Jumat, 09 Mei 2008

TRADISI KRITIS DALAM COMMUNICATOR

Review Liitle John Edisi 8

Teori politik identitas memiliki kesamaan dengan cara pandang kritikal tentang identitas dan memiliki implikasi penting bagi komunikator. Teori identitas berawal dari berbagai gerakan sosial yang berkembang di amerika serikat pada tahun 1960-an, seperti, hak-hak sipil, black power/ hak-hak kulit hitam, gerakan perempuan dan gerakan gay dan lebian.

Secara umum gerakan-gerakan ini memiliki beberapa kategori identitas :

1. Para anggota dari kategori identitas membagi analisa yang sama terhadap

tekanan bersama mereka

2. Tekanan bersama menggantikan semua kategori identitas yang lain

3. Anggota-anggota kelompok identitas selalu saling bersekutu.

Hal ini menimbulkan asumsi tentang bagaimana individu-individu yang terlibat dalam gerakan-gerakan ini melakukannya berdasar atas bagaimana mereka membangun identitas mereka. Inti dari asumsi ini adalah konsep identitas itu stabil, utuh, kategori kejelasan diri yang luas berbasis pada penanda seperti : sex, ras dan kelas – dimensi-dimensi tersebut bersifat individual.

Dugaan bahwa identitas itu tetap dan stabil telah membawa teori-teori ini untuk menekankan pada keberbedaan. Tidak ada karakter yang esensial untuk mendefinisikan semua wanita atau semua pria atau semua orang asia atau semua orang latin. Ide tentang keberbedaan baru muncul ketika penanda-penanda identitas dapat mengkarakterisasikan ciri apa yang dibawa oleh seseorang tersebut. Terdapat tiga teori yang memudahkan kita dalam melihat tradisi ini.

Teori Sudut Pandang

Sandra Harding dan Patricia Hill Collins yang merumuskan teori ini dalam ilmu sosial. Julia Wood dan Marsha Stanback Houston yang memasukan teori ini ke dalam disiplin ilmu komunikasi. Teori ini fokus pada bagaimana keadaan kehidupan pribadi seseorang dapat mempengaruhi orang tersebut dalam memahami dan membangun dunia kemasyarakatannya.

Untuk memahami pengalaman-pengaman tersebut bukan dimulai dari kondisi sosial, harapan peran, atau definisi gender tetapi dari perbedaan cara masing-masing orang membangun kondisi-kondisi tersebut dan pengalaman-pengalaman mereka dengan kesemuanya itu.

Yang juga penting dalam teori ini adalah the notion of layered understanding / dugaan terhadap pemahaman berlapis. Maksudnya adalah kita memiliki identitas beragam yang tumpang tindih pada cara pandang kita yang unik, termasuk didalamnya interaksi ras, kelas, gender dan seksualitas dalam berbagai segi identitas. Pakar feminisme, Gloria Anzaldua memberikan contoh tentang identitas berlapis dirinya sendiri : feminis lesbian dunia ketiga dengan kecenderungan marksis dan mistis.

Teori ini juga memperkenalkan tentang element of power to the issue of identity. Keterpinggiran atau keterkuasaan seseorang dilihat dari sudut pandang kekuasaan. Novel dari Nadine Gordimer, July’s People, adalah contoh yang baik menggambarkan keadaan ini. Juli seorang pembantu dari keluarga kulit putih di afrika selatan membawa keluarga majikannya ke kampung halamannya ketika revolusi meletus. Untuk pertama kalinya keluarga itu baru memahami tentang siapa pembantu mereka itu dan bagaimana mereka sangat tergantung kepadanya pada saat-saat seperti itu.

Marsha Houston, mengembangkan sudut pandang epistemology dari perspektif feminis afro-amerika. Dia mengartikulasikan kesulitan-kesulitan dalam dialog diantara wanita kulit hitam dan putih, memberikan perbedaan-perbedaan epistemology dalam pengalaman hidup masing-masing. Dia juga menjelaskan budaya resisten adalah ciri dari kehidupan wanita kulit hitam.

Identitas sesuatu yang terbangun dan tertampilkan

Untuk memahami identitas sebagai sebuah kategori yang berisi identitas-identitas yang berhubungan, teori harus berada dibawah label politik identitas hari ini yang memiliki perhatian pada konstruksi dan tampilan dari kategori identitas.

Berdasar itu tidak ada identitas yang eksis diluar dari konstruksi sosial dari kebudayaan yang lebih besar. Kita mendapatkan identitas kita dalam bagian besar dari konstuksi yang mencakup bentuk identitas dari berbagai kelompok sosial dimana kita menjadi bagiannya, seperti : keluarga, komunitas, kelompok kebudayaan, dan ideologi dominan yang ada.

Jadi isu-isu : gender, kelas, ras dan seksualitas selalu terwujudkan dalam perlawanan mereka terhadap identitas-identias tersebut. Identitas kita selalu dalam proses menjadi, tidak pernah selesai, sebagai tanggapan kita pada konteks dan situasi disekitar kita.

Contohnya Barbara Ponse menjelaskan, tahap-tahap dalam perkembangan identitas lesbian sebagai kerja identitas. Shan Phelan, sebuah proyek bukan sekedar peristiwa. Gender Trouble dari Judith Butler, sebuah contoh yang yang bagus dalam kajian identitas dan sangat berpengaruh.

Teori Queer

Karya Butler tidak hanya berpengaruh pada teori identitas tetapi juga pada teori queer. Teori ini tidak hanya menyangkut gender (maskulin / feminin) tetapi juga sex (male / female). Menurut Butler : Gender ought not to be construed as a stable identity or locus of agency from wich various acts follow. Rather, gender is an identity tenuously constituted in time, instituted in an exterior space through a stylized repetition of acts.

Teori queer tertarik mengkaji kombinasi dari berbagai kemungkinan dari tampilan gender. Kajian Queer adalah tentang proses, yang berfokus pada gerakan yang melampaui ide, ekspresi, hubungan, tempat dan keinginan yang menginovasi berbagai perbedaan cara penjelmaan di dunia. Para pakar Queer melihat implikasi kekuatan sosial dari mengadopsi model queer sebagai kerangka kerja dalam mempelajari isu-isu gender, seksualitas dan politik identitas. Michael Jackson, menjadi ikon menarik untuk dikaji.

Mereka bertujuan merubah cara pandang masyarakat terhadapisu-isu tersebut. Teori Queer selalu memiliki agenda politik untuk melakukan perubahan sosial. Point of resistance menjadi problematika terus menerus yang timbul. Bagi banyak aktivis, istilah Queer adalah label yang dilekatkan bersama untuk lesbian, gay, bisexual dan transgender, dalam politik misalnya penyatuan isu-isu tersebut menjadi penting. Queers menjunjung segala cara yang digunakan dalam mengekspresikan sex dari semua kemungkinan, jarak, tumpang tindih, perselisihan dan resonansi, kehilangan dan kelebihan dari makna itu sendiri. Teori Queer merupakan contoh terbaik dari postmodernisme.