan ini sudah hampir terbalik. Perubahan yang sama atau lebih baik juga terjadi di beberapa Negara demokratis lain. Basis kelas sosial, keagamaan dan masyarakat telah mengalami perubahan yang sangat besar.

Pembedaan Kelas

Dampak dari perubahan masyarakat ini bagi model sosiologis mengenai perilaku memilih nampak jelas dalam kasus pembedaan kelas. Para ilmuwan sosial mungkin memberikan yang lebih kepada faktor kelas sosial dibandingkan faktor demografis lain. Hal ini sebagian memperlihatkan betapa pentingnya arahan berdasarkan kelas dalam menjelaskan suara yang diberikan pemilih, dan demikian juga dengan posisi kelas yang sentral dalam teori Marx mengenai politik.

Jika salah satu pilar dari model sosiologis adalah pentingnya pemberian suara berdasar kelas-kelas pekerja umumnya condong pada partai sayap kiri dan kelas menengah pada partai konservatif – maka pilar ini sudah retak dan runtuh 20 tahun lalu.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Lipset (1960) bahwa pemberian suara berdasarkan kelas adalah aspek umum dalam politik pemilihan dinegara yang menganut demokrasi, seseorang kini dapat klaim serupa yang menyatakan bahwa penurunan pemberian suara berdasarkan kelas juga merupakan kareakteristik yan serupa dalam sistem kepartaian tersebut.

Pembedaan Agama

Jika kelas sosial adalah salah satu pilar utama dalam model sosiologi, maka agama merupakan pilar lainnya. Jauh sebelum munculnya kajian dari Univeristas Columbia, beberapa penelitian empiris awal memperlihatkan bahwa agama seringkali berkaitan erat dengan pilihan (politik) seseorang. Memperkuat pendapat tersebut, Richard Rose dan Derek Urwin (1969) memperbandingkan dasar sosial dari proses pemilihan di 16 negara dan menemukan fakta bahwa “ perbedaan agama, bukan kelas adalah dasar sosial utama bagi berbagai kelompok di Negara-negara Barat saat ini “ (hal.12). Hal ini membuktikan bahwa faktor agama sangat terkait dengan pilihan seseorang meskipun isu-isu agama tidak terlihat secara eksplisit dalam kebanyakan kampanye.

Disamping tren sekularisme, hubungan antara pemimpin agama dan partai politik juga melemah di Negara-negara Barat. Dua Puluh tahun lalu adalah hal yang biasa ketika seorang pendeta Belanda atau Pastor Jerman mengingatkan jemaat mereka mengenai apa yang Tuhan harapkan dari mereka ketika waktu pemungutan suara tiba. Saat ini, keterlibatan langsung dari gereja justru sering kali dilihat sebagai interferensi pengaruh gereja. Perubahan yang paling drastis terjadi di Belanda dimana sistem keagamaan yang ketat berdasarkan “ pilar-pilar “ digantikan dengan sebuah sistem yang banyak didasarkan pada sosial sekuler dan hubungan politik hanya dalam waktu satu generasi ( Andeweg 1982 ). Dalam tataran yang lebih baik, proses sekularisasi dan pendekatan yang mirip antara gereja dan partai-partai kiri menyamarkan relevansi politik dari agama di Jerman, Pracis, Italia dan Negara-negara lain dimana agama dahulu memiliki pengaruh yang kuat pad perilaku memberikan suara.

Identifikasi Partai dan Mengendurnya Keterikatan Partai

Dibandingkan dengan pengaruh sosiologis dalam voting perilaku, perilaku psikologis sangat terkait dengan sebuah pilihan dan bahkan lebih dekat dibanding pengaruh sosiologis. Model psikologis tetap memperlihatkan bahwa keterikatan partai (partisanship) tetap relevan karena kebanyakan pemungutan suara adalah ajang bagi kelompok pendukung. Warga Negara pada umumnya membuat penilaian mengenai partai mana yang bisa merepresentasikan kepentingan mereka dan persepsi seperti inilah yang menentukan perilaku individual dalam memilih. Keterikatan partai menjadi petunjuk yang jelas dan tidak mahal dalam memilih baik bagi para pemilih yang berpengalaman dantidak. Keterikatan tersebut jug menjadi indikator yang dapat diandalkan karena afiliasi partai politik dari seorang kandidat pada umumnya mengindikasikan program kebijakan yang diusung kandidat tersebut.

Penurunan Keterikatan Partai di Amerika Serikat

Banyak bukti survey menunjukkan adanya perhatian masyarakat Amerika terhadap keterikatan partai dan peran partai politik dalam pemerintahan Amerika. Beberapa indikator yang sering dimunculkan adalah peningkatan split-ticket voting, penurunan indetifikasi partai, dan peningkatan sikap netral terhadap partai politik.

Penurunan Keterikatan Partai di luar Amerika

Dengan diakuinya validitas keterikatan partai dalam penelitian kelompok pemilih Eropa kajian di beberapa Negara lain mulai menemukan mengendurnya ikatan partisan yang hebatnya hampir serupa dengan penurunan keterikatan partai di Amerika. Lebih dari 40% publik Inggris adalah partisan yang kuat sepanjang akhir 1960 an; angka ini telah berkurang setengahnya hanya dalam kurang dari satu dekade (Saarlvik dan Crewe 1983; Abramson 1992 ). Ikatan partisan pada mulanya makin menguat di Jerman pasca perang dunia dengan bertumbuhnya sistem partai bersamaan dengan tumbuhnya pengalaman demokrasi di Negara tersebut, namun pada 1980-an, keterikatan penduduk Jerman dengan partai politik juga mulai melemah ( Dalton, 1992). Data yang muncul dari beberapa kajian mengenai pemilihan di Prancis, Belanda, Italia, Skandinavia dan Australia memperlihatkan makin melemahnya keterikatan partai sepanjang dekade yang lalu ( Dalton et.al 1984, Mc Allister 1992; lihat Schmid 1989 untuk argument yang sebaliknya ).

Tanda-tanda adanya pengenduran ikatan partisan di Negara-negara tersebut nampak lebih kuat bila dibandingkan dengan keterikatan publik dengan partai politik. Semisal, pengenduran keterikatan partai nampak jelas dengan penurunan stabilitas pola pemilihan dari publik ( Crewe dan Denver 1985). Lebih lagi, banyak dari para pemilih yangjuga memiliki keraguan yang sama mengenai partai politik yang mulai diacuhkan oleh para pemilih di Amerika. Peter Gluchowski (1983), misalnya melihat partai politik tidak lebih dari kelengkapan pemilihan umum. Pada akhirnya, terjadilah penurunan jumlah suara di beberapa Negara barat yang demokratis, yang kurang libih disebabkan oleh melemahnya keterlibatan partai.

Munculnya Kembali Model Rasional Pemilih

Dengan memudarkan pengaruh dari factor sosiologis dan psikologis jangka panjang, banyak ilmuwan politik mulai merespon adanya peningkatan pengaruh dari opini publik terhadap satu isu dan pilihan terhadap kandidat terhadap pilihan pemberian suara. Kedua factor jangka panjang ini banyak dibahas dalam pendekatan rasional para pemilih yang pertama kali diperkenalkan dalam karya klasik Downs berjudul “ Teori Ekonomi dari Demokrasi “. Pendekatan ini melihat para pemilih umum sekarang mampu mengevaluasi masalah politik terkini seperti platform partai, kinerja mereka di masa lalu, kompetensi.

Isu pemberian suara

Kajian mengenai isu pemberian suara seringkali dikaitkan dengan perdebatan ilmiah mengenai kecerdasan politik public kontemporer yang sudah dibicarakan di awal bab ini; oleh karenanya para peneliti membedakan keduanya dalam mengevaluasi sejauh mana isu pemberian suara. Pada tahun 1950-an, para penulis buku The American Voters menekankan bahwa hanya sebagian kecil para pemilih di Amerika yang bergantung pada isu-isu untuk menentukan suara mereka ( Campbell et.al. 1960, bab 6 ). The Changing American Voters menantang pendapat ini dengan berargumen bahwa para pemilih selama beberapa tahun terakhir telah menjadi lebih cerdas mengenali isu dan menggunakan posisi kebijakan untuk mengukur beberapa alternatif ( Nie et.al 1976). Sebaliknya analisis mereka juga ditantang oleh ilmuwan lain (lihat Bishop et.al 1979); Sullivan et.al 1978; Smith 1989). Beberapa penelitian yang senada juga berpendapat bahwa buruknya menuliskan pertanyaan (penelitian) dan kurangnya dasar metodologis telah membuat para peneliti awal untuk meremehkan bahwa isu bias berperan dalam mempengaruhi tindakan memberikan suara baik apakah para pemilih berubah-ubah atau tidak ( Niemi dan Weisberg, 1993a, Bab 4)

Dengan mengesampingkan apakah para pemilih sekarang lebih cerdas dalam membaca isu politik yang ada, kekuatan yang selama ini turut berperan dalam membentuk suara masyarakat mulai mengalami penurunan, khususnya dalam hal pemberian suara yang potensial. Maka, jika arahan sosial dan keterikatan partai tidak lagi sentral dalam pembuatan keputusan, maka para pemilih pasti telah beralih pada faktor lain – seperti isu dan kandidat – dalam membuat keputusan. Oleh karena itu, mark Franklin (1985) memperlihatkan bahwa penurunan pengaruh dari kekuatan jangka panjang dalam pembuatan keputusan di masyarakat Inggris diimbangi oleh makin berpengaruhnya faktor isu dalam pemberian suara ( lihat juga Baker et/el. 1983, bab 10, Van der Eijk dan Niemoeller 183; Budge dan Farlie 1983). Dalam menganalisa beberapa temuan dari kajian komparatif tentang pemberian suara kontemporer di 7 negara barat Franklin (1992, 400 ) melangkah lebih maju dengan menyimpulkan: jika arti penting berbagai isu bagi para pemilih ditimbang dan diberikan nilainya, maka peningkatan pemberian suara berdasarkan isu akan berimbang dengan penurunan politik berdasarkan pembedaan-pembedaan tertentu.

Salah satu masalah yang menghambat studi komparasi mengenai pemberian suara berdasarkan isu baik yang lintas waktu dan lintas Negara adalah beraneka ragamnya isu yang muncul antar pemilihan umum dan antar pemilih sendiri. Satu kampanye bisa jadi menekankan konflik ekonomi dan kampanye berikutnya lebih menekankan pada kompetensi kandidat. Lebih dari itu, beragamnya isu bisa mempengaruhi pilihan suara dari para pemilih konemporer. Pemilihan umum jarang sekali diwarnai dengan hanya satu isu saja. Oleh karena itu dampak yang ditimbulkan oleh satu isu saja tidak akan besar karena tidka semua pemilih, bahkan yang terinformasikan sekalipun, akan tertarik dengan isu tersebut.

Penilaian atas kandidat


Ketika isu selalu dinilai sebagai salah satu pengaruh paling penting dalam pemberian suara, penilaian atas kandidat biasanya dinilai lebih negative oleh para analis pemilihan. Pemberian suara berdasarkan karakteristik personal seringkali dinilai sebagai “ irasional” lihat contohnya Converse 1964; Page 1978 ). Pendapat yang sinis melihat kandidat menilai bahwa kandidat-kandidat itu adalah paket komoditas yang dicitrakan oleh pembuat citra yang memanipulasi persepsi publik dengan hanya memperlihatkan sisi yang menarik dihadapan para pemilih. Dalam pandangan ini, penilaian orang terhadap kandidat alternatif hanya berdasarkan kriteria superficial seperti penampilan atau daya dari kadidat tersebut ( lihat Sullivan dan Masters 1988 ). Bahkan Rosenberg dan McCafferty menunjukkan bahwa sangat mungkin untuk memanipulasi penampilan seorang kandidat sesuai dengan penggambaran para pemilih. Dengan mengasumsikan bahwa faktor isu dan identifikasi partai dari kandidat bersifat konstan, mereka menemukan bahwa ketika penggambaran yang bagus digantikan dengan penggambaran yang buruk, kemampuan kandidat untuk meraih suara meningkat secara signifikan.

Siapa yang memilih ?

Pada bagian awal dari bab ini telah dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan penduduk mengenai bagaimana mereka memberikan suara, namun demikian mereka masih harus membuat suatu keputusan terlebih dahulu yaitu apakah mereka akan memberikan suara atau tidak. Beberapa kejadian dramatis selama beberapa tahun terakhir mengisyaratkan bahwanilai dari suara dilihat secara berbeda, tergantung pada individu itu sendiri dan konteks politik yang terjadi. Di Eropa Timur, penduduk berbondong-bondong ke tempat pemilihan ketika mereka untuk pertama kali berkesempatan menjalani pemilihan yang bebas, yang menghasilkan jumlah suara setinggi 93 % dari total orang yang berhak memilih di Jerman Timur pada 1990. Sebaliknya, kesempatan untuk memberikan suara sudah diterima begitu saja oleh banyak penduduk di Negara industri maju yang telah lama menerapkan demokrasi. Hal ini sangat besar jika melihat Amerika jumlah suara yang muncul pada tahun 1992 hanya 55 %.

Tabel 1 pada halaman 210 memperlihatkan hasil jumlah suara di 21 negara industri yang menganut demokrasi antara1950an hingg 1980an. Salah satu gambaran mencolok dalam data tersebut adalah perbedaan lintas Negara yang cukup besar dalam hal level partisipasi yang muncul. Di Amerika dan Swiss, misalnya, partisipasi dalam pemilihan umum nasional pada umumnya hanya melibatkan stengah orang dewasa yang berhak memilih; sementara di Eropa, partisipasi hampir bersifat universal.

Perubahan sifat dasar Politik Warga Negara

Argumen yang tersirat dalam bab ini adalah salah satu tugas terberat dimana ilmuwan politik menilai tindakan indivisu hanyalah sebatas “ tindakan memberikan suara yang sederhana”. Pemilihan terhadap kandidat atau partai politik tertentu melibatkan berbagai penilaian mengenai kinerja dari orang yang berkuasa saat itu dan gambaran di masa depan.

Perdebatan mengenai apakah publik telah sampai pada tahapan tersebut dan mampu menghadapi tantangannya adalah topik yang tidak berkesudahan dalam penelitian ilmu politik. Dalam beberapa hal public sepertinyua lebih terinformasikan dan berpengetahuan mengenai politik dengan meluasnya media massa dan meningkatnya level pendidikan. Pada saat yang sama, meski demikian proses membuat keputusan untuk memberikan suara menjadi lebih sulit dengan munculnya isu-isu yang lebih kompleks dan bersifat teknis seperti isu nuklir atau kebijakan industri. Seperti halnya pengalaman Alice in The Wonderland, public yang memberikan suaranya harus berlari untuk bisa menyelaraskan diri dengan kondisi yang ada.

Kesimpulannya, trend yang kita bahas dalam bab ini mengarahkan kita pada sebuah konsep mengenai “ individualisasi politik “. Salah satu perkembangannya adalah beralihnya gaya pembuatan keputusan lama yang mendasarkan pada faktor kelompok sosial atau partai menjadi gaya pemilihan politis yang lebih individualistis dan berorientasi pribadi. Alih-alih bergantung pada elit politik da nkelompok kepentingan, banyak dari penduduk sekarang berusaha untuk menghadapi kompleksitas politik dan membuat keputusan politik sendiri. Yang kemudian berkembang adalah pola pembuatan keputusan politik yang lebih bebas dan egosentris. Dibanding jaringan personal yang terstruktur secara sosial dan relative homogen, publik masa kini lebih banyak mendasarkan keputusan mereka pada pilihan kebijakan, penilaian atas kinerja kandidat atau citra kandidat itu sendiriderhana. Dengan semakin banyaknya pilihan partai politik yang muncul di banyak Negara demokrasi di dunia – khususnya di Amerika, tugas public bertambah dengan agenda pemerintahan yang makin meluas. Disamping tanggungjawab tradisional mereka untuk menciptakan kemakmuran ekonomi dan fisik bagi warga Negara, pemerintah sekarang harus menangani hal-hal yang bahkan tidak masuk dalam ranah politik dua puluh tahun yang lalu. Hal-hal tersebut termasuk perlindungan lingkungan hidup, kepastian kepuasan konsumen, masalah-masalah moralitas seperti aborsi, dan memastikan adanya keseimbangan kesempatan bagi wanita dan pria.

Bab ini akan memaparkan mengenai penilaian komparatif yang luas atas kajian mengenai perilaku pemberian suara (voting) di Negara maju yang menerapkan sistem demokrasi. Kajian ini sangat luas dan berkembang dengan cepat sehingga pembahasan dalam satu bab saja menjadi tidak mungkin. Lebih dari itu, ada beberapa aspek dalam perilaku pemberian suara yang hanya berlaku di satu Negara saja atau dengan kata lain tidak dapat berlaku umum dalam semua sistem yang ada. Oleh karena itu kami memilih untuk memfokuskan pada evolusi dari kajian tersebut dimana yang menjadi pertanyaan utama mengenai perilaku para pemilih adalah: bagaimana pemilih di Negara yang menerapkan sistem demokrasi menghadapi tugas yang makin sulit dalam mengawal pemerintah melalui pemungutan suara.

Keseimbangan sebenarnya antara kemampuan para pemilih dan tuntutan yang mengharuskan mereka membuat keputusan politik menjadi kontroversi utama dalam kajian tentang pemungutan suara yang akan kita bahas dalam bab ini. Namun tetap saja, banyak analis percaya bahwa para pemilih pastilah bergantung pada beberapa arahan dan jalan pintas politis untuk membuat keputusan mereka. Sebagaimana yang ditulis oleh Samuel Popkin (1991, 218) “ penggunaan jalan pintas informasi merupakan fakta hidup yang tidak dapat dihindari lagi dan akan tetap muncul meski dengan tingkat pendidikan apapun, berapapun banyaknya informasi yang diperoleh, dan seberapa banyak kita berpikir “. Sebagai akibatnya, pembahasan kita mengenai perilaku pemberian suara terfokus pada arahan politik yang masih dibutuhkan oleh warga Negara untuk mengarahkan pilihan mereka. Arahan-arahan yang digunakan oleh para pemilih mungkin akan berubah seiring dengan waktu, namun proses penggunaan jalanpintas masih tetap ada.